Jumat, 11 Februari 2011

Cinta dan Mencintai Allah

Cinta, teramat mudah disapa, namun sangat berat untuk disentuh. Ia adalah refleksi-refleksi sederhana yang merangkai menjadi sebuah keajaiban. Cinta adalah fatamorgana, antara khayalan dan kenyataan, yang tabirnya teramat tipis dan transparan, masing-masing bisa mengintai rahasia-rahasianya, rahasia cinta dan kehidupan. Cinta adalah kecenderungan, kesediaan hati, pengutamaan, pengembaraan hati, dan pengenangan. Ia adalah yang memenangkan dari setiap problematika rasa dalam kehidupan manusia, dalam semua hiruk-pikuk kemanusiaan, yang mana manusia sendiri adalah sebagai aktor utamanya. Cinta adalah sebuah keberpihakan, subjektif tentunya, namun sangat logis dalam pencernaan rasa dan sering menjadi buram dalam kacamata logika. Ia menyipati dirinya dalam keterusterangan, ketersembunyian, keheningan, ratapan, bisikan, kesyukuran, kepedihan, dan seterusnya. Cinta, begitulah disapa, ia adalah sebuah inti kehidupan (core of life), yang mana nasyid dan sandungan cinta sudah bergaung dimana-mana, dalam bentukan yang beragam-macam, dalam pengungkapan beragam-pandang. Ia tumbuh dan besar dalam kehidupan, sebuah rumah perkembangbiakan yang teramat singkat, namun cinta meletup-letup dalam lautan pengungkapan, keterusterangan, ketersembunyian, dan sebagainya..

Satu objek cinta yang mesti dicurahkan cinta dan penghambaan manusia, sekuat keyakinan dan kadar penghambaan, sekerat uratan nadi dan dentuman jantung yang berdecak berat, yakni cinta dan mencintai Allah. Inilah sebuah inti kehidupan yang kita kenal selama ini!! Cinta dan mencintai Allah, adalah sebuah dramatika kehidupan orang-orang shaleh, sebuah epilog untuk manusia-manusia lurus hatinya, dan bersih akalnya, serta dewasa kehidupannya. Cinta dan mencintai Allah melahirkan penghambaan, keta'atan (tho'at), ketawadluan , harap (roja), takut (khaof), sabar (shobrun), dan sebagainya. Cinta dan mencintai Allah, kelak akan melahirkan kebersamaan, sebab setiap nafas cinta akan disertai/ditemani oleh udara-udara yang dicintainya, akan dibersamai dengan angin-angin sepoi yang menawarkan kesejukan. Maka, mencintai Allah, adalah sebuah proses pengenalan kembali kepada hakikat ketuhanan Allah dan penghambaan manusia itu sendiri, sesuai dengan tuturan Al-Qur'an sebagai falsafah dan komitmen hidup, seirama dengan hakikat kehidupan Rasulullah dalam sunnahnya, dalam qudwah hasanahnya,  seiya-sekata dengan konsep kemanusiaan manusia dalam kaitannya sebagai makluk pengelola rasa, pengelola jiwa, dan seterusnya..

Cinta dan Mencinta Allah, berawal dari luapan hati dan kerinduan akan fitrahnya, kemudian luapan itu mengalir menjadi sungai rasa yang deras, menghanyutkan, namun tidak membahayakan,, lalu aliran sungai rasa itu menyatu dalam sebuah telaga bernama kerinduan, dan berkumpul dalam luasan samudera yang maha luas, samudera cinta.. Dan dari sanalah, dari samudera itu, kelak kita akan mudah mengenal Allah (ma'rifatullah) dengan mahabbah (kecintaan). Cinta dan mencintai Allah bisa bermakna sebuah kepatuhan, perjuangan, pengorbanan, kelelahan, ketabahan, dan sebagainya. Ia memang tidak akan pernah surut dari perluasan-perluasannya, sebab sungguh, cinta dan mencitai Allah hakikatnya adalah dalam rangka memperluas cakrawala hati dan kepatuhan akal, serta ketundukan nafsu pada pancarana cahaya fitrahnya.. Dan cahaya fitrah ini akan tetap bersinar (Dhiya'un) dan bercahaya (nuurun), akan tetap menjadi cahaya yang membentengi dirinya dari keterbakaran, dari penghangusan dirinya, dan ia tidak hangus, tidak terbakar, akan tetapi ia mampu bersinar dan menerangi, memberikan energi besar untuk sebuah perubahan besar!! Cinta dan mencintai Allah, bila disederhanakan, barangkali berkisar antara: kepatuhan kepada titahNya, sikap meninggalkan hal-hal yang tidak disukai/dilarangNya, mencinta mereka yang besar kecintaan kepadaNya, lalu dilanjutkan dengan ikut tidak menampakan cinta/menahan cintanya dari mencinta  sesuatu yang tidak dicintaiNya..

Cinta dan mencintai Allah, memerlukan dua sayap keteduhan agar tetap terbang dan seimbang!! keteduhan hati, dan keteduhan dekat dengan tuhanNya, keteduhan ini adalah perasaan harap dan perasaan cemas kepada Allah swt. Harap membuat sebuah pahala-pahala ringan seakan menjadi berbobot, berat, yang mendekatkan baik sangka dan semangat untuk berbuat banyak, kemudian cemas adalah yang mengkontrol tarap kemungkinan-kemungkinan ketidak sampaian-ketidakterimaan amalan kita kepadaNya, lalu kita bertindak hati-hati, dan serius dalam beramal kebaikan. Sifat-sifat ini akan meluas menjadi: rasa takut kepada Allah, berharap, bertawakal kepada Allah, menggantungkan diri kepadaNya, dan ketundukan kepada konsep/konsepsi ketuhanan dan ajaran Ilahiyahnya!! Maka, marilah kita mengenal Allah lebih dekat lagi, mengenal Allah lebih dalam lagi, mengenalNya lebih lama lagi, mengenalinya terhadap wujudNya, sifat-sifat RububiyyahNya, sifat-sifat Uluhiyyah Allah, dan memahami (memaknai) Asma dan ShifatNya. Memang, cinta dan mencintai Allah, mau tidak mau mesti mengulang lagi pengetahuan dan ta'aruf kita terhadap Allah, dengan segala kompleksitas ketuhananNya!! dan sebagainya..

Cinta dan mencintai Allah memiliki beragam bentuk, warna, dan jenisnya, serta kadar dan kedalaman hakikatnya.. Maka, marilah kita lebih dekat kepada Allah, sebab Allah memang begitu dekat dengan kita, sampai-sampai gemerrisik bisikan do'a didalam hati kecil yang paling samar sekalipun, di tempat yang paling tidak terjamah sekalipun, pasti Allah mengetahuinya. Sekali lagi, bahwa fitrah manusia adalah mengenal Rabb-Nya dalam sifat-sifat rububiyyahnya, yakni: kedalaman perenungan pada ciptaanNya, penyadaran pendakian kekuasaanNya yang teramat luas dan mengikat, dan Pengaturan-Nya yang telah tetap dan kokoh dalam kehendakNya, dan seterusnya. Cinta dan mencintai Allah adalah puncak dari seluruh maqam tertinggi manusia, dan memang tidak ada maqom (kedudukan) tertinggi disisi Allah melainkanmahabbah (cinta dan mencintai Allah) itu sendiri. Mahabbah berasal dari kata hubb, yang sebetulnya mempunyai asal kata yang sama dengan habb, yang artinya biji atau inti. Maka orang-orang sufi menyebutnya sebagai awal sekaligus akhir dari perjalanan keberagamaan kita. Mereka juga menyatakan bahwa hubb terdiri dari dua kata, ha dan ba. Huruf ha artinya ruh, dan ba berarti badan. Karena itu, hubb merupakan ruh dan badan dari proses keber-agamaan kita. Maka, Mir Vali'uddin dalam bukunya Love of God (Mencintai Tuhan) menyebutkan bahwa Allah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata walaha; walaha-yalihu-ilahan. Ketika kata ilah ditambah dengan alif lam sebelumnya, maka ia menjadi Alllah. Jadi, kata Allah berasal dari kata walaha yang artinya keresahan, kecintaan, dan kerinduan yang dirasakan oleh seorang ibu kepada anaknya. Lalu, kata walaha menjadi ilah, yakni sebagai isim maf'ul (sebagai objek yang di-). Jadi, kata ilah berarti "yang dirindukan" atau "yang dicintai". Dalam kerinduan dan kecintaan itu, ada kegelisahan dan keresahan spiritual..

Cinta dan mencintai Allah memang adalah kebutuhan fundamental yang tidak bisa ditunda-tunda lagi pemenuhannya, sebab ia mengakar kuat layaknya akar yang kokoh kedalam hati manusia, sebagai panggilan fitrahnya, lalu batang dan ranting-rantingnya menyeruak, menjerumput, meninggikan keteduhannya dan memperlihatkan pesona keelokannya. Inilah pohon cinta dan mencintai Allah, sebagaimana diungkap oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya, Raudhatul Muhibbin: "Cinta kepada Allah itu ibarat pohon dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat yang dicintainya, batangnya adalah mengenal nama dan sifat Allah, rantingnya adalah rasa takut kepada siksa-Nya, daunnya adalah rasa malu terhadap-Nya, buah yang dihasilkan adalah taat kepadaNya Dan penyiramnya adalah dzikir kepadaNya. Kapanpun jika amalan-amalan tersebut berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allah".

Cinta dan mencintai Allah tidak akan pernah mampu terbatasi oleh waktu dan kesempitan kehidupan, sebab cinta dan mencintaNya itu telah menjadi bara perapian ditengah tungku kehidupan, yang andaikata padam, hilanglah sumber ketentraman tertinggi manusia beriman, yakni cinta dan mencintai Allah, melebihi kadar dan kapasitas cintanya kepada yang lain. Bagi mereka adalah pantas dihadiahkan "Halawatul Iimaan" (kemanisan iman). Cinta dan mencintaiNya tidak akan terbatas pada kata dhahir-bathin, aspek ghaib-nampak, dan sebagainya. Cinta dan mencintaiNya akan membuka tabir keutamaan dan kekhasan balasan yang akan kita terima kelak-sebagai buah cinta kepada Allah swt dan memang, jika kita menanam benih cinta dan mencintai Allah, kelak kita akan mampu memanen bunga, buah, kerindangan, keteduhan, dan regukan air yang menyejukkan sebagai hasil yang kita panen dari usaha cinta dan mencintai Allah ini. Inilah indahnya mahabbah, indahnya mencintai Allah, melebihi kapasitas kecintaan kepada yang lainnya. Maka, simaklah puisi yang diungkap oleh Ibnu Arobi: "Dia memujiku maka aku memuji-Nya dan Dia menyembahku maka aku menyembah-Nya"  yang bila dimaknai maksud harfiahnya adalah sebagai berikut: "Tuhan kau mengabdi kepadaku, akupun mengabdi kepada-Mu." yakni karena besarnya kasih sayang-Nya, maka sepanjang hidup kita, Dia mengabdi kepada kita dan melayani keperluan kita, seakan-akan Dia tidak mempunyai hamba selain kita..

Mencintai Allah, kelak nanti akan dibersamakan dengan siapa yang kita cintai hari ini! Memang, kadar kecintaan manusia tidak lepas dari kadar/ukuran yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana firman Allah swt: "Sesungguhnya Allah berkuasa(mentakdirkan) atas segala sesuatu" (QS. Al-Baqarah : 20). Telah bersalahlah orang-orang Atheis, aesthetes, dan epikurian, mereka yang tidak sama sekali mengenal Allah (bahkan mengakui keberadaan Allahpun tidak), sedikitpun tidak akan mampu mengecap manisnya cinta dan mencintai Allah, melainkan dengan jalan hidayatuddin dan hidayatul fithrah yang dibunyikan dalam dentuman-dentuman keimanan mereka, dengan ijin Allah tentunya, diluar itu, tidak akan mungkin terjadi hal-hal yang seperti disebutkan tadi. mencintai Allah, ibaratnya kita sedang menggenggam tali keimanan yang kokoh yang menghubungkan tali itu dengan Allah swt sendiri, meski Allah tidak memerlukan tali penghubung itu, namun Ia teramat sangat menghargai cara dan kapasitas manusia dalam mendekatinya-mencintaiNya itu. Mencintai Allah berarti komitmen untuk setia kepada-Nya, ridha atas segala keputusan-Nya, mampu ber alhubbu fillah (mencintai seseorang karena Allah) pula!! dan sebagainya. Penulis berpendapat bahwa cinta dan mencintai Allah adalah bukan dalam bab ikhtiar (pilihan-pilihan), akan tetapi ia adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan, yang jika tidak dipupuk dan dikembangkan, kelak, kita tidak akan mendapat cinta balasan dari Allah swt. Cinta dan mencintai Allah bukanlah hitam diatas putih, yang mesti dipilih dan ditawarkan kepada sisi kemanusiaan manusia yang tidak lengkap, sebab, hanya strukur masyarakat mu'minlah yang memahami tentang keagungan aspek dan akibat yang dihasilkannya. Tapi, cinta dan mencintai Allah, adalah haq, yang cahaya kebenarannya sudah tidak bisa ditutupi oleh kegelapan dalam bentukan macam apapun, dan seterusnya..

Cinta dan mencintai Allah, mestilah diiringi dengan pemahaman yang dalam terhadap segala kompleksitas Dzat yang kita cintai, Allah swt. Meski kita hanya menduga-duga apa yang Allah suka, apa yang Allah kehendaki dari keberadaan manusia (beriman ataupun tidak, kafir ataupun tidak). Maka sebetulnya Allah telah memberikan sebuah instumentsi kewahyuan yang diperantarakan oleh para rasul, termasuk Rasulullah saw, dan isntrumentsi ini tidak bisa ditinggalkan pasca terputusnya rasul terakhir, Muhammad saw, sebab, interaksi kewahyuan dari instrumentsi ini mesti dilanjutkan sampai kepada setiap generasi yang baru membukakan mata sekalipun, atau generasi yang akan menutupkan usianya sekalipun. cinta dan mencintai Allah adalah salah satu sarana pengendalian terkokoh dengan tali-Nya ((i’tisham bi hablillah).. Cinta dan mencintai Allah adalah sebuah kesucian yang berkilau cahaya dan menebarkan semerbak aroma kesetiap dekapan napas kehidupan!! Ia adalah sendi-sendi penguat kemanusiaan-keimanan, sebuah tujuan suci nan megah, sebagai sebuah pancaran Robbaniyyah dalam lingkupan nikmat Ilahiyyah.. Maka, ruh cinta kita kepadaNya mesti dijaga kekokohannya, agar tetap bersemai dalam alunan pujian-penghambaan-penuhanan..

InsyaAllah, semoga kita dikelompokan menjadi orang-orang yang diberi taufik dan hidayah untuk brmahabbah dalam kapasitas dan tahapan tertingginya, yakni cinta dan mencintai Allah sesuai dengan kapasitas kecintaan dan kemampuan kita dalam mencintakan cinta kita kepadaNya ini.. InsyaAllah, Allah hendak menguji kita, apakah kita sungguh-sungguh dalam mencinta Allah, atau kah sebaliknya!! Meminjam istilah dari Ali Azmatkhan, seorang penulis buku Endless Love "Mengabadikan Cinta".. Maka, tinggalah cinta abadi saat hati ini sudah berhadap-hadapan denganNya, hanya aku dan Kamu, hanya daku yang berdosa dan Engkau yang memaaf!! Ampuni hambaMu dalam kecacatan cinta dan kekurangkadarnya cintaku padaMu!!

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Get this widget

Posting Komentar

Silahkan Dikomentari....