Minggu, 25 September 2011

Ikhtiar

Kesungguhan manusia dalam ikhtiar (jiddiyyah) memang selalu meminta pengorbanan (tadhiyah) yang sungguh-sungguh pula. kesungguhan ikhtiar adalah pintu gerbang manusia dalam menapaki kehidupan di dunia ini berikut segala kesulitan dan segala hal yang terjadi selama manusia hidup sampai menuju liang lahat. kesungguhan ikhtiar ini bukanlah harga langit yang manusia tidak bisa melakukannya, bukan pula hal ghaib dimana manusia tidak mampu menggapainya, bukan pula sebuah fatamorgana maya artifisial, akan tetapi kita (semua) bisa menggapai ikhitar kita dan keinginan kita, dengan semampu kita, karena diluar kemampuan kita (yang paling maksimal) bukanlah wilayah ikhtiar kita dan kita tidak berkewajiban untuk memaksakan itu, namun taqdir Allah tidak pernah mendahului ikhtiar yang sungguh-sungguh dan berterus menerus (istimrariyyah) baik berat maupun ringan, karena itu lebih baik bagi kita dan lebih utama daripada sekedar menengadahkan tangan ke langit atau mengemis kepada manusia saja.. "Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (QS.At taubah:41), "Laa yukallifullohu illaa wus'aha, laha maktasabat wa'alaiha maktasabat" (Allah tidak membebani sesuatu hal lebih dari apa yang bisa kita menanggungnya).

Jika kita sadar akan tujuan hidup kita, untuk beribadah, menjadi khalifah (pengelola bumi, pemelihara sesama) maka manusia hendaklah menjadi raja bagi dirinya sendiri dengan mengatur segala perbuatannya dan berpikir jauh kedepan mengenai segala dampak dari perbuatannya, karena kelak ia akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah swt.. Maka, menyempurnakan usaha (ikhtiar) adalah hal yang menjadi tanggungjawab kita karena memang merubah kehidupan kita melalui ikhtiar adalah hal yang lebih kita fahami secara akal, lebih menenangkan secara bathin, disamping kekuatan do'a tentunya, dan tawakal serta izin Allah swt tentunya. "Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. as-Shaffat: 96).. Dalam beberapa ayat Allah menegaskan, bahwa sejatinya taqdir Allah mengikuti seberapa optimal ikhtiar manusia, sebagaimana firman Allah swt ini:  "Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum, kecuali dari kaum itu sendiri." (QS Arra'du: 11).

Tidak ada cita-cita dengan berdiam diri, tidak ada peruntungan tanpa usaha dan kesungguhan, tidak ada rejeki sekedar dengan berpangku tangan, "laysatin najah bis sukuuti" (tidak ada keberuntungan dengan berpangku tangan). Maka, bergerak dan terus berusaha adalah keniscayaan, karena masa ini adalah kepastian yang tidak bisa ditawar-tawar, sedangkan hari esok adalah sekedar mimpi dan cita-cita. Senantiasa berproses dan terus bergerak adalah lebih utama agar roda kehidupan senantiasa berputar dan seimbang.. Mereka yang tidak berusaha, tidak berikhtiar dengan kesungguhan, tidak memiliki mimpi dan cita-cita, tidak menyempurnakan paket-paket kehidupan dalam setiap perjalanan waktu hidupnya, hanyalah menambah masalah bagi mereka, hanya menambah sakit dan penyakit, kerugian demi kerugian, dan akibat yang buruk di akhir nanti. Ingatlah, bahwa hidup kita, tidak Allah ciptakan untuk kesia-siaan belaka! "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Al Imran; 191),  Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (At-taubah: 105).

Ingatlah, dan yakin, bahwa Allah senantiasa mewasiatkan dan selalu membimbing kita kepada jalan kebaikan, Ia senantiasa memberi petunjuk jalan dan memberikan penjelasan, Allah-lah yang lebih mengetahui tentang apa yang paling cocok dan paling kita butuhkan, meskipun pada artian yang berseberangan, meskipun pada hal yang menurut akal kita berlainan arti secara akal dan nalar, tetapi itu tetap yang terbaik menurut Allah swt, ''Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.'' (QS Al-Baqarah [2]: 216). “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”  (At-Takwir: 29). Dan segala hal dari usaha dan perbuatan kita, dari ibadah dan amal shaleh kita, atau dari dosa dan maksiat kita, segalanya (manfaat dan keburukannya) akan kembali kepada kita juga. “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka dosanya atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Fushshilat 41: 46). “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya.”  (Al-Kahfi: 110).

Disamping kita berhusnudzhan kepada Allah, membenarkan segala yang baik dan buruk itu adalah kehendak Allah (Qadha dan Qodar), dan meyakini bahwa apapun yang Allah kehendaki adalah untuk kemaslahatan, maka kitapun mesti meyakini dan membenarkan bahwa akan banyak ujian dan cobaan Allah yang Ia berikan ketika kita berproses dalam ikhtiar dan usaha kita itu, karena kita yakin pula, bahwa diantara ketentuan Allah yang tidak dapat kita ubah adalah adanya sebab akibat dalam amal perbuatan manusia, sebagaimana disampaikan Yusuf Qhardhawi, adanya sebab akibat itu adalah salah satu dari dari Qadha Allah swt sejak jaman azali, Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya”. Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan/sebab-sebab (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun menempuhi sebab-sebab itu. (Al Kahfi: 83-85).. Ust. Abdullah Nashih Ulwan, mejelaskan dua dimensi taqdir dari sudut pandang makhluk: taqdir yang musayyar (yang manusia tidak ada ikhtiar di dalamnya), dan taqdir yang mukhoyyar (yang hamba diharuskan berikhtiar dan disediakan balasan atas ikhtiarnya itu). Atas sifat kasih sayang Allah, Dia memberikan potensi dan sarana yang sifatnya musayyar (akal, petunjuk, peluang, fisik, dsb) yang dengan potensi itu hamba harus berikhtiar sehingga hadir ketentuan Allah yang terbaik untuk hamba-Nya. Dengan kata lain, usaha untuk memenuhi ketentuan sebab akibat itulah tempatnya ikhtiar, adapun atas hasilnya tentu sesuai dengan qadar Allah yang kemudian kita dituntut untuk bertawakal kepada-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (Al Hasyr:18)

Sang Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, menjelaskan, bahwa ikhtiar yang sebenarnya bukanlah meninggalkan pengaturan dengan hati dan jatuh diatas bumi sebagaimana daging yang tergeletak diatas tempat pemotongan daging, sebagaimana sangkaan orang bodoh pada umumnya dan mestilah ditegur karena berbuat seperti itu, ikhtiar yang sebenarnya adalah dengan bergerak, sebagaimana teguran Nabi saw kepada sahabatnya: Ketika itu ada yang menyatakan, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, ibadahku sudah meningkat, tak pernah lagi melakukan hubungan suami-isteri. Semua itu kulakukan demi untuk berkonsentrasi penuh terhadap cintaku kepadamu lebih dari cintaku kepada istri. Cintaku tak boleh lagi berbagi selain kepadamu.” Mendengar ini, Rasulullah setengah marah. Beliau pun berkata kepada orang itu, “Aku ini seorang rasul, tetapi juga mempunyai isteri dan anak. Haknya isteri ada pada kita, begitu juga haknya anak.” Kemudian ada lagi yang datang, lalu menyatakan, “Ya Rasulullah, aku berbahagia, karena aku tak pernah lagi tidur malam. Waktu sepenuhnya aku gunakan untuk salat, serta puasa sepanjang hari.” Mendengar ini, Rasulullah kemudian berkata, “Bukanlah begitu seharusnya, karena badan ini juga ada haknya.” Ikhtiar itu nampak pada gerak-gerik manusia dalam usaha, dalam kesungguhan, sehingga hasil yang dihasilkan adalah perbuatan yang profesional dan utama (itqanul 'amal), gerak gerik itu terutama dalam 4 hal mendasar, yakni dalam hal menarik kemanfaatan, memelihara kemanfaatan, menolak kemelaratan dan memotong kemelaratan.. Maka, wahai pemuncak ikhtiar, bertawakallah kepada Allah setelah ikhtiarmu lengkap dan sempurna!! sebagaimana sabdanya: Jika kamu bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya, niscaya Allah memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung yang keluar dari sarangnya pagi-pagi dengan perut lapar dan kembali pada sore harinya dengan perut kekenyangan setiap hari. Dan lenyaplah gunung-gunung penghalang dengan sebab doanya.

Ust. Majdi Fathi As Sayyid mengatakan, "ambillah asbab, dan serahkanlah hasilnya kepada Allah semata, dan yakinlah bahwa apa yang Ia berikan kepada kita adalah sebuah kemasalahatan dan kebaikan bagi kita, dan apa yang Ia hindarkan dari kita, adalah sebuah mafsadat yang Allah sungguh tidak menghendaki manusia mendekatinya/melakukannya", Ya Allah, sungguh penulis mendambakan kebaikan kehidupan di masa depan, kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat, mudah-mudahan dirinya dan kita semua menjadi ahli ikhtiar dan senatiasa berada dalam keutamaan... amiin, “Ya Alloh, perbaikilah agamaku yang merupakan urusan pokokku, perbaikilah duniaku yang di dalamnya terdapat kehidupanku, perbaikilah akhiratku yang ke sanalah tempat kembaliku. Jadikanlah kehidupan ini tambahan bagiku dalam setiap kebaikan dan (jadikanlah) kematian itu keterlepasan bagiku dari setiap keburukan.” (HR: Muslim), “Ya Alloh, aku mengharapkan rahmatMu, maka janganlah Kau pasrahkan (urusan)ku pada diriku sendiri walau sekejap mata. Dan perbaikilah urusanku semuanya. Tidak ada sesembahan yang haq melainkan Engkau.” (HR: Abu Daud dengan sanad shahih).

Senin, 14 Februari 2011

Batu Bata Harapan

Sejengkal-demi sejengkal, batu bata harapan sedang kita tegakan diatas puing-puing bangunan amal yang berserakan. Tiap tahapan dan tingkatan batu bata harapan merangkai menjadi sebuah cita-cita, kemudian dilahirkan turunannya dan perluasannya, yakni menyongsong peradaban baru, peradaban masyarakat islami berkeadilan. Karakter dari bongkahan batu bata harapan ini akan menentukan, kelak, bagaimana bangunan amal akan ditegakkan di tengah-tengah tata letak kehidupan dunia, dengan segala kerumitannya, dengan segala ketidakpastiannya. Batu bata harapan ini adalah sebuah harta langka yang dibalut oleh ketulusan, niatan untuk merubah ke arah perbaikan, bersama langkah2 kepastiannya, langkah-langkah yang dieja setiap bongkahan katanya menjadi sebuah kalimat yang meneduhkan, memberi jaminan perbaikan dan kebaikan. Pilihannya adalah, manusia harus mau menghadapi setiap kemungkinan-kemungkinan terburuk sekalipun, untuk menegakan menara harapan, sebagai mercusuar kehidupan di sekitarnya, penerang, dan pemberi keteduhan atas nama membangun infrastruktur manusia, yakni bangunan masa depan. Batu bata harapan ini, sedikit demi sedikit memberi suntikan keajaiban yang dibungkus oleh kedahsyatan akal-nurani, sedikit demi sedikit memberikan keteduhan yang dibalut dengan lurusnya akhlak di mata manusia secara umum, sedikit demi sedikit memberikan nafas baru, nafas perubahan, yang siap mengisi dari setiap celah-celah kekosongan, dari bangunan amal kita, rumah masa depan kita..

Layaknya kita sedang memilihkan bibit terbaik yang akan kita semai kelak, di masa depan. Maka, kita berkeharusan untuk mau menjaga bibit harapan agar ia tumbuh subur dalam setiap dada generasi kaum beriman, di segala kondisi dan pilihan-pilihan waktu, disegala kemungkinan-kemungkinan (tersulit sekalipun), di segala medan pertarungannya, untuk kemudian mau memenangkan dari setiap pertarungannya, di masa sekarang, dan di masa depan. Bibit harapan akan memberikan seribu kemungkinan jalan yang mesti ditempuh, dan hanya beberapa jalan rintangan saja, tidak banyak, tidak sebanyak jalan-jalan kemungkinan menuju harapan dan kemenangan itu sendiri. Maka, dari masing-masing benih harapan ini, akan dilahirkan benih-benih kembali, yang berbeda karakteristik uniknya, berbeda satu dengan yang lain, yang memberi keunikkan, dalam satu rangkaian kehidupan.  Untuk nantinya kita mengalah kepada waktu, agar mereka mau mendewasakan benih-benih harapan kita, menjadi sebuah pohon amal, pohon keloyalan, pohon komitmen, dan pohon kesatuan gerakan. Karena pasti, harapan tidak akan pernah meninggalkan mereka yang menggenggamnya dengan tangannya, tidak akan menceraikan manusia yang menggigit sedikit harapan dengan gerahamnya, sebab harapan itu masih dan tetap ada selama mereka bertahan dengan usaha-usahanya..

Marilah kita bergerak lebih dekat, memahami jejak-jejak harapan dan mendalami langkah-langkah bergeraknya. Kita susuri setiap langkah perjalanannya, kita ikuti setiap aliran pola berpikirnya, menghayati setiap pemaksudan dari setiap langkah dan keputusannya, mendalami tentang hakikat kompleksitas kehidupan (untuk kita gali sebuah pandangan menyeluruh dan lengkap) tentang rahasia-rahasianya untuk bisa mendekatkan kita kepada kunci-kunci kemenangan dalam perjuangan, dalam pergumulan kebaikan dalam arah perbaikan, dalam arah peningkatan, dalam arah mencapai warna-warna baru, warna perjuangan yang dilandasi sikap-sikap keteduhan. Maka, mereka yang telah membangun kekokohan bangunan harapan, telah besar dan dibesarkan oleh sejarah dan kenangan manusia, berkat kapasitas amal dan pengorbanan yang tidak bisa kita bayangkan, tidak bisa kita perkirakan, mereka itu antara lain: Nabi Nuh as, ia telah membangun rumah dakwahnya selama 950 tahun, dibawah bayang-bayang gangguan, cerca dan makian, dan pergolakan perlawanan yang teramat besar, sekalipun yang menyambut gayung seruannya hanyalah beberapa orang saja. Kemudian, seorang Mushab bin Ummair, sahabat Rasulullah yang teramat setia kepadanya,  bersedia menyambut busur dakwah beserta anak panah keikhlasannya untuk mau menjadi penyeru (da'i) pertama di kota Yastrib sendirian, tidak berkawan. Lalu kemudian kita akan diingatkan, tentang seorang Syahid, Sang Ideolog Islam, Sayid Qutb, yang mampu menebalkan dinding-dinding keteguhannya dan meninggikan menara keteduhannya, pada detik-detik maut di tiang gantungan demi mempertahankan keyakinan dan keteguhannya untuk  untuk tidak berdamai dengan penguasa yang zalim, sebab ia telah memanjatkan pengharapan terbaik hanya kepada Allah semata..

Maka, setiap tangan hendaklah terbuka dengan lebar. Tangan itu tidaklah dalam rangka memindahkan tanggungan dan beban dirinya kepada pundak saudaranya yang lain, sebab tangan ini teramat cela. Bukanlah seperangkat lisan yang mencaci sodaranya, karena keunikan amal dan keterbatasan kemanusiaannya dalam beramal, dan sebagainya. Tangan-tangan itu, mestilah tangan-tangan yang mau mengulurkan dengan lembut, dan mencari setiap beban-beban yang barangkali tidak sengaja terbawa oleh orang-orang ikhlas yang berjuang di jalan kebaikan. Tiap tangan, seperangkat lisan, dan seluruh kapasitas keumumman manusia lainnya senantiasa menawarkan harapan, dan pertolongan. Namun, tidak boleh mengiringkan harapan dengan ketergesaan sebelum proses kematangannya diselesaikan. Tidak boleh memulai pencarian dari harapan-harapan itu sebelum semuanya sudah jelas: tujuannya, latar belakangnya, sarana kendaraannya, bekalnya, perkiraan pembiayaannya, resiko-resiko dan antisipasi dari setiap kemungkinan yang mungkin terjadi pada sebuah proses pendakian harapan menuju perjalanan keabadian ini. Tidak boleh sekali-kali membangun harapan pada pondasi yang rapuh, pada landasan berdiri yang labil, pada kekuatan struktur bangunan amal yang tidak terencanakan. Maka, ini adalah sebentuk ujian yang dipergilirkan dan diapresiasikan kepada kita, manusia secara keseluruhan, agar nanti bisa diliat siapa orang yang paling baik amal dan keikhlasannya..

Membangkitkan pola gerakan manusia dalam kapasitas mereka sebagai insan pengelola harapan, adalah tugas dan kewajiban mulia. Sebagaimana Rasulullah saw membangkitkan semangat Bilal bin Rabbah saat-saat masa sulitnya dalam menerima siksaan dari tuannya, "Arihnaa Ya Bilaal " (Tentramkanlah hati kami wahai Bilal). Mereka, orang-orang yang mampu memanasi tungku pembakaran harapan, akan memahami, bahwa semua bangunan harapan dan pohon amal yang ia jaga dan ia bangun, semata-mata untuk diserahkan hasil akhirnya kepada Allah semata, setelah sempurna ikhtiar dan tawakalnya. Maka, Allah pun membalas harapan, doa-doa manusia, hajat,dan permintaannya, dengan cara unik dan mengagumkan, sebagaimana Imam Jafar Shodiq ra mengatakan: “Seorang kekasih Allah berdo’a kepada-Nya. Dia (Allah) berkata kepada salah satu malaikat-Nya, ‘Penuhi keperluan hamba-Ku, tetapi jangan segera, karena Aku senang mendengar rintihannya’. Seorang musuh Allah berdoa kepada-Nya, Dia (Allah) berkata kepada salah satu malaikat-Nya, ‘Penuhi keperluannya dengan segera karena Aku benci mendengar suaranya’ “. Sebagaimana Hellen Keler, seorang pengarang buku The Story of My Life  tahun 1903-an, dalam bukunya Live in my Darkness, mengatakan: Optimisme is the path that leads to achievement. Nothing can be done without hope and confidence (Optimisme adalah jalan yang mengarah ke prestasi. Tidak ada yang dapat dilakukan tanpa harapan dan keyakinan)..

Membangkitkan harapan, mulai menyusun satuan-satuan batu bata dan komponen bangunan amal lainnya, adalah sebuah kebutuhan yang mesti disikapi dan ditinjau ulang. membangkitkan harapan (roja) hakikatnya adalah membangun pola kedekatan yang erat antara manusia dengan tuhannya, dengan Allah swt. Yakinlah, bahwa Allah senantiasa memberi harapan kepada manusia, harapan pengampunan dosa, harapan bisa keluar dari kesulitan, harapan bisa mendapat setiap jawaban dari setiap pertanyaan, kesulitan, kegamangan, dan sebagainya. Sehingga dari kedekatan ini, lahirlah sifat-sifat unggul manusia: optimisme dan Husnudzan kepada Allah swt. Harap (roja') ini berbeda denganTamanniy (angan-angan), karena pada harapan (roja') adanya keterpautan hati dengan gerak lahir sesuatu yang diinginkan di masa depan, sedangkan tamanniy hanya sekedar andai-andai kosong saja. Akan selalu ada nafas harapan dan optimisme ditengah badai kehidupan, bagi mereka yang dekat dan penuh (kuat) rasa yakinnya kepada Allah swt. Mereka tidak mungkin takut dan bersedih hati, apalagi berputus asa dari rahmat Allah swt, meskipun dalam perkara dosa sekalipun, dalam masalah pertaubatan manusia sekalipun, mereka akan selalu membersamai hari-harinya dengan pemaknaan yang besar terhadap kehidupannya. Ibnu Athai’illah As-Sakandari dalam kitab Al-Hikam, mengatakan:"pertaubatan dengan sikap rajâ’ tidak mempersyaratkan penyesalan sebagai gerbang utama, melainkan yang terpenting adalah sikap dan keinginan yang kuat untuk berbuat baik di kehidupan barunya."

Bahwa, yang diharapkan dari seorang muslim beriman adalah penghidupan dunia yang baik, dan jaminan keselamatan kelak di akhirat. Sungguh, orang-orang yang lurus agamanya dan bercahaya mata hatinya akan melihat bahwa dunia beserta segenap kebendaannya hanyalah sementara dan melenakan saja, sedangkan akhirat, adalah tempat berpulang yang lebih baik, lebih kekal. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Rasululullah saw, melalui sahabatnya Abu Hurairah ra, "Dunia penjara bagi orang mukmin dan syurga bagi orang kafir." Harapan senantiasa menyiratkan kebaikan-kebaikan, sebagaimana Allah secara terang-terangan mengabadikan didalam Al-Qur'an, agar manusia tidak terputus dari rohmat dan pengharapan (ampunan) dari Allah swt. Allah swt berfirman: "Janganlah kamu berputus asa dari mengharap Rahmat Alloh. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari mengharap Rahmat Alloh melainkan kaum yang kafir”. (QS Yusuf : 87).. Terkait QS. Al Anbiyaa’ ayat 89-90 pun, Allah swt telah mengisahkan tentang Nabi Zakaria, Istrinya, dan Yahya, yang senantiasa dekat dan taat kepada-Nya, Allah mensifati para hamba-Nya yang beribadah dan berdo’a kepada-Nya dengan rasa harap dan cemas (rogbah dan rohbah) serta merendahkan diri (khusyu’).. Dalam kitab Hushulul Ma'mu Bisyarhi Tsalatsatil Ushul Karya Abdullah bin Shohib Al Fauzan, dikatakan bahwa Rogbah adalah meminta, merendahkan diri, dan mengharap sepenuh hati dengan penuh kecintaan yang mengantarkan kepada sesuatu yang dicintai. Sedangkan Rohbah adalah takut yang menyebabkan seseorang menjauh dari sesuatu yang ditakuti. Namun Rogbah sendiri ada sedikit perbedaan dengan roja' yang kita bahasakan hari ini. Dalam Buku Madarijus Salikin Juz kedua, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, dikatakan: Rogbah memiliki makna yang hampir sama dengan roja’. Namun keduanya memiliki perbedaan. Roja’ adalah menginginkan (hanya sekedar keinginan) sedangkan rogbah adalah usaha untuk mendapatkan yang diinginkan, namun belum bisa dipastikan keinginannya itu tercapai. Maka Roghbah dan Rohbah adalah lebih khusus dibandingkan Roja' dan Khauf ini..

Pengharapan (roja') adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, disertai dengan rasa takut (Khouf) kepada Allah swt, mengharapkan ihsan (balasan keutamaan), dan kebaikan dunia akhirat.Roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab yang baik untuk mencapai tujuannya. SedangkanKhouf adalah rasa takut dengan berbagai macam cara dan jenis ketakutan, adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf karena khosyah diiringi oleh sikap ma’rifatullah.. Ar Raghib berkata: "Khosyah adalah khouf yang tercampuri dengan pengagungan dimana mayoritas hal itu muncul didasarkan pada pengetahuan terhadap sesuatu yang ditakuti, adapun rohbah adalah khouf yang diikuti dengan tindakan meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah khouf yang diiringi amalan.. (Hushuulul Ma’muul hal.87). Maka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya  penggerak hati menuju Allah‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang dicintai-Nya. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi pemacu perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap hamba wajib memperahtikan hal itu…” (Majmu’ Fatawa,1/95-96, dinukil dari Hushulul Ma’muul, hal. 82-83)..

Janganlah terputus dari telaga harap, sebab kalian adalah permata indah yang sengaja dsingkapkan berhadap-hadapan dengan kemilau cahaya mentari, sehingga engkau pun memantulkan sinar dan cahanya yang indah, ikut menerangi dan memperindah dunia bersama segenap keindahannya. Janganlah pernah merasa lelah, baik pada saat sepi, ataupun saat ramai di jalan kebenaran dan seruan beramal kebaikan.. InsyaAllah ada Allah swt yang akan selalu membersamai setiap langkah kita dalam kebaikan ini. Meski lelah (karena pundak kita terpaksa harus menanggung beban dari sodara kita yang tidak terlibat dalam amal jama'inya), namun tetap, Allah swt semata-mata telah memilih kita untuk tetap berada disini, di jalan kebenaran, di jalan perbaikan. Ikhwah!! Janganlah mundur, sebab orang-orang yang mundur hakikatnya adalah berjiwa munafik, sebagaimana Abdullah bin Ubay mundur dari perang uhud karena kenifakannya, karena tidak ada sikap/sifat harap kepada Tuhan-Nya dan kepada Rasul-Nya. Mari letakan kembali batu bata harapan kita kepada Allah swt, Rabb yang menggenggam setiap harapan dan kejadian (takdir) dari apa yang kita upayakan ini. Semoga langkah kaki kita dijejakkan dengan kekokohan yang sebesar-besarnya, InsyaAllah... Semoga bermanfaat!!

Sabtu, 12 Februari 2011

Bangunan Amal

Hakikat dari kehidupan manusia adalah untuk beramal!! Segenap potensi tenaga, pikiran, waktu, dan materi, dimanfaatkan untuk beramal kebaikan. Beramal kebaikan ibarat menanami lahan kehidupan yang kering dengan tetanaman subur yang menyenangkan, dan sedap dipandang, layaknya seperti menanam pohon kerindangan, yang mampu memberi keteduhan berlipat-lipat, keteduhan dari sebuah kerindangan, dari sebuah kebermanfaatan dalam keutamaan. Meski terik mentari kian membakar setiap lembar kulit manusia, namun pohon kerindangan itu tetap meneduhkan!! Meski hari-hari kita senantiasa bersimbah peluh, senantiasa selalu ada amal-amal yang diutamakan!!,Meski kehausan akan imbalan dan penghargaan semakin menjadi-jadi, namun pohon kerindangan ini tetaplah kokoh, menyamarkan bebayang kecacatan dalam tubuh amal, dalam tubuh kebaikan!! Semata-mata untuk mendapatkan bibit pohon amal untuk proyek penanaman pohon kerindangan, pohon amal kebaikan..Tidak ada maksud dan tujuan lain, dari penghidupan amal dalam tubuh aktifitas manusia, melainkan ingin bersemainya benih-benih kebaikan, dan berkembang lebat menjadi sebuah pohon kerindangan, pohon amal kebaikan..

Berangkat dari sebuah tata nilai kemanusiaan manusia, dalam struktur amal manusia tentunya, akan banyak kita jumpai keberpemilikan yang samar!! terkadang kita merasa memiliki kemampuan untuk menebar bibit-bibit keutamaan kepada segenap keluarga manusia, padahal pada hakikatnya kita dibermampukan, diberi ijin, dan dipertolongkan oleh Allah SWT semata.. Di luar itu, pasti, kita tidak memiliki daya meureka dan tidak memiliki kekuatan mencipta pada sebuah tubuh amal, tidak memiliki keutamaan, selain dari apa yang manusia berikan, meski lebih kurang karena ketidak tepatan saja, penghargaan dan apresiasi yang seharusnya tidak kita miliki, karena unsur kelemahan dan kecacatan amal kita yang sudah membengkak parah, sudah terlepas dari tali acuan dan hakikat penghambaannya.. Atau lebih sering juga kita merasa ujub dan takabur atas amal kita, padahal tidak seberapa jika dibandingkan dengan struktrul amal dengan keikhlasan misalnya, tidak ada faidah dan keutamaannya bagi amal yang dijahit dengan benang ujub dan jarum takabur itu, semata-mata hanya sekedar kelelahan dan rasa capek saja, itu saja!! Bahaya memang, kita akan mendapatkan keburukan sebagai hasil implikasi dari kecacatan amal karena sifat ujub dan takabur kita, tidak tanggung-tanggung nerakalah tempat berlabuh kelak, bagi orang-orang yang demikian itu, begitu pula sebaliknya!! Sa'id Bin Jubair, seorang ulama salaf, mengatakan: "Sesungguhnya ada seorang hamba yang beramal kebaikan malah ia masuk neraka. Sebaliknya ada pula yang beramal kejelekan malah ia masuk surga. Yang beramal kebaikan tersebut, ia merasa ujub (bangga dengan amalnya), lantas ia pun berbangga diri, itulah yang mengakibatkan ia masuk neraka. Ada pula yang beramal kejelekan, namun ia senantiasa takut (akan adzab Allah) dan ia iringi dengan taubat, itulah yang membuatnya masuk surga"..

Ajaran siutao mengatakan bahwa infrastruktur amal kebendaan itu dibangun oleh dua hal, pertama diukur dengan tingkat kesungguhan hati, lalu yang kedua adalah diukur dengan tingkat menerima manfaat.. Ini adalah struktur amal kebendaan yang hanya memerankan manusia dalam satu peran pincang saja, peran "hanya agar bermanfaat untuk manusia saja", hanya menyangkut aspek materialistik-empirik secara sempit, belum menyentuh aspek fungsionalitas-integralitas, dan aspek-aspek lainnya!! Dengan modal kesungguhan (jiddiyyah) maka segala problematika kehidupan akan mudah untuk dihempaskan menjadi lembaran-lembaran jalan keluar yang gilang-gemilang. Modal kesungguhan ini barangkali akan muncul sebagai sebuah fenomena tidak permanent (unpermanent aspect), modal kesungguhan ini bermulai dari niat, lalu mereproduksi dirinya menjadi sebuah amal-amal kebaikan yang terkonsep matang, sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia sendiri. Modal ini tiada lain adalah sebuah pembenaran (tashdiq) dalam niat, tindakan, dan ucapan.. Disamping modal kesungguhan, dalam rangka menopang pondasi infrastruktur amal kita, mesti dibarengi dengan modal ketundukan. Maksudnya adalah keta'atan yang seta'at-ta'atnya keta'atan, yang mampu menembus batas amaliyah manusia secara keumumman. Modal ketundukan ini lebih sering kita kaji pada siroh-siroh nabawiyah dan fiqih shohabah (sejarah nabi dan fiqih sahabat nabi), dimana tidak bisa kita tentukan, apakah anggota badan mereka yang dahulu menguatkan islam, atau hati merekalah yang membawa islam dan panji-panji penguatan islam pada kehidupannya, atau ada yang lainnya, dan sebagainya. Syaikhul Islam, Ibnu taimiyyah mengatakan: "Sulit dibedakan antara ma'rifah (mengenal Tuhan dengan hati) dengan pembenaran semata. Sulit membedakan antara pengenalan dengan hati dan pembenaran yang tidak disertai dengan amalan anggota badan sedikitpun", maka orang yang menyangka bahwa dia orang mukmin dan tidak mengucapkan dengan lisannya serta tidak pula beramal dengan anggota badannya dalam keadaan mampu untuk beramal maka ini adalah madzhabnya Jahmiyyah, keimanan Jahmiyyah, (kita berlindung kepada Allah untuk keselamatan hal tersebut). Maka harus adanya amalan yang akan membuktikan pembenaran yang ada dalam hatinya sebagaimana orang yang beramal harus adanya pembenaran dalam bathin yang akan mensahkan amalannya tersebut..

Berbicara struktur amaliyah manusia, maka kita mau tidak mau harus berbicara tentang kapasitas manusia dalam beramal dan melaksanakan kebaikan-kebaikannya, bagaimana manusia brproses dalam menumbuhkan pohon-pohon amal yang mungil, lalu seiring berjalannya waktu pohon mungil itu berubah menjadi pohon amal yang dipandang sedap oleh orang-orang disekitarnya, pohon yang akan sangat banyak memberikan kebermanfaatan, daunnya yang rindang, akarnya yang kokoh dan menguatkan, batangnya yang bisa dijadikan sandaran,, rantingnya yang mencakar keangkuhan, dan sebagainya. Berbicara tentang amal, maka kita mesti berbicara tentang komleksitas niat yang terkadang sangat sulit untuk dijaga dan dikendalikan, senantiasa berubah-ubah, sebagaimana perkataan dari Sufyan Ats Tsauri, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah.” Begitulah niat yang murni, tautan hatinya hanyalah untuk Allah semata, niat yang murni ini adalah sesodara kandung dengan kejujuran hati kita, ia adalah sebuah warna polos tanpa keberpihakan, tanpa coretan tinta tujuan lain, selain hanya niat ketulusan, dalam amal yang dijaga kemurnian kompleksitas niatnya, karena pembalasan pahala-dosa, ditakar dari kadar niatnya pula. Meskipun memang Ikhlas (kata Umar Sulaiman Al Asyqar) adalah seolah-olah berupa konsepan khayali yang sulit ditemukan wujudnya pada diri manusia..

Baiklah, kita sedikit akan membahasakan konsep ikhlas dalam kaitannya dengan kontekstualisasi amal manusia!! Agar nantinya terlihat korelasi dan koherensi antara bangunan amal yang telah kita uraikan diatas dengan konsep ikhlas dalam beramal.. Fudhail bin Iyadh mengatakan, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah". Ikhlas sendiri adalah amaliyah rahasia (amniyyah) dimana hanya Allah dan hambaNya lah yang tahu tentang urusan ikhlas ini, ia membrsihakan setiap kekotoran pada dinding bangunan amal dari campuran-campuran yang mengotori, ia menghanguskan segala kayu-kayu yang di i'tiqadkan dari semula untuk membakar rumah niat dalam setiap konstelasi amal manusia. Ikhlas ini bisa dipercepat proses pembangunan dan kristalisasi karakternya dalam kehidupa kita, dengan beberapa cara, antaralain: memperbanyak do'a, menyembunyikan amal kebaikan, memandang rendah amal kebaikan kita, takut akan tidak diterimanya amal, tidak terpengaruh oleh perkataan manusia, menyadari bahwa manusia bukan pemilik surga dan neraka, ingin dicintai namun dibenci, dan sebagainya.. Amal keikhlasan teramat sedikit dan jarang kita temukan dewasa ini, karena memang sebetulnya amal yang disertai dengan keikhlasan teramat berat, banyak cabaran da cobaan, serta godaan yang akan merongrong setiap baju keikhlasan yang melekat pada tubuh amal kita!! Maka, perlu dua cara logis untuk mengantisipasi segala cobaan dan cabaran, serta godaan ini, yakni: petama mengembalikan pemahaman bahwa segala kompleksitas kehidupan adalah dalam rangka ibadah kepada Allah swt dalam seluruh lingkup perbuatan, baik lahir maupun bathin, kemudian yang kedua memurnikan niat dalam setiap tataran amal haqiqinya, dalam tataran orientasi dan makna amaliyahnya, dan sebagainya..

Ikhlas, merupakan sebuah cabang dari akar pohon kebaikan, cabang yang barangkali teramat dalam keberadaannya, sampai terlihat samar-samar, dan sering dilupakan juga, karena akarnya tidak terlihat oleh jangkauan penglihatan mata sederhana manusia biasa!! sebab lagi-lagi, hanya Allah yang memahami tingkat keikhlasan seseorang, dibanding orang yang berikhlasnya sendiri. Keikhlasan suatu bangunan amal, pertama-tama akan ditentukan oleh kadar keikhlasan niatnya masing-masing. Dalam kaitannya dengan pembahasan niat, ada dua hal terkait niat, yakni: menyengaja melakukan suatu amalan (niyat al-'amal) dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu (niyat al-ma'mul lahu). Terkait niyat al-'amal, hendaknya ketika melakukan suatu amal seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain, sehingga mampu membedakan mana yang sunah mana yang wajib, dan sebagainya. Kemudian niyat al-ma'mul lahu hendaklah ketika melakukan suatu amal seseorang tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya, amalannya dilakukan dengan ikhlas.. Bentukan niat yang kedua, didalam Al-Qur'an sering disitir dengan konteks kata yang berbeda, misalnya: iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari), dan sebagainya!! dalam kitab Az- Zuhd karya Nu'aim bin Hambal, dituturkan bagaimana sikap Abu Bakar Ash-Shidiq ra pada saat menerima/mendengar banyak pujian dari manusia, beliau pun berdo'a kepada Allah swt: “Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.”  Maka, perbaharuhilah niat kita dengan memperbanyak dekat kepada Allah swt, dengan memperlama intensitas perbuatan baik kita kepada Allah swt, dan sebagainya. sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mubarrak: “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.”

Saya teringat sebuah petikan cerdas yang saya garisbawahi kata-kata indahnya itu, dari sang insan shaleh, Ibnu Qoyyim dalam bukunya Al Fawaid, beliau mengatakan: “Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ’sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” 

Hari ini, adalah moment-moment penting untuk berlahirannya para mukhlis/mukhlisun (orang-orang ikhlas) dalam beramal. Mereka adalah yang hatinya bersih dan tulus dalam perbuatan, perkataan, pemberian, penolakan, perkataan, diam, ibadah dan amaliyah kehidupannya semata-mata dilakukan untuk Allah SWT semata. Maka, dengan Isyarat Allah sendiri (di dalam nash Al-qur'an) disebutkan, bahwa selain derajat mukhlis manusia masih berpeluang mengalami kesia-siaan (halka). Maka (masih menurut Al-Qur'an), orang yang bergelar mukhlis masih lebih baik dibandingkan dengan orang ‘alim yang ‘amil (orang pandai yang banyak berbuat) tetapi tidak mukhlis. Menjadi orang diluar kapasitas sebagai mukhlis, hanya akan menyisakan penyesalan yang tiada terkira banyaknya, hanya meninggalkan jejak kelelahan tanpa balasan yang setimbang dengan pengorbanannya, dan sebagainya. Menjadi orang di luar kapasitas sebagai mukhlis, kata Syekh Abdul Qadir Jaelani, disebut "sebagai orang yang lahirnya baik tetapi bathinnya rusak." Beberapa kharakteristik orang-orang mukhlis antara lain: Berhati-hati dalam bertindak dan berkeyakinan karena takut kepada Allah swt semata, beriman kepada ayat-ayat Allah swt, ayat-ayat Qauliyah (Alquran) maupun isyarat alam (ayat Qauniyah), Siap mnafkahkan dan menyedekahkan harta yang Allah karuniakan kepada mereka di jalan yang Allah perintahkan, bersegera dan sigap dalam berbuat baik dan menyongsong kebaikan, dan salah satu karakteristik khas orang yang ikhlas (mukhlis) adalah senang menyembunyikan amalannya bagai menyembunyikan aib-aibnya..

Akhirnya tulisan singkat ini saya tulis dengan kutipan perkataan dari sang hujjatul Islam, Syekh Abdul Qadir Jailani, ” Barangsiapa yang bersabar bersama Allah SWT, maka ia akan melihat kelembutannya. Barangsiapa bersabar menerima kefakiran, tentu kekayaan akan mendatanginya. Kebanyakan para nabi adalah penggembala, dan para wali adalah pengembara. Barangsiapa merasa hina di hadapan-Nya, maka Dia akan memuliakannya. Barangsiapa tawadhu’ di hadapan-Nya, Dia akan mengangkat derajatnya. Dialah Dzat Yang Meninggikan atau menurunkan derajat, Yang menetapkan dan memudahkan urusan. Tanpa DIA, kita tidak akan pernah mengenal-Nya sebab kita mengenal-Nya melalui firman-Nya. DIA-lah yang memperkenalkan diri-Nya kepada kita, baik melalui Tauhid Asma wa Sifat maupun melalui alam penciptaan-Nya. Wahai orang-orang yang menyombongkan amal mereka, alangkah naifnya engkau. Kalaulah bukan karena taufik-Nya, tentu engkau tidak akan mampu menjalankan shalat lima waktu, puasa, atau pun sabar. Kebanyakan manusia menyombongkan ibadah dan amal mereka. Mereka mencari pujian dan sanjungan manusia. Mereka senang jika dunia dan para pencintanya datang menghadap kepada mereka. Adapun yang menyebabkan mereka dalam keadaan seperti itu adalah karena mereka masih terikat oleh nafsu dan keinginan-keinginannya. Dunia memang kekasih nafsu, akhirat kekasih hati, dan Allah kekasih nurani."

Jumat, 11 Februari 2011

Cinta dan Mencintai Allah

Cinta, teramat mudah disapa, namun sangat berat untuk disentuh. Ia adalah refleksi-refleksi sederhana yang merangkai menjadi sebuah keajaiban. Cinta adalah fatamorgana, antara khayalan dan kenyataan, yang tabirnya teramat tipis dan transparan, masing-masing bisa mengintai rahasia-rahasianya, rahasia cinta dan kehidupan. Cinta adalah kecenderungan, kesediaan hati, pengutamaan, pengembaraan hati, dan pengenangan. Ia adalah yang memenangkan dari setiap problematika rasa dalam kehidupan manusia, dalam semua hiruk-pikuk kemanusiaan, yang mana manusia sendiri adalah sebagai aktor utamanya. Cinta adalah sebuah keberpihakan, subjektif tentunya, namun sangat logis dalam pencernaan rasa dan sering menjadi buram dalam kacamata logika. Ia menyipati dirinya dalam keterusterangan, ketersembunyian, keheningan, ratapan, bisikan, kesyukuran, kepedihan, dan seterusnya. Cinta, begitulah disapa, ia adalah sebuah inti kehidupan (core of life), yang mana nasyid dan sandungan cinta sudah bergaung dimana-mana, dalam bentukan yang beragam-macam, dalam pengungkapan beragam-pandang. Ia tumbuh dan besar dalam kehidupan, sebuah rumah perkembangbiakan yang teramat singkat, namun cinta meletup-letup dalam lautan pengungkapan, keterusterangan, ketersembunyian, dan sebagainya..

Satu objek cinta yang mesti dicurahkan cinta dan penghambaan manusia, sekuat keyakinan dan kadar penghambaan, sekerat uratan nadi dan dentuman jantung yang berdecak berat, yakni cinta dan mencintai Allah. Inilah sebuah inti kehidupan yang kita kenal selama ini!! Cinta dan mencintai Allah, adalah sebuah dramatika kehidupan orang-orang shaleh, sebuah epilog untuk manusia-manusia lurus hatinya, dan bersih akalnya, serta dewasa kehidupannya. Cinta dan mencintai Allah melahirkan penghambaan, keta'atan (tho'at), ketawadluan , harap (roja), takut (khaof), sabar (shobrun), dan sebagainya. Cinta dan mencintai Allah, kelak akan melahirkan kebersamaan, sebab setiap nafas cinta akan disertai/ditemani oleh udara-udara yang dicintainya, akan dibersamai dengan angin-angin sepoi yang menawarkan kesejukan. Maka, mencintai Allah, adalah sebuah proses pengenalan kembali kepada hakikat ketuhanan Allah dan penghambaan manusia itu sendiri, sesuai dengan tuturan Al-Qur'an sebagai falsafah dan komitmen hidup, seirama dengan hakikat kehidupan Rasulullah dalam sunnahnya, dalam qudwah hasanahnya,  seiya-sekata dengan konsep kemanusiaan manusia dalam kaitannya sebagai makluk pengelola rasa, pengelola jiwa, dan seterusnya..

Cinta dan Mencinta Allah, berawal dari luapan hati dan kerinduan akan fitrahnya, kemudian luapan itu mengalir menjadi sungai rasa yang deras, menghanyutkan, namun tidak membahayakan,, lalu aliran sungai rasa itu menyatu dalam sebuah telaga bernama kerinduan, dan berkumpul dalam luasan samudera yang maha luas, samudera cinta.. Dan dari sanalah, dari samudera itu, kelak kita akan mudah mengenal Allah (ma'rifatullah) dengan mahabbah (kecintaan). Cinta dan mencintai Allah bisa bermakna sebuah kepatuhan, perjuangan, pengorbanan, kelelahan, ketabahan, dan sebagainya. Ia memang tidak akan pernah surut dari perluasan-perluasannya, sebab sungguh, cinta dan mencitai Allah hakikatnya adalah dalam rangka memperluas cakrawala hati dan kepatuhan akal, serta ketundukan nafsu pada pancarana cahaya fitrahnya.. Dan cahaya fitrah ini akan tetap bersinar (Dhiya'un) dan bercahaya (nuurun), akan tetap menjadi cahaya yang membentengi dirinya dari keterbakaran, dari penghangusan dirinya, dan ia tidak hangus, tidak terbakar, akan tetapi ia mampu bersinar dan menerangi, memberikan energi besar untuk sebuah perubahan besar!! Cinta dan mencintai Allah, bila disederhanakan, barangkali berkisar antara: kepatuhan kepada titahNya, sikap meninggalkan hal-hal yang tidak disukai/dilarangNya, mencinta mereka yang besar kecintaan kepadaNya, lalu dilanjutkan dengan ikut tidak menampakan cinta/menahan cintanya dari mencinta  sesuatu yang tidak dicintaiNya..

Cinta dan mencintai Allah, memerlukan dua sayap keteduhan agar tetap terbang dan seimbang!! keteduhan hati, dan keteduhan dekat dengan tuhanNya, keteduhan ini adalah perasaan harap dan perasaan cemas kepada Allah swt. Harap membuat sebuah pahala-pahala ringan seakan menjadi berbobot, berat, yang mendekatkan baik sangka dan semangat untuk berbuat banyak, kemudian cemas adalah yang mengkontrol tarap kemungkinan-kemungkinan ketidak sampaian-ketidakterimaan amalan kita kepadaNya, lalu kita bertindak hati-hati, dan serius dalam beramal kebaikan. Sifat-sifat ini akan meluas menjadi: rasa takut kepada Allah, berharap, bertawakal kepada Allah, menggantungkan diri kepadaNya, dan ketundukan kepada konsep/konsepsi ketuhanan dan ajaran Ilahiyahnya!! Maka, marilah kita mengenal Allah lebih dekat lagi, mengenal Allah lebih dalam lagi, mengenalNya lebih lama lagi, mengenalinya terhadap wujudNya, sifat-sifat RububiyyahNya, sifat-sifat Uluhiyyah Allah, dan memahami (memaknai) Asma dan ShifatNya. Memang, cinta dan mencintai Allah, mau tidak mau mesti mengulang lagi pengetahuan dan ta'aruf kita terhadap Allah, dengan segala kompleksitas ketuhananNya!! dan sebagainya..

Cinta dan mencintai Allah memiliki beragam bentuk, warna, dan jenisnya, serta kadar dan kedalaman hakikatnya.. Maka, marilah kita lebih dekat kepada Allah, sebab Allah memang begitu dekat dengan kita, sampai-sampai gemerrisik bisikan do'a didalam hati kecil yang paling samar sekalipun, di tempat yang paling tidak terjamah sekalipun, pasti Allah mengetahuinya. Sekali lagi, bahwa fitrah manusia adalah mengenal Rabb-Nya dalam sifat-sifat rububiyyahnya, yakni: kedalaman perenungan pada ciptaanNya, penyadaran pendakian kekuasaanNya yang teramat luas dan mengikat, dan Pengaturan-Nya yang telah tetap dan kokoh dalam kehendakNya, dan seterusnya. Cinta dan mencintai Allah adalah puncak dari seluruh maqam tertinggi manusia, dan memang tidak ada maqom (kedudukan) tertinggi disisi Allah melainkanmahabbah (cinta dan mencintai Allah) itu sendiri. Mahabbah berasal dari kata hubb, yang sebetulnya mempunyai asal kata yang sama dengan habb, yang artinya biji atau inti. Maka orang-orang sufi menyebutnya sebagai awal sekaligus akhir dari perjalanan keberagamaan kita. Mereka juga menyatakan bahwa hubb terdiri dari dua kata, ha dan ba. Huruf ha artinya ruh, dan ba berarti badan. Karena itu, hubb merupakan ruh dan badan dari proses keber-agamaan kita. Maka, Mir Vali'uddin dalam bukunya Love of God (Mencintai Tuhan) menyebutkan bahwa Allah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata walaha; walaha-yalihu-ilahan. Ketika kata ilah ditambah dengan alif lam sebelumnya, maka ia menjadi Alllah. Jadi, kata Allah berasal dari kata walaha yang artinya keresahan, kecintaan, dan kerinduan yang dirasakan oleh seorang ibu kepada anaknya. Lalu, kata walaha menjadi ilah, yakni sebagai isim maf'ul (sebagai objek yang di-). Jadi, kata ilah berarti "yang dirindukan" atau "yang dicintai". Dalam kerinduan dan kecintaan itu, ada kegelisahan dan keresahan spiritual..

Cinta dan mencintai Allah memang adalah kebutuhan fundamental yang tidak bisa ditunda-tunda lagi pemenuhannya, sebab ia mengakar kuat layaknya akar yang kokoh kedalam hati manusia, sebagai panggilan fitrahnya, lalu batang dan ranting-rantingnya menyeruak, menjerumput, meninggikan keteduhannya dan memperlihatkan pesona keelokannya. Inilah pohon cinta dan mencintai Allah, sebagaimana diungkap oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya, Raudhatul Muhibbin: "Cinta kepada Allah itu ibarat pohon dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat yang dicintainya, batangnya adalah mengenal nama dan sifat Allah, rantingnya adalah rasa takut kepada siksa-Nya, daunnya adalah rasa malu terhadap-Nya, buah yang dihasilkan adalah taat kepadaNya Dan penyiramnya adalah dzikir kepadaNya. Kapanpun jika amalan-amalan tersebut berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allah".

Cinta dan mencintai Allah tidak akan pernah mampu terbatasi oleh waktu dan kesempitan kehidupan, sebab cinta dan mencintaNya itu telah menjadi bara perapian ditengah tungku kehidupan, yang andaikata padam, hilanglah sumber ketentraman tertinggi manusia beriman, yakni cinta dan mencintai Allah, melebihi kadar dan kapasitas cintanya kepada yang lain. Bagi mereka adalah pantas dihadiahkan "Halawatul Iimaan" (kemanisan iman). Cinta dan mencintaiNya tidak akan terbatas pada kata dhahir-bathin, aspek ghaib-nampak, dan sebagainya. Cinta dan mencintaiNya akan membuka tabir keutamaan dan kekhasan balasan yang akan kita terima kelak-sebagai buah cinta kepada Allah swt dan memang, jika kita menanam benih cinta dan mencintai Allah, kelak kita akan mampu memanen bunga, buah, kerindangan, keteduhan, dan regukan air yang menyejukkan sebagai hasil yang kita panen dari usaha cinta dan mencintai Allah ini. Inilah indahnya mahabbah, indahnya mencintai Allah, melebihi kapasitas kecintaan kepada yang lainnya. Maka, simaklah puisi yang diungkap oleh Ibnu Arobi: "Dia memujiku maka aku memuji-Nya dan Dia menyembahku maka aku menyembah-Nya"  yang bila dimaknai maksud harfiahnya adalah sebagai berikut: "Tuhan kau mengabdi kepadaku, akupun mengabdi kepada-Mu." yakni karena besarnya kasih sayang-Nya, maka sepanjang hidup kita, Dia mengabdi kepada kita dan melayani keperluan kita, seakan-akan Dia tidak mempunyai hamba selain kita..

Mencintai Allah, kelak nanti akan dibersamakan dengan siapa yang kita cintai hari ini! Memang, kadar kecintaan manusia tidak lepas dari kadar/ukuran yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana firman Allah swt: "Sesungguhnya Allah berkuasa(mentakdirkan) atas segala sesuatu" (QS. Al-Baqarah : 20). Telah bersalahlah orang-orang Atheis, aesthetes, dan epikurian, mereka yang tidak sama sekali mengenal Allah (bahkan mengakui keberadaan Allahpun tidak), sedikitpun tidak akan mampu mengecap manisnya cinta dan mencintai Allah, melainkan dengan jalan hidayatuddin dan hidayatul fithrah yang dibunyikan dalam dentuman-dentuman keimanan mereka, dengan ijin Allah tentunya, diluar itu, tidak akan mungkin terjadi hal-hal yang seperti disebutkan tadi. mencintai Allah, ibaratnya kita sedang menggenggam tali keimanan yang kokoh yang menghubungkan tali itu dengan Allah swt sendiri, meski Allah tidak memerlukan tali penghubung itu, namun Ia teramat sangat menghargai cara dan kapasitas manusia dalam mendekatinya-mencintaiNya itu. Mencintai Allah berarti komitmen untuk setia kepada-Nya, ridha atas segala keputusan-Nya, mampu ber alhubbu fillah (mencintai seseorang karena Allah) pula!! dan sebagainya. Penulis berpendapat bahwa cinta dan mencintai Allah adalah bukan dalam bab ikhtiar (pilihan-pilihan), akan tetapi ia adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan, yang jika tidak dipupuk dan dikembangkan, kelak, kita tidak akan mendapat cinta balasan dari Allah swt. Cinta dan mencintai Allah bukanlah hitam diatas putih, yang mesti dipilih dan ditawarkan kepada sisi kemanusiaan manusia yang tidak lengkap, sebab, hanya strukur masyarakat mu'minlah yang memahami tentang keagungan aspek dan akibat yang dihasilkannya. Tapi, cinta dan mencintai Allah, adalah haq, yang cahaya kebenarannya sudah tidak bisa ditutupi oleh kegelapan dalam bentukan macam apapun, dan seterusnya..

Cinta dan mencintai Allah, mestilah diiringi dengan pemahaman yang dalam terhadap segala kompleksitas Dzat yang kita cintai, Allah swt. Meski kita hanya menduga-duga apa yang Allah suka, apa yang Allah kehendaki dari keberadaan manusia (beriman ataupun tidak, kafir ataupun tidak). Maka sebetulnya Allah telah memberikan sebuah instumentsi kewahyuan yang diperantarakan oleh para rasul, termasuk Rasulullah saw, dan isntrumentsi ini tidak bisa ditinggalkan pasca terputusnya rasul terakhir, Muhammad saw, sebab, interaksi kewahyuan dari instrumentsi ini mesti dilanjutkan sampai kepada setiap generasi yang baru membukakan mata sekalipun, atau generasi yang akan menutupkan usianya sekalipun. cinta dan mencintai Allah adalah salah satu sarana pengendalian terkokoh dengan tali-Nya ((i’tisham bi hablillah).. Cinta dan mencintai Allah adalah sebuah kesucian yang berkilau cahaya dan menebarkan semerbak aroma kesetiap dekapan napas kehidupan!! Ia adalah sendi-sendi penguat kemanusiaan-keimanan, sebuah tujuan suci nan megah, sebagai sebuah pancaran Robbaniyyah dalam lingkupan nikmat Ilahiyyah.. Maka, ruh cinta kita kepadaNya mesti dijaga kekokohannya, agar tetap bersemai dalam alunan pujian-penghambaan-penuhanan..

InsyaAllah, semoga kita dikelompokan menjadi orang-orang yang diberi taufik dan hidayah untuk brmahabbah dalam kapasitas dan tahapan tertingginya, yakni cinta dan mencintai Allah sesuai dengan kapasitas kecintaan dan kemampuan kita dalam mencintakan cinta kita kepadaNya ini.. InsyaAllah, Allah hendak menguji kita, apakah kita sungguh-sungguh dalam mencinta Allah, atau kah sebaliknya!! Meminjam istilah dari Ali Azmatkhan, seorang penulis buku Endless Love "Mengabadikan Cinta".. Maka, tinggalah cinta abadi saat hati ini sudah berhadap-hadapan denganNya, hanya aku dan Kamu, hanya daku yang berdosa dan Engkau yang memaaf!! Ampuni hambaMu dalam kecacatan cinta dan kekurangkadarnya cintaku padaMu!!

Minggu, 23 Januari 2011

Itsar

Mendahulukan kepentingan orang lain (Itsar) dibanding diri sendiri adalah salah satu perbuatan mulia. Sebuah sikap Heroik dan fenomenal di jaman sekarang barangkali, dimana kenyataannya setiap manusia hari ini lebih banyak mencintai dan mendahulukan dirinya sendiri dibanding orang lain. Itsar adalah bak cahaya bulan di kesendirian malam, cahayanya menerangi segala penjuru malam, namun cahayanya tidak sebanyak cahaya gemintang di lautan kelam. Itsar adalah kesyahduan yang terbuang, sebuah hikmah yang teramat langka kita temukan di tengah pragmatisme masyarakat. Itsaradalah kesunyian ditengah ramainya hiruk pikuk manusia yang bertebaran di jalanan dan di pasaran. Itsar adalah keteladanan dalam kearifan, Itsar adalah lukisan cantik di sebidang kanvas kehidupan, Ia adalah kebermanfaatan tertinggi ditengah banyaknya kesia-siaan pada tubuh amal, Ia adalah Empati dan senantiasa menginginkan kebaikan untuk orang lain, jauh dari kebutuhan/keinginan untuk dirinya sendiri. Begitulah Itsar, Ia akan bersih dari sikap-sikap serakah, keegoisan sempit, individualistis sesat, kosmopolis behaviour, materialisme sekuleritas, dan sebagainya...

Itsar adalah harta yang hilang ditengah-tengah keberlimpahan harta dan kekayaan. Itsar adalah capaian tertinggi bagi peradaban akhlak manusia, dimana eksistensi kemanusiaan manusia dijunjung tinggi dan ditegakkan, Ia adalah yang membedakan mana manusia yang empati, mana yang tidak, dan seterusnya, dan seterusnya. Mendahulukan kepentingan orang lain (Itsar) dalam duniawi dan pertolongan itu teramat dianjurkan, sedangkan dalam perkara ukhrawi dan ibadah adalah cela. Kaidahnya begini: Al Itsar bil Qurbi makruuhun wa fii ghoirihaa mahbuubun (mengutamakan orang lain dalam hal mendekatkan diri kepada Allah atau mengutamakan orang lain dalam hal ibadah itu hukumnya makruh). Begitulah Itsar, Ia bukanlah hal asing pada masa sahabat Rasulullah saw, karena Rasulullah itu sendiri adalah contoh dan tauladan terbaik untuk perbuatan ini. Tak heran, pada masa itu, adalah bermunculannya pribadi-pribadi yang kaya makna, jiwanya menebarkan pesona keshalihan, pada mereka memancar mata air kebaikan. Begitulah Itsar pada masa itu, hingga diabadikan dalam tinta Al-Qur'an: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Al Hasyr: 9). Maka pada saat itu tidak aneh, jika salah seorang muslim lebih mencintai sodaranya dibanding dirinya dan keluarganya sendiri. “Salah seorang dari kalian tidak beriman, hingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya”...

Dalam pandangan Islam, Itsar,barangkali sebuah kata yang hampir asing didengar di telinga kita, namun Ia mampu menembus berbagai aspek dan dimensi kehidupan, Itsar adalah hal terpuji dan elok untuk dicontoh, sebuah kaidahsyar'iyyah yang telah dicontohkan oleh pribadi mulia, Rasulullah saw dan generasi setelahnya, dan barangkali oleh orangtua kita, dan seterusnya, dan seterusnya.. Itsar adalah wahana untuk mendekatkan bantuan Allah terhadap ta’liful qulub (persatuan hati)  manusia, sebab sejatinya adalah hak otonomi Allah Swt yang menyatukan hati kita dengan sodara kita, dengan itsar inilah dimaksudkan eratnya hati kita terhadap saudara kita yang lain. Itsar adalah paduan dari Iltizamul kamil (disiplin yang sempurna) dengan ukhuwah Islamiyah atau ukhuwah insaniyyah salimiyah. Itsar adalah puncak ukhuwah Islamiyah. Maka bentuk minimal ukhuwah (persaudaraan) adalah “Salamatus Shodr”, kelapangan dada terhadap saudara seiman, maka Itsar adalah bentuk maksimal ukhuwah itu sendiri.. Sebuah hadits mengatakan: “Bukan golongan kami orang yang tidak peduli pada urusan orang Islam”...

Pribadi-pribadi Itsar (mu'tsir) memang adalah teladan nyata dari segment terbaika manusia. Ia mendahulukan keperluan oranglain pada saat iapun memerlukannya, Pribadi Itsar (mu'tsir) bukanlah utophia atau angan-angan belaka, ia ada dan memang harus ada, sebuah segment kehidpuan terbaik manusia, terlebih harus ada pada manusia muslim, pesona manusia luar biasa manfaat dan kebaikannya pada sesama. Nilai-nilai materi di dunia ini tidak akan di timbang berat, apapun yang mereka punya adalah semata-mata milik Allah swt dan harus dimanfaatkan sesuai permintaanNya, yakni manfaat untuk seluruh alam, manusia, dan makhluk lainnya. Materi di dunia tidak lagi dijadikan sebagai pujaan atau pemuas syahwat kebendaannya, hartanya tidak luput untuk didermakan di Jalan Allah, waktunya pun lebih banyak dicurahkan untuk memikirkan masalah dan mencarikan solusi untuk manusia, tenaga, bahkan nyawanya, siap digadaikan demi keperluan sodaranya yang lain, demi agamanya, tanah airnya, harga diri dan kehormatannya, dan sebagainya.. Betapa tidak heroik fenomena seperti ini, begitu anggun dan memesona.. Pribadi Itsar (mu'tsir) akan mendahulukan kematiannya untuk kehidupan sodaranya yang lain, sebagaimana tertulis dalam tinta sejarah yang sangat cantik: Dalam perang Yarmuk, dari Abdullah bin Mush'ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit, keduanya menceritakan, Telah syahid al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr. Mereka ketika itu akan diberi minum, sedangkan mereka dalam keadaan kritis, namun kesemuanya saling menolak. Ketika salah satu dari mereka akan diberi minum dia berkata,"Berikan dahulu kepada si fulan, demikian seterusnya sehingga semuanya meninggal dan mereka belum sempat meminum air itu". Dalam riwayat lain perawi menceritakan, "Ikrimah meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah berkata, "Berikan air itu kepadanya." Dan ketika itu Suhail juga melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, "Berikan air itu kepadanya (al Harits). Namun belum sampai air itu kepada al Harits, ternyata ketiganya telah meninggal tanpa sempat merasakan air tersebut setetespun... Indah memang!!

Bagaimana sekarang? Adakah Mu'tsir-mu'tsir yang baru? Sebagaimana generasi emas ini, Seperti Ikrimah bin Abu jahal ini? syuhada yang memiliki 70 luka waktu, yang telah meneladankan bagaimana mendahulukan kepentingan sahabatnya dibanding dirinya sendiri, padahal dirinya teramat kepayahan. Jawabannya harus ada, karena Itsar ini erat kaitannya dengan Sabiqun bil khairat (menyegera dalam kebaikan), sangat ada kaitannya dengan amal tadhiyah(pengorbanan).. Dalam sebuah hadits riwayat muslim dari Abu Hurairah diceritakan ada sepasang suami istri yang memenuhi perintah Rasulullah untuk memberi makan musafir yang kelaparan, yakni Abu Thalhah dan Ummu Sulaim. pada saat itu mereka sendiri tidak mempunyai makanan selain untuk makan anak-anaknya. Oleh karena itu mereka segera menidurkan anak-anak mereka yang lapar dan berpura-pura makan agar tamu mereka makan dengan tenang. Padahal yang sedang disantap oleh tamu mereka itu adalah saru porsi terakhir yang mereka miliki hari itu.. Indah memang! perbuatan Itsar para mu'tsir ini pun dilukis indah dalam Al-Qur'an: dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al Hasyr: 9). Maka, keesokan harinya, rasulullah berjumpa dengan Abu Thalhah dan memujinya: “Sungguh Allah sangat gembira (tersenyum) menyaksikan perbuatan Anda berdua”. Ada cerita lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Sa'ad bin Rabbi' telah menawarkan kepada Abdur Rahman bin Auf setelah keduanya dipersaudarakan oleh Nabi Saw untuk bersedia diberi separuh dari hartanya, salah satu dari rumahnya dan salah satu dari isterinya untuk dicerai, lalu disuruh menikahinya. Maka Abdurahman bin Auf berkata kepada Sa'ad bin Rabi' "Semoga Allah memberkahi keluargamu, semoga Allah memberkahi rumahmu, dan semoga Allah memberkahi hartamu, sesungguhnya aku adalah seorang pedagang, untuk itu tunjukilah aku di mana pasar"... Disana dijelaskan bahwa Itsar ada kaitannya dengan I’tisham bi hablillah (berpegang teguh di jalan Allah), Ia adalah senyawa dari unsur Roja'  (harap) dan unsur khaof (takut) kepada TuhanNya, dan puncak tertinggi dari persaudaraan itu adalah diteempatkannya kebutuhan sodaranya sebagai prioritas yang utama dan dipertamakan..

Itsar ada kaitannya dengan amal tadhiyah (pengorbanan), ia adalah seakar kata dengan kedermawanan, masing-masing saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Kedermawanan dalam pengorbanan-pengorbanan ini antara lain: Kedermawanan dengan pengorbanan jiwa, Kedermawanan dengan kekuasaan, Kedermawanan dengan kesenangan, Kedermawanan dengan ilmu, Kedermawanan dengan memanfaatkan kedudukan, Kedermawanan dengan memanfaatkan badan, Kedermawanan dengan kehormatan diri, Kedermawanan dengan kesabaran dan menahan diri, Kedermawanan dengan akhlak perilaku dan budi pekerti yang baik, Kedermawanan dengan membiarkan apa yang ada di tangan manusia dan tidak menengok kepadanya serta tidak mengusiknya dengan apa pun, dan sebagainya.. Maka menurut pengarang buku Manazilus-Sa'irin ada tiga jenis derajat Itsar yang dimaksud, antara lain: Lebih mengutamakan manusia daripada diri kita sendiri dalam perkara yang tidak mengusik agama dan waktu kita, Mengutamakan ridha Allah daripada ridha selain-Nya sekalipun berat cobaanNya sebagaimana ungkapan Asy-Syafi'y, "Ridha manusia itu merupakan sasaran yang tidak bisa diukur. Maka ikutilah ridha yang mendatangkan kemaslahatan bagi dirimu." Sementara itu, tak ada kemaslahatan yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba kecuali dengan mementingkan ridha Allah daripada ridha selain-Nya., dan yang terakhir adalah menisbatkan itsar kepada Allah dan bukan kepada diri kita...

Menurut penulis, Itsar ini  adalah salah satu faktor kemenangan generasi Emas Umat Islam waktu dulu, faktor keberhasilan sehingga benar-benar bahwa islam menjadi rahmatan lil 'Alamiin. Itsar telah berhasil membangun tanzhim al-hayyah (stelsel kehidupan), Ia meletakan pondasi (ta'sis) lalu menguatkannya. Sebuah roman ideal untuk sebuah hubungan. Itsar merupakan contoh kualitas terbaik bagi sebuah ukhuwah Islamiyyah, sebagaimana dikcontohkan oleh Abu Bakar ra, yang telah menginfakan seluruh harta kekayaannya untuk berjihad dan keperluan kaum muslimin pada saat itu, hanya meninggalkan Allah dan RasulNya untuk keluarganya. Indah memang!! Itsar adalah natijah dari keimanan mendalam, ia adalah tsamrah (buah) yang manis lagi melegakan, sedikitpun tidak akan meninggalkan ruang-ruang luka dan penyesalan."falaa khaufun 'alaihim walaahum yahzanuun" (Sekali-kali mereka tidak akan ditempa ketakutan dan kegelisahan). Pribadi Itsar (mu'tsir) adalah para pendamba syurga, mereka hanya mengharap Allah dan Rasulnya sebagai balasan dari amal perbuatannya.  Ibnu Umar ra. Menceritakan, “Seorang sahabat telah menerima hadiah berupa kepala kambing. Tetapi Dia merasa tidak berhak menerima pemberian itu karena tetangga sebelahnya lebih memerlukan, karena tetangganya itu mempunyai keluarga yang banyak. Lalu Dia pun memberikan kepala kambing itu kepada tetangganya tersebut.Ketika tetangganya menerima pemberian itu, maka ia pun teringat kepada tetangganya yang lebih memerlukan lagi. Begitulah seterusnya sehingga diketahui kepala kambing itu telah berpindah tangan  tidak kurang dari tujuh rumah sampai akhirnya kembali ketangan syahabat yang pertama kali menerimanya"...

Para Mu'tsir ini adalah orang-orang merdeka yang mampu membebaskan dirinya dari penjajahan syahwat kebendaan dan kerasukan dirinya. mereka bebas dari sifat-sifat ananiyyah (mementingkan diri sendiri), mereka benar-benar mewarisi sifat-sifat makhluk mulia, yang telah merobohkan dinding-dinding keegoismean dirinya, meluluhlantahkan tembok-tembok keangkuhan dirinya, dan memenjarakan hawa nafsunya.. Para Mu'tsir ini lagi-lagi, tidak banyak dikenal di bumi, sebab sifat-sifat mereka adalah sifat-sifat langit.. Para Mu'tsir ini menegakan Itsar sebagai pangkal dari ukhuwah, mereka adalah orang-orang yang mampu mereguk minuman berkah dari amal dan persaudaraannya, mereka itulah orang-orang yang telah dijanjikan Allah dengan harumnya surga.. Para Mu'tsir ini adalah para Nabi as, para sahabat dan pengikutnya, para ulama shaleh, kita (amiin), dan harapan ini hendaklah meluas, hingga kepada bangsa dan negara kita, berharap mereka adalah orang-orang yang mau mendahulukan kepentingan orang-orang lapar dan dahaga, melindungi orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal, melindungi rakyat yang tidak mampu memiliki baju dari sengatnya mentari, dan sebagainya... Penulis berharap (dan sedang banyak belajar) untuk lebih mendahulukan saudaranya dibanding dirinya sendiri, mendahulukan kepentingan dakwah di banding urusannya yang lain, mendahulukan menyentuh hati dibandingkan memenangkan debat dengan hujjah-hujjah lemah, dan sebagainya... Mari Beramal!!!!