Senin, 14 Februari 2011

Batu Bata Harapan

Sejengkal-demi sejengkal, batu bata harapan sedang kita tegakan diatas puing-puing bangunan amal yang berserakan. Tiap tahapan dan tingkatan batu bata harapan merangkai menjadi sebuah cita-cita, kemudian dilahirkan turunannya dan perluasannya, yakni menyongsong peradaban baru, peradaban masyarakat islami berkeadilan. Karakter dari bongkahan batu bata harapan ini akan menentukan, kelak, bagaimana bangunan amal akan ditegakkan di tengah-tengah tata letak kehidupan dunia, dengan segala kerumitannya, dengan segala ketidakpastiannya. Batu bata harapan ini adalah sebuah harta langka yang dibalut oleh ketulusan, niatan untuk merubah ke arah perbaikan, bersama langkah2 kepastiannya, langkah-langkah yang dieja setiap bongkahan katanya menjadi sebuah kalimat yang meneduhkan, memberi jaminan perbaikan dan kebaikan. Pilihannya adalah, manusia harus mau menghadapi setiap kemungkinan-kemungkinan terburuk sekalipun, untuk menegakan menara harapan, sebagai mercusuar kehidupan di sekitarnya, penerang, dan pemberi keteduhan atas nama membangun infrastruktur manusia, yakni bangunan masa depan. Batu bata harapan ini, sedikit demi sedikit memberi suntikan keajaiban yang dibungkus oleh kedahsyatan akal-nurani, sedikit demi sedikit memberikan keteduhan yang dibalut dengan lurusnya akhlak di mata manusia secara umum, sedikit demi sedikit memberikan nafas baru, nafas perubahan, yang siap mengisi dari setiap celah-celah kekosongan, dari bangunan amal kita, rumah masa depan kita..

Layaknya kita sedang memilihkan bibit terbaik yang akan kita semai kelak, di masa depan. Maka, kita berkeharusan untuk mau menjaga bibit harapan agar ia tumbuh subur dalam setiap dada generasi kaum beriman, di segala kondisi dan pilihan-pilihan waktu, disegala kemungkinan-kemungkinan (tersulit sekalipun), di segala medan pertarungannya, untuk kemudian mau memenangkan dari setiap pertarungannya, di masa sekarang, dan di masa depan. Bibit harapan akan memberikan seribu kemungkinan jalan yang mesti ditempuh, dan hanya beberapa jalan rintangan saja, tidak banyak, tidak sebanyak jalan-jalan kemungkinan menuju harapan dan kemenangan itu sendiri. Maka, dari masing-masing benih harapan ini, akan dilahirkan benih-benih kembali, yang berbeda karakteristik uniknya, berbeda satu dengan yang lain, yang memberi keunikkan, dalam satu rangkaian kehidupan.  Untuk nantinya kita mengalah kepada waktu, agar mereka mau mendewasakan benih-benih harapan kita, menjadi sebuah pohon amal, pohon keloyalan, pohon komitmen, dan pohon kesatuan gerakan. Karena pasti, harapan tidak akan pernah meninggalkan mereka yang menggenggamnya dengan tangannya, tidak akan menceraikan manusia yang menggigit sedikit harapan dengan gerahamnya, sebab harapan itu masih dan tetap ada selama mereka bertahan dengan usaha-usahanya..

Marilah kita bergerak lebih dekat, memahami jejak-jejak harapan dan mendalami langkah-langkah bergeraknya. Kita susuri setiap langkah perjalanannya, kita ikuti setiap aliran pola berpikirnya, menghayati setiap pemaksudan dari setiap langkah dan keputusannya, mendalami tentang hakikat kompleksitas kehidupan (untuk kita gali sebuah pandangan menyeluruh dan lengkap) tentang rahasia-rahasianya untuk bisa mendekatkan kita kepada kunci-kunci kemenangan dalam perjuangan, dalam pergumulan kebaikan dalam arah perbaikan, dalam arah peningkatan, dalam arah mencapai warna-warna baru, warna perjuangan yang dilandasi sikap-sikap keteduhan. Maka, mereka yang telah membangun kekokohan bangunan harapan, telah besar dan dibesarkan oleh sejarah dan kenangan manusia, berkat kapasitas amal dan pengorbanan yang tidak bisa kita bayangkan, tidak bisa kita perkirakan, mereka itu antara lain: Nabi Nuh as, ia telah membangun rumah dakwahnya selama 950 tahun, dibawah bayang-bayang gangguan, cerca dan makian, dan pergolakan perlawanan yang teramat besar, sekalipun yang menyambut gayung seruannya hanyalah beberapa orang saja. Kemudian, seorang Mushab bin Ummair, sahabat Rasulullah yang teramat setia kepadanya,  bersedia menyambut busur dakwah beserta anak panah keikhlasannya untuk mau menjadi penyeru (da'i) pertama di kota Yastrib sendirian, tidak berkawan. Lalu kemudian kita akan diingatkan, tentang seorang Syahid, Sang Ideolog Islam, Sayid Qutb, yang mampu menebalkan dinding-dinding keteguhannya dan meninggikan menara keteduhannya, pada detik-detik maut di tiang gantungan demi mempertahankan keyakinan dan keteguhannya untuk  untuk tidak berdamai dengan penguasa yang zalim, sebab ia telah memanjatkan pengharapan terbaik hanya kepada Allah semata..

Maka, setiap tangan hendaklah terbuka dengan lebar. Tangan itu tidaklah dalam rangka memindahkan tanggungan dan beban dirinya kepada pundak saudaranya yang lain, sebab tangan ini teramat cela. Bukanlah seperangkat lisan yang mencaci sodaranya, karena keunikan amal dan keterbatasan kemanusiaannya dalam beramal, dan sebagainya. Tangan-tangan itu, mestilah tangan-tangan yang mau mengulurkan dengan lembut, dan mencari setiap beban-beban yang barangkali tidak sengaja terbawa oleh orang-orang ikhlas yang berjuang di jalan kebaikan. Tiap tangan, seperangkat lisan, dan seluruh kapasitas keumumman manusia lainnya senantiasa menawarkan harapan, dan pertolongan. Namun, tidak boleh mengiringkan harapan dengan ketergesaan sebelum proses kematangannya diselesaikan. Tidak boleh memulai pencarian dari harapan-harapan itu sebelum semuanya sudah jelas: tujuannya, latar belakangnya, sarana kendaraannya, bekalnya, perkiraan pembiayaannya, resiko-resiko dan antisipasi dari setiap kemungkinan yang mungkin terjadi pada sebuah proses pendakian harapan menuju perjalanan keabadian ini. Tidak boleh sekali-kali membangun harapan pada pondasi yang rapuh, pada landasan berdiri yang labil, pada kekuatan struktur bangunan amal yang tidak terencanakan. Maka, ini adalah sebentuk ujian yang dipergilirkan dan diapresiasikan kepada kita, manusia secara keseluruhan, agar nanti bisa diliat siapa orang yang paling baik amal dan keikhlasannya..

Membangkitkan pola gerakan manusia dalam kapasitas mereka sebagai insan pengelola harapan, adalah tugas dan kewajiban mulia. Sebagaimana Rasulullah saw membangkitkan semangat Bilal bin Rabbah saat-saat masa sulitnya dalam menerima siksaan dari tuannya, "Arihnaa Ya Bilaal " (Tentramkanlah hati kami wahai Bilal). Mereka, orang-orang yang mampu memanasi tungku pembakaran harapan, akan memahami, bahwa semua bangunan harapan dan pohon amal yang ia jaga dan ia bangun, semata-mata untuk diserahkan hasil akhirnya kepada Allah semata, setelah sempurna ikhtiar dan tawakalnya. Maka, Allah pun membalas harapan, doa-doa manusia, hajat,dan permintaannya, dengan cara unik dan mengagumkan, sebagaimana Imam Jafar Shodiq ra mengatakan: “Seorang kekasih Allah berdo’a kepada-Nya. Dia (Allah) berkata kepada salah satu malaikat-Nya, ‘Penuhi keperluan hamba-Ku, tetapi jangan segera, karena Aku senang mendengar rintihannya’. Seorang musuh Allah berdoa kepada-Nya, Dia (Allah) berkata kepada salah satu malaikat-Nya, ‘Penuhi keperluannya dengan segera karena Aku benci mendengar suaranya’ “. Sebagaimana Hellen Keler, seorang pengarang buku The Story of My Life  tahun 1903-an, dalam bukunya Live in my Darkness, mengatakan: Optimisme is the path that leads to achievement. Nothing can be done without hope and confidence (Optimisme adalah jalan yang mengarah ke prestasi. Tidak ada yang dapat dilakukan tanpa harapan dan keyakinan)..

Membangkitkan harapan, mulai menyusun satuan-satuan batu bata dan komponen bangunan amal lainnya, adalah sebuah kebutuhan yang mesti disikapi dan ditinjau ulang. membangkitkan harapan (roja) hakikatnya adalah membangun pola kedekatan yang erat antara manusia dengan tuhannya, dengan Allah swt. Yakinlah, bahwa Allah senantiasa memberi harapan kepada manusia, harapan pengampunan dosa, harapan bisa keluar dari kesulitan, harapan bisa mendapat setiap jawaban dari setiap pertanyaan, kesulitan, kegamangan, dan sebagainya. Sehingga dari kedekatan ini, lahirlah sifat-sifat unggul manusia: optimisme dan Husnudzan kepada Allah swt. Harap (roja') ini berbeda denganTamanniy (angan-angan), karena pada harapan (roja') adanya keterpautan hati dengan gerak lahir sesuatu yang diinginkan di masa depan, sedangkan tamanniy hanya sekedar andai-andai kosong saja. Akan selalu ada nafas harapan dan optimisme ditengah badai kehidupan, bagi mereka yang dekat dan penuh (kuat) rasa yakinnya kepada Allah swt. Mereka tidak mungkin takut dan bersedih hati, apalagi berputus asa dari rahmat Allah swt, meskipun dalam perkara dosa sekalipun, dalam masalah pertaubatan manusia sekalipun, mereka akan selalu membersamai hari-harinya dengan pemaknaan yang besar terhadap kehidupannya. Ibnu Athai’illah As-Sakandari dalam kitab Al-Hikam, mengatakan:"pertaubatan dengan sikap rajâ’ tidak mempersyaratkan penyesalan sebagai gerbang utama, melainkan yang terpenting adalah sikap dan keinginan yang kuat untuk berbuat baik di kehidupan barunya."

Bahwa, yang diharapkan dari seorang muslim beriman adalah penghidupan dunia yang baik, dan jaminan keselamatan kelak di akhirat. Sungguh, orang-orang yang lurus agamanya dan bercahaya mata hatinya akan melihat bahwa dunia beserta segenap kebendaannya hanyalah sementara dan melenakan saja, sedangkan akhirat, adalah tempat berpulang yang lebih baik, lebih kekal. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Rasululullah saw, melalui sahabatnya Abu Hurairah ra, "Dunia penjara bagi orang mukmin dan syurga bagi orang kafir." Harapan senantiasa menyiratkan kebaikan-kebaikan, sebagaimana Allah secara terang-terangan mengabadikan didalam Al-Qur'an, agar manusia tidak terputus dari rohmat dan pengharapan (ampunan) dari Allah swt. Allah swt berfirman: "Janganlah kamu berputus asa dari mengharap Rahmat Alloh. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari mengharap Rahmat Alloh melainkan kaum yang kafir”. (QS Yusuf : 87).. Terkait QS. Al Anbiyaa’ ayat 89-90 pun, Allah swt telah mengisahkan tentang Nabi Zakaria, Istrinya, dan Yahya, yang senantiasa dekat dan taat kepada-Nya, Allah mensifati para hamba-Nya yang beribadah dan berdo’a kepada-Nya dengan rasa harap dan cemas (rogbah dan rohbah) serta merendahkan diri (khusyu’).. Dalam kitab Hushulul Ma'mu Bisyarhi Tsalatsatil Ushul Karya Abdullah bin Shohib Al Fauzan, dikatakan bahwa Rogbah adalah meminta, merendahkan diri, dan mengharap sepenuh hati dengan penuh kecintaan yang mengantarkan kepada sesuatu yang dicintai. Sedangkan Rohbah adalah takut yang menyebabkan seseorang menjauh dari sesuatu yang ditakuti. Namun Rogbah sendiri ada sedikit perbedaan dengan roja' yang kita bahasakan hari ini. Dalam Buku Madarijus Salikin Juz kedua, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, dikatakan: Rogbah memiliki makna yang hampir sama dengan roja’. Namun keduanya memiliki perbedaan. Roja’ adalah menginginkan (hanya sekedar keinginan) sedangkan rogbah adalah usaha untuk mendapatkan yang diinginkan, namun belum bisa dipastikan keinginannya itu tercapai. Maka Roghbah dan Rohbah adalah lebih khusus dibandingkan Roja' dan Khauf ini..

Pengharapan (roja') adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, disertai dengan rasa takut (Khouf) kepada Allah swt, mengharapkan ihsan (balasan keutamaan), dan kebaikan dunia akhirat.Roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab yang baik untuk mencapai tujuannya. SedangkanKhouf adalah rasa takut dengan berbagai macam cara dan jenis ketakutan, adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf karena khosyah diiringi oleh sikap ma’rifatullah.. Ar Raghib berkata: "Khosyah adalah khouf yang tercampuri dengan pengagungan dimana mayoritas hal itu muncul didasarkan pada pengetahuan terhadap sesuatu yang ditakuti, adapun rohbah adalah khouf yang diikuti dengan tindakan meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah khouf yang diiringi amalan.. (Hushuulul Ma’muul hal.87). Maka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya  penggerak hati menuju Allah‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang dicintai-Nya. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi pemacu perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap hamba wajib memperahtikan hal itu…” (Majmu’ Fatawa,1/95-96, dinukil dari Hushulul Ma’muul, hal. 82-83)..

Janganlah terputus dari telaga harap, sebab kalian adalah permata indah yang sengaja dsingkapkan berhadap-hadapan dengan kemilau cahaya mentari, sehingga engkau pun memantulkan sinar dan cahanya yang indah, ikut menerangi dan memperindah dunia bersama segenap keindahannya. Janganlah pernah merasa lelah, baik pada saat sepi, ataupun saat ramai di jalan kebenaran dan seruan beramal kebaikan.. InsyaAllah ada Allah swt yang akan selalu membersamai setiap langkah kita dalam kebaikan ini. Meski lelah (karena pundak kita terpaksa harus menanggung beban dari sodara kita yang tidak terlibat dalam amal jama'inya), namun tetap, Allah swt semata-mata telah memilih kita untuk tetap berada disini, di jalan kebenaran, di jalan perbaikan. Ikhwah!! Janganlah mundur, sebab orang-orang yang mundur hakikatnya adalah berjiwa munafik, sebagaimana Abdullah bin Ubay mundur dari perang uhud karena kenifakannya, karena tidak ada sikap/sifat harap kepada Tuhan-Nya dan kepada Rasul-Nya. Mari letakan kembali batu bata harapan kita kepada Allah swt, Rabb yang menggenggam setiap harapan dan kejadian (takdir) dari apa yang kita upayakan ini. Semoga langkah kaki kita dijejakkan dengan kekokohan yang sebesar-besarnya, InsyaAllah... Semoga bermanfaat!!

Sabtu, 12 Februari 2011

Bangunan Amal

Hakikat dari kehidupan manusia adalah untuk beramal!! Segenap potensi tenaga, pikiran, waktu, dan materi, dimanfaatkan untuk beramal kebaikan. Beramal kebaikan ibarat menanami lahan kehidupan yang kering dengan tetanaman subur yang menyenangkan, dan sedap dipandang, layaknya seperti menanam pohon kerindangan, yang mampu memberi keteduhan berlipat-lipat, keteduhan dari sebuah kerindangan, dari sebuah kebermanfaatan dalam keutamaan. Meski terik mentari kian membakar setiap lembar kulit manusia, namun pohon kerindangan itu tetap meneduhkan!! Meski hari-hari kita senantiasa bersimbah peluh, senantiasa selalu ada amal-amal yang diutamakan!!,Meski kehausan akan imbalan dan penghargaan semakin menjadi-jadi, namun pohon kerindangan ini tetaplah kokoh, menyamarkan bebayang kecacatan dalam tubuh amal, dalam tubuh kebaikan!! Semata-mata untuk mendapatkan bibit pohon amal untuk proyek penanaman pohon kerindangan, pohon amal kebaikan..Tidak ada maksud dan tujuan lain, dari penghidupan amal dalam tubuh aktifitas manusia, melainkan ingin bersemainya benih-benih kebaikan, dan berkembang lebat menjadi sebuah pohon kerindangan, pohon amal kebaikan..

Berangkat dari sebuah tata nilai kemanusiaan manusia, dalam struktur amal manusia tentunya, akan banyak kita jumpai keberpemilikan yang samar!! terkadang kita merasa memiliki kemampuan untuk menebar bibit-bibit keutamaan kepada segenap keluarga manusia, padahal pada hakikatnya kita dibermampukan, diberi ijin, dan dipertolongkan oleh Allah SWT semata.. Di luar itu, pasti, kita tidak memiliki daya meureka dan tidak memiliki kekuatan mencipta pada sebuah tubuh amal, tidak memiliki keutamaan, selain dari apa yang manusia berikan, meski lebih kurang karena ketidak tepatan saja, penghargaan dan apresiasi yang seharusnya tidak kita miliki, karena unsur kelemahan dan kecacatan amal kita yang sudah membengkak parah, sudah terlepas dari tali acuan dan hakikat penghambaannya.. Atau lebih sering juga kita merasa ujub dan takabur atas amal kita, padahal tidak seberapa jika dibandingkan dengan struktrul amal dengan keikhlasan misalnya, tidak ada faidah dan keutamaannya bagi amal yang dijahit dengan benang ujub dan jarum takabur itu, semata-mata hanya sekedar kelelahan dan rasa capek saja, itu saja!! Bahaya memang, kita akan mendapatkan keburukan sebagai hasil implikasi dari kecacatan amal karena sifat ujub dan takabur kita, tidak tanggung-tanggung nerakalah tempat berlabuh kelak, bagi orang-orang yang demikian itu, begitu pula sebaliknya!! Sa'id Bin Jubair, seorang ulama salaf, mengatakan: "Sesungguhnya ada seorang hamba yang beramal kebaikan malah ia masuk neraka. Sebaliknya ada pula yang beramal kejelekan malah ia masuk surga. Yang beramal kebaikan tersebut, ia merasa ujub (bangga dengan amalnya), lantas ia pun berbangga diri, itulah yang mengakibatkan ia masuk neraka. Ada pula yang beramal kejelekan, namun ia senantiasa takut (akan adzab Allah) dan ia iringi dengan taubat, itulah yang membuatnya masuk surga"..

Ajaran siutao mengatakan bahwa infrastruktur amal kebendaan itu dibangun oleh dua hal, pertama diukur dengan tingkat kesungguhan hati, lalu yang kedua adalah diukur dengan tingkat menerima manfaat.. Ini adalah struktur amal kebendaan yang hanya memerankan manusia dalam satu peran pincang saja, peran "hanya agar bermanfaat untuk manusia saja", hanya menyangkut aspek materialistik-empirik secara sempit, belum menyentuh aspek fungsionalitas-integralitas, dan aspek-aspek lainnya!! Dengan modal kesungguhan (jiddiyyah) maka segala problematika kehidupan akan mudah untuk dihempaskan menjadi lembaran-lembaran jalan keluar yang gilang-gemilang. Modal kesungguhan ini barangkali akan muncul sebagai sebuah fenomena tidak permanent (unpermanent aspect), modal kesungguhan ini bermulai dari niat, lalu mereproduksi dirinya menjadi sebuah amal-amal kebaikan yang terkonsep matang, sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia sendiri. Modal ini tiada lain adalah sebuah pembenaran (tashdiq) dalam niat, tindakan, dan ucapan.. Disamping modal kesungguhan, dalam rangka menopang pondasi infrastruktur amal kita, mesti dibarengi dengan modal ketundukan. Maksudnya adalah keta'atan yang seta'at-ta'atnya keta'atan, yang mampu menembus batas amaliyah manusia secara keumumman. Modal ketundukan ini lebih sering kita kaji pada siroh-siroh nabawiyah dan fiqih shohabah (sejarah nabi dan fiqih sahabat nabi), dimana tidak bisa kita tentukan, apakah anggota badan mereka yang dahulu menguatkan islam, atau hati merekalah yang membawa islam dan panji-panji penguatan islam pada kehidupannya, atau ada yang lainnya, dan sebagainya. Syaikhul Islam, Ibnu taimiyyah mengatakan: "Sulit dibedakan antara ma'rifah (mengenal Tuhan dengan hati) dengan pembenaran semata. Sulit membedakan antara pengenalan dengan hati dan pembenaran yang tidak disertai dengan amalan anggota badan sedikitpun", maka orang yang menyangka bahwa dia orang mukmin dan tidak mengucapkan dengan lisannya serta tidak pula beramal dengan anggota badannya dalam keadaan mampu untuk beramal maka ini adalah madzhabnya Jahmiyyah, keimanan Jahmiyyah, (kita berlindung kepada Allah untuk keselamatan hal tersebut). Maka harus adanya amalan yang akan membuktikan pembenaran yang ada dalam hatinya sebagaimana orang yang beramal harus adanya pembenaran dalam bathin yang akan mensahkan amalannya tersebut..

Berbicara struktur amaliyah manusia, maka kita mau tidak mau harus berbicara tentang kapasitas manusia dalam beramal dan melaksanakan kebaikan-kebaikannya, bagaimana manusia brproses dalam menumbuhkan pohon-pohon amal yang mungil, lalu seiring berjalannya waktu pohon mungil itu berubah menjadi pohon amal yang dipandang sedap oleh orang-orang disekitarnya, pohon yang akan sangat banyak memberikan kebermanfaatan, daunnya yang rindang, akarnya yang kokoh dan menguatkan, batangnya yang bisa dijadikan sandaran,, rantingnya yang mencakar keangkuhan, dan sebagainya. Berbicara tentang amal, maka kita mesti berbicara tentang komleksitas niat yang terkadang sangat sulit untuk dijaga dan dikendalikan, senantiasa berubah-ubah, sebagaimana perkataan dari Sufyan Ats Tsauri, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah.” Begitulah niat yang murni, tautan hatinya hanyalah untuk Allah semata, niat yang murni ini adalah sesodara kandung dengan kejujuran hati kita, ia adalah sebuah warna polos tanpa keberpihakan, tanpa coretan tinta tujuan lain, selain hanya niat ketulusan, dalam amal yang dijaga kemurnian kompleksitas niatnya, karena pembalasan pahala-dosa, ditakar dari kadar niatnya pula. Meskipun memang Ikhlas (kata Umar Sulaiman Al Asyqar) adalah seolah-olah berupa konsepan khayali yang sulit ditemukan wujudnya pada diri manusia..

Baiklah, kita sedikit akan membahasakan konsep ikhlas dalam kaitannya dengan kontekstualisasi amal manusia!! Agar nantinya terlihat korelasi dan koherensi antara bangunan amal yang telah kita uraikan diatas dengan konsep ikhlas dalam beramal.. Fudhail bin Iyadh mengatakan, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah". Ikhlas sendiri adalah amaliyah rahasia (amniyyah) dimana hanya Allah dan hambaNya lah yang tahu tentang urusan ikhlas ini, ia membrsihakan setiap kekotoran pada dinding bangunan amal dari campuran-campuran yang mengotori, ia menghanguskan segala kayu-kayu yang di i'tiqadkan dari semula untuk membakar rumah niat dalam setiap konstelasi amal manusia. Ikhlas ini bisa dipercepat proses pembangunan dan kristalisasi karakternya dalam kehidupa kita, dengan beberapa cara, antaralain: memperbanyak do'a, menyembunyikan amal kebaikan, memandang rendah amal kebaikan kita, takut akan tidak diterimanya amal, tidak terpengaruh oleh perkataan manusia, menyadari bahwa manusia bukan pemilik surga dan neraka, ingin dicintai namun dibenci, dan sebagainya.. Amal keikhlasan teramat sedikit dan jarang kita temukan dewasa ini, karena memang sebetulnya amal yang disertai dengan keikhlasan teramat berat, banyak cabaran da cobaan, serta godaan yang akan merongrong setiap baju keikhlasan yang melekat pada tubuh amal kita!! Maka, perlu dua cara logis untuk mengantisipasi segala cobaan dan cabaran, serta godaan ini, yakni: petama mengembalikan pemahaman bahwa segala kompleksitas kehidupan adalah dalam rangka ibadah kepada Allah swt dalam seluruh lingkup perbuatan, baik lahir maupun bathin, kemudian yang kedua memurnikan niat dalam setiap tataran amal haqiqinya, dalam tataran orientasi dan makna amaliyahnya, dan sebagainya..

Ikhlas, merupakan sebuah cabang dari akar pohon kebaikan, cabang yang barangkali teramat dalam keberadaannya, sampai terlihat samar-samar, dan sering dilupakan juga, karena akarnya tidak terlihat oleh jangkauan penglihatan mata sederhana manusia biasa!! sebab lagi-lagi, hanya Allah yang memahami tingkat keikhlasan seseorang, dibanding orang yang berikhlasnya sendiri. Keikhlasan suatu bangunan amal, pertama-tama akan ditentukan oleh kadar keikhlasan niatnya masing-masing. Dalam kaitannya dengan pembahasan niat, ada dua hal terkait niat, yakni: menyengaja melakukan suatu amalan (niyat al-'amal) dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu (niyat al-ma'mul lahu). Terkait niyat al-'amal, hendaknya ketika melakukan suatu amal seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain, sehingga mampu membedakan mana yang sunah mana yang wajib, dan sebagainya. Kemudian niyat al-ma'mul lahu hendaklah ketika melakukan suatu amal seseorang tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya, amalannya dilakukan dengan ikhlas.. Bentukan niat yang kedua, didalam Al-Qur'an sering disitir dengan konteks kata yang berbeda, misalnya: iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari), dan sebagainya!! dalam kitab Az- Zuhd karya Nu'aim bin Hambal, dituturkan bagaimana sikap Abu Bakar Ash-Shidiq ra pada saat menerima/mendengar banyak pujian dari manusia, beliau pun berdo'a kepada Allah swt: “Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.”  Maka, perbaharuhilah niat kita dengan memperbanyak dekat kepada Allah swt, dengan memperlama intensitas perbuatan baik kita kepada Allah swt, dan sebagainya. sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mubarrak: “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.”

Saya teringat sebuah petikan cerdas yang saya garisbawahi kata-kata indahnya itu, dari sang insan shaleh, Ibnu Qoyyim dalam bukunya Al Fawaid, beliau mengatakan: “Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ’sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” 

Hari ini, adalah moment-moment penting untuk berlahirannya para mukhlis/mukhlisun (orang-orang ikhlas) dalam beramal. Mereka adalah yang hatinya bersih dan tulus dalam perbuatan, perkataan, pemberian, penolakan, perkataan, diam, ibadah dan amaliyah kehidupannya semata-mata dilakukan untuk Allah SWT semata. Maka, dengan Isyarat Allah sendiri (di dalam nash Al-qur'an) disebutkan, bahwa selain derajat mukhlis manusia masih berpeluang mengalami kesia-siaan (halka). Maka (masih menurut Al-Qur'an), orang yang bergelar mukhlis masih lebih baik dibandingkan dengan orang ‘alim yang ‘amil (orang pandai yang banyak berbuat) tetapi tidak mukhlis. Menjadi orang diluar kapasitas sebagai mukhlis, hanya akan menyisakan penyesalan yang tiada terkira banyaknya, hanya meninggalkan jejak kelelahan tanpa balasan yang setimbang dengan pengorbanannya, dan sebagainya. Menjadi orang di luar kapasitas sebagai mukhlis, kata Syekh Abdul Qadir Jaelani, disebut "sebagai orang yang lahirnya baik tetapi bathinnya rusak." Beberapa kharakteristik orang-orang mukhlis antara lain: Berhati-hati dalam bertindak dan berkeyakinan karena takut kepada Allah swt semata, beriman kepada ayat-ayat Allah swt, ayat-ayat Qauliyah (Alquran) maupun isyarat alam (ayat Qauniyah), Siap mnafkahkan dan menyedekahkan harta yang Allah karuniakan kepada mereka di jalan yang Allah perintahkan, bersegera dan sigap dalam berbuat baik dan menyongsong kebaikan, dan salah satu karakteristik khas orang yang ikhlas (mukhlis) adalah senang menyembunyikan amalannya bagai menyembunyikan aib-aibnya..

Akhirnya tulisan singkat ini saya tulis dengan kutipan perkataan dari sang hujjatul Islam, Syekh Abdul Qadir Jailani, ” Barangsiapa yang bersabar bersama Allah SWT, maka ia akan melihat kelembutannya. Barangsiapa bersabar menerima kefakiran, tentu kekayaan akan mendatanginya. Kebanyakan para nabi adalah penggembala, dan para wali adalah pengembara. Barangsiapa merasa hina di hadapan-Nya, maka Dia akan memuliakannya. Barangsiapa tawadhu’ di hadapan-Nya, Dia akan mengangkat derajatnya. Dialah Dzat Yang Meninggikan atau menurunkan derajat, Yang menetapkan dan memudahkan urusan. Tanpa DIA, kita tidak akan pernah mengenal-Nya sebab kita mengenal-Nya melalui firman-Nya. DIA-lah yang memperkenalkan diri-Nya kepada kita, baik melalui Tauhid Asma wa Sifat maupun melalui alam penciptaan-Nya. Wahai orang-orang yang menyombongkan amal mereka, alangkah naifnya engkau. Kalaulah bukan karena taufik-Nya, tentu engkau tidak akan mampu menjalankan shalat lima waktu, puasa, atau pun sabar. Kebanyakan manusia menyombongkan ibadah dan amal mereka. Mereka mencari pujian dan sanjungan manusia. Mereka senang jika dunia dan para pencintanya datang menghadap kepada mereka. Adapun yang menyebabkan mereka dalam keadaan seperti itu adalah karena mereka masih terikat oleh nafsu dan keinginan-keinginannya. Dunia memang kekasih nafsu, akhirat kekasih hati, dan Allah kekasih nurani."

Jumat, 11 Februari 2011

Cinta dan Mencintai Allah

Cinta, teramat mudah disapa, namun sangat berat untuk disentuh. Ia adalah refleksi-refleksi sederhana yang merangkai menjadi sebuah keajaiban. Cinta adalah fatamorgana, antara khayalan dan kenyataan, yang tabirnya teramat tipis dan transparan, masing-masing bisa mengintai rahasia-rahasianya, rahasia cinta dan kehidupan. Cinta adalah kecenderungan, kesediaan hati, pengutamaan, pengembaraan hati, dan pengenangan. Ia adalah yang memenangkan dari setiap problematika rasa dalam kehidupan manusia, dalam semua hiruk-pikuk kemanusiaan, yang mana manusia sendiri adalah sebagai aktor utamanya. Cinta adalah sebuah keberpihakan, subjektif tentunya, namun sangat logis dalam pencernaan rasa dan sering menjadi buram dalam kacamata logika. Ia menyipati dirinya dalam keterusterangan, ketersembunyian, keheningan, ratapan, bisikan, kesyukuran, kepedihan, dan seterusnya. Cinta, begitulah disapa, ia adalah sebuah inti kehidupan (core of life), yang mana nasyid dan sandungan cinta sudah bergaung dimana-mana, dalam bentukan yang beragam-macam, dalam pengungkapan beragam-pandang. Ia tumbuh dan besar dalam kehidupan, sebuah rumah perkembangbiakan yang teramat singkat, namun cinta meletup-letup dalam lautan pengungkapan, keterusterangan, ketersembunyian, dan sebagainya..

Satu objek cinta yang mesti dicurahkan cinta dan penghambaan manusia, sekuat keyakinan dan kadar penghambaan, sekerat uratan nadi dan dentuman jantung yang berdecak berat, yakni cinta dan mencintai Allah. Inilah sebuah inti kehidupan yang kita kenal selama ini!! Cinta dan mencintai Allah, adalah sebuah dramatika kehidupan orang-orang shaleh, sebuah epilog untuk manusia-manusia lurus hatinya, dan bersih akalnya, serta dewasa kehidupannya. Cinta dan mencintai Allah melahirkan penghambaan, keta'atan (tho'at), ketawadluan , harap (roja), takut (khaof), sabar (shobrun), dan sebagainya. Cinta dan mencintai Allah, kelak akan melahirkan kebersamaan, sebab setiap nafas cinta akan disertai/ditemani oleh udara-udara yang dicintainya, akan dibersamai dengan angin-angin sepoi yang menawarkan kesejukan. Maka, mencintai Allah, adalah sebuah proses pengenalan kembali kepada hakikat ketuhanan Allah dan penghambaan manusia itu sendiri, sesuai dengan tuturan Al-Qur'an sebagai falsafah dan komitmen hidup, seirama dengan hakikat kehidupan Rasulullah dalam sunnahnya, dalam qudwah hasanahnya,  seiya-sekata dengan konsep kemanusiaan manusia dalam kaitannya sebagai makluk pengelola rasa, pengelola jiwa, dan seterusnya..

Cinta dan Mencinta Allah, berawal dari luapan hati dan kerinduan akan fitrahnya, kemudian luapan itu mengalir menjadi sungai rasa yang deras, menghanyutkan, namun tidak membahayakan,, lalu aliran sungai rasa itu menyatu dalam sebuah telaga bernama kerinduan, dan berkumpul dalam luasan samudera yang maha luas, samudera cinta.. Dan dari sanalah, dari samudera itu, kelak kita akan mudah mengenal Allah (ma'rifatullah) dengan mahabbah (kecintaan). Cinta dan mencintai Allah bisa bermakna sebuah kepatuhan, perjuangan, pengorbanan, kelelahan, ketabahan, dan sebagainya. Ia memang tidak akan pernah surut dari perluasan-perluasannya, sebab sungguh, cinta dan mencitai Allah hakikatnya adalah dalam rangka memperluas cakrawala hati dan kepatuhan akal, serta ketundukan nafsu pada pancarana cahaya fitrahnya.. Dan cahaya fitrah ini akan tetap bersinar (Dhiya'un) dan bercahaya (nuurun), akan tetap menjadi cahaya yang membentengi dirinya dari keterbakaran, dari penghangusan dirinya, dan ia tidak hangus, tidak terbakar, akan tetapi ia mampu bersinar dan menerangi, memberikan energi besar untuk sebuah perubahan besar!! Cinta dan mencintai Allah, bila disederhanakan, barangkali berkisar antara: kepatuhan kepada titahNya, sikap meninggalkan hal-hal yang tidak disukai/dilarangNya, mencinta mereka yang besar kecintaan kepadaNya, lalu dilanjutkan dengan ikut tidak menampakan cinta/menahan cintanya dari mencinta  sesuatu yang tidak dicintaiNya..

Cinta dan mencintai Allah, memerlukan dua sayap keteduhan agar tetap terbang dan seimbang!! keteduhan hati, dan keteduhan dekat dengan tuhanNya, keteduhan ini adalah perasaan harap dan perasaan cemas kepada Allah swt. Harap membuat sebuah pahala-pahala ringan seakan menjadi berbobot, berat, yang mendekatkan baik sangka dan semangat untuk berbuat banyak, kemudian cemas adalah yang mengkontrol tarap kemungkinan-kemungkinan ketidak sampaian-ketidakterimaan amalan kita kepadaNya, lalu kita bertindak hati-hati, dan serius dalam beramal kebaikan. Sifat-sifat ini akan meluas menjadi: rasa takut kepada Allah, berharap, bertawakal kepada Allah, menggantungkan diri kepadaNya, dan ketundukan kepada konsep/konsepsi ketuhanan dan ajaran Ilahiyahnya!! Maka, marilah kita mengenal Allah lebih dekat lagi, mengenal Allah lebih dalam lagi, mengenalNya lebih lama lagi, mengenalinya terhadap wujudNya, sifat-sifat RububiyyahNya, sifat-sifat Uluhiyyah Allah, dan memahami (memaknai) Asma dan ShifatNya. Memang, cinta dan mencintai Allah, mau tidak mau mesti mengulang lagi pengetahuan dan ta'aruf kita terhadap Allah, dengan segala kompleksitas ketuhananNya!! dan sebagainya..

Cinta dan mencintai Allah memiliki beragam bentuk, warna, dan jenisnya, serta kadar dan kedalaman hakikatnya.. Maka, marilah kita lebih dekat kepada Allah, sebab Allah memang begitu dekat dengan kita, sampai-sampai gemerrisik bisikan do'a didalam hati kecil yang paling samar sekalipun, di tempat yang paling tidak terjamah sekalipun, pasti Allah mengetahuinya. Sekali lagi, bahwa fitrah manusia adalah mengenal Rabb-Nya dalam sifat-sifat rububiyyahnya, yakni: kedalaman perenungan pada ciptaanNya, penyadaran pendakian kekuasaanNya yang teramat luas dan mengikat, dan Pengaturan-Nya yang telah tetap dan kokoh dalam kehendakNya, dan seterusnya. Cinta dan mencintai Allah adalah puncak dari seluruh maqam tertinggi manusia, dan memang tidak ada maqom (kedudukan) tertinggi disisi Allah melainkanmahabbah (cinta dan mencintai Allah) itu sendiri. Mahabbah berasal dari kata hubb, yang sebetulnya mempunyai asal kata yang sama dengan habb, yang artinya biji atau inti. Maka orang-orang sufi menyebutnya sebagai awal sekaligus akhir dari perjalanan keberagamaan kita. Mereka juga menyatakan bahwa hubb terdiri dari dua kata, ha dan ba. Huruf ha artinya ruh, dan ba berarti badan. Karena itu, hubb merupakan ruh dan badan dari proses keber-agamaan kita. Maka, Mir Vali'uddin dalam bukunya Love of God (Mencintai Tuhan) menyebutkan bahwa Allah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata walaha; walaha-yalihu-ilahan. Ketika kata ilah ditambah dengan alif lam sebelumnya, maka ia menjadi Alllah. Jadi, kata Allah berasal dari kata walaha yang artinya keresahan, kecintaan, dan kerinduan yang dirasakan oleh seorang ibu kepada anaknya. Lalu, kata walaha menjadi ilah, yakni sebagai isim maf'ul (sebagai objek yang di-). Jadi, kata ilah berarti "yang dirindukan" atau "yang dicintai". Dalam kerinduan dan kecintaan itu, ada kegelisahan dan keresahan spiritual..

Cinta dan mencintai Allah memang adalah kebutuhan fundamental yang tidak bisa ditunda-tunda lagi pemenuhannya, sebab ia mengakar kuat layaknya akar yang kokoh kedalam hati manusia, sebagai panggilan fitrahnya, lalu batang dan ranting-rantingnya menyeruak, menjerumput, meninggikan keteduhannya dan memperlihatkan pesona keelokannya. Inilah pohon cinta dan mencintai Allah, sebagaimana diungkap oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya, Raudhatul Muhibbin: "Cinta kepada Allah itu ibarat pohon dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat yang dicintainya, batangnya adalah mengenal nama dan sifat Allah, rantingnya adalah rasa takut kepada siksa-Nya, daunnya adalah rasa malu terhadap-Nya, buah yang dihasilkan adalah taat kepadaNya Dan penyiramnya adalah dzikir kepadaNya. Kapanpun jika amalan-amalan tersebut berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allah".

Cinta dan mencintai Allah tidak akan pernah mampu terbatasi oleh waktu dan kesempitan kehidupan, sebab cinta dan mencintaNya itu telah menjadi bara perapian ditengah tungku kehidupan, yang andaikata padam, hilanglah sumber ketentraman tertinggi manusia beriman, yakni cinta dan mencintai Allah, melebihi kadar dan kapasitas cintanya kepada yang lain. Bagi mereka adalah pantas dihadiahkan "Halawatul Iimaan" (kemanisan iman). Cinta dan mencintaiNya tidak akan terbatas pada kata dhahir-bathin, aspek ghaib-nampak, dan sebagainya. Cinta dan mencintaiNya akan membuka tabir keutamaan dan kekhasan balasan yang akan kita terima kelak-sebagai buah cinta kepada Allah swt dan memang, jika kita menanam benih cinta dan mencintai Allah, kelak kita akan mampu memanen bunga, buah, kerindangan, keteduhan, dan regukan air yang menyejukkan sebagai hasil yang kita panen dari usaha cinta dan mencintai Allah ini. Inilah indahnya mahabbah, indahnya mencintai Allah, melebihi kapasitas kecintaan kepada yang lainnya. Maka, simaklah puisi yang diungkap oleh Ibnu Arobi: "Dia memujiku maka aku memuji-Nya dan Dia menyembahku maka aku menyembah-Nya"  yang bila dimaknai maksud harfiahnya adalah sebagai berikut: "Tuhan kau mengabdi kepadaku, akupun mengabdi kepada-Mu." yakni karena besarnya kasih sayang-Nya, maka sepanjang hidup kita, Dia mengabdi kepada kita dan melayani keperluan kita, seakan-akan Dia tidak mempunyai hamba selain kita..

Mencintai Allah, kelak nanti akan dibersamakan dengan siapa yang kita cintai hari ini! Memang, kadar kecintaan manusia tidak lepas dari kadar/ukuran yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana firman Allah swt: "Sesungguhnya Allah berkuasa(mentakdirkan) atas segala sesuatu" (QS. Al-Baqarah : 20). Telah bersalahlah orang-orang Atheis, aesthetes, dan epikurian, mereka yang tidak sama sekali mengenal Allah (bahkan mengakui keberadaan Allahpun tidak), sedikitpun tidak akan mampu mengecap manisnya cinta dan mencintai Allah, melainkan dengan jalan hidayatuddin dan hidayatul fithrah yang dibunyikan dalam dentuman-dentuman keimanan mereka, dengan ijin Allah tentunya, diluar itu, tidak akan mungkin terjadi hal-hal yang seperti disebutkan tadi. mencintai Allah, ibaratnya kita sedang menggenggam tali keimanan yang kokoh yang menghubungkan tali itu dengan Allah swt sendiri, meski Allah tidak memerlukan tali penghubung itu, namun Ia teramat sangat menghargai cara dan kapasitas manusia dalam mendekatinya-mencintaiNya itu. Mencintai Allah berarti komitmen untuk setia kepada-Nya, ridha atas segala keputusan-Nya, mampu ber alhubbu fillah (mencintai seseorang karena Allah) pula!! dan sebagainya. Penulis berpendapat bahwa cinta dan mencintai Allah adalah bukan dalam bab ikhtiar (pilihan-pilihan), akan tetapi ia adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan, yang jika tidak dipupuk dan dikembangkan, kelak, kita tidak akan mendapat cinta balasan dari Allah swt. Cinta dan mencintai Allah bukanlah hitam diatas putih, yang mesti dipilih dan ditawarkan kepada sisi kemanusiaan manusia yang tidak lengkap, sebab, hanya strukur masyarakat mu'minlah yang memahami tentang keagungan aspek dan akibat yang dihasilkannya. Tapi, cinta dan mencintai Allah, adalah haq, yang cahaya kebenarannya sudah tidak bisa ditutupi oleh kegelapan dalam bentukan macam apapun, dan seterusnya..

Cinta dan mencintai Allah, mestilah diiringi dengan pemahaman yang dalam terhadap segala kompleksitas Dzat yang kita cintai, Allah swt. Meski kita hanya menduga-duga apa yang Allah suka, apa yang Allah kehendaki dari keberadaan manusia (beriman ataupun tidak, kafir ataupun tidak). Maka sebetulnya Allah telah memberikan sebuah instumentsi kewahyuan yang diperantarakan oleh para rasul, termasuk Rasulullah saw, dan isntrumentsi ini tidak bisa ditinggalkan pasca terputusnya rasul terakhir, Muhammad saw, sebab, interaksi kewahyuan dari instrumentsi ini mesti dilanjutkan sampai kepada setiap generasi yang baru membukakan mata sekalipun, atau generasi yang akan menutupkan usianya sekalipun. cinta dan mencintai Allah adalah salah satu sarana pengendalian terkokoh dengan tali-Nya ((i’tisham bi hablillah).. Cinta dan mencintai Allah adalah sebuah kesucian yang berkilau cahaya dan menebarkan semerbak aroma kesetiap dekapan napas kehidupan!! Ia adalah sendi-sendi penguat kemanusiaan-keimanan, sebuah tujuan suci nan megah, sebagai sebuah pancaran Robbaniyyah dalam lingkupan nikmat Ilahiyyah.. Maka, ruh cinta kita kepadaNya mesti dijaga kekokohannya, agar tetap bersemai dalam alunan pujian-penghambaan-penuhanan..

InsyaAllah, semoga kita dikelompokan menjadi orang-orang yang diberi taufik dan hidayah untuk brmahabbah dalam kapasitas dan tahapan tertingginya, yakni cinta dan mencintai Allah sesuai dengan kapasitas kecintaan dan kemampuan kita dalam mencintakan cinta kita kepadaNya ini.. InsyaAllah, Allah hendak menguji kita, apakah kita sungguh-sungguh dalam mencinta Allah, atau kah sebaliknya!! Meminjam istilah dari Ali Azmatkhan, seorang penulis buku Endless Love "Mengabadikan Cinta".. Maka, tinggalah cinta abadi saat hati ini sudah berhadap-hadapan denganNya, hanya aku dan Kamu, hanya daku yang berdosa dan Engkau yang memaaf!! Ampuni hambaMu dalam kecacatan cinta dan kekurangkadarnya cintaku padaMu!!