Sabtu, 12 Februari 2011

Bangunan Amal

Hakikat dari kehidupan manusia adalah untuk beramal!! Segenap potensi tenaga, pikiran, waktu, dan materi, dimanfaatkan untuk beramal kebaikan. Beramal kebaikan ibarat menanami lahan kehidupan yang kering dengan tetanaman subur yang menyenangkan, dan sedap dipandang, layaknya seperti menanam pohon kerindangan, yang mampu memberi keteduhan berlipat-lipat, keteduhan dari sebuah kerindangan, dari sebuah kebermanfaatan dalam keutamaan. Meski terik mentari kian membakar setiap lembar kulit manusia, namun pohon kerindangan itu tetap meneduhkan!! Meski hari-hari kita senantiasa bersimbah peluh, senantiasa selalu ada amal-amal yang diutamakan!!,Meski kehausan akan imbalan dan penghargaan semakin menjadi-jadi, namun pohon kerindangan ini tetaplah kokoh, menyamarkan bebayang kecacatan dalam tubuh amal, dalam tubuh kebaikan!! Semata-mata untuk mendapatkan bibit pohon amal untuk proyek penanaman pohon kerindangan, pohon amal kebaikan..Tidak ada maksud dan tujuan lain, dari penghidupan amal dalam tubuh aktifitas manusia, melainkan ingin bersemainya benih-benih kebaikan, dan berkembang lebat menjadi sebuah pohon kerindangan, pohon amal kebaikan..

Berangkat dari sebuah tata nilai kemanusiaan manusia, dalam struktur amal manusia tentunya, akan banyak kita jumpai keberpemilikan yang samar!! terkadang kita merasa memiliki kemampuan untuk menebar bibit-bibit keutamaan kepada segenap keluarga manusia, padahal pada hakikatnya kita dibermampukan, diberi ijin, dan dipertolongkan oleh Allah SWT semata.. Di luar itu, pasti, kita tidak memiliki daya meureka dan tidak memiliki kekuatan mencipta pada sebuah tubuh amal, tidak memiliki keutamaan, selain dari apa yang manusia berikan, meski lebih kurang karena ketidak tepatan saja, penghargaan dan apresiasi yang seharusnya tidak kita miliki, karena unsur kelemahan dan kecacatan amal kita yang sudah membengkak parah, sudah terlepas dari tali acuan dan hakikat penghambaannya.. Atau lebih sering juga kita merasa ujub dan takabur atas amal kita, padahal tidak seberapa jika dibandingkan dengan struktrul amal dengan keikhlasan misalnya, tidak ada faidah dan keutamaannya bagi amal yang dijahit dengan benang ujub dan jarum takabur itu, semata-mata hanya sekedar kelelahan dan rasa capek saja, itu saja!! Bahaya memang, kita akan mendapatkan keburukan sebagai hasil implikasi dari kecacatan amal karena sifat ujub dan takabur kita, tidak tanggung-tanggung nerakalah tempat berlabuh kelak, bagi orang-orang yang demikian itu, begitu pula sebaliknya!! Sa'id Bin Jubair, seorang ulama salaf, mengatakan: "Sesungguhnya ada seorang hamba yang beramal kebaikan malah ia masuk neraka. Sebaliknya ada pula yang beramal kejelekan malah ia masuk surga. Yang beramal kebaikan tersebut, ia merasa ujub (bangga dengan amalnya), lantas ia pun berbangga diri, itulah yang mengakibatkan ia masuk neraka. Ada pula yang beramal kejelekan, namun ia senantiasa takut (akan adzab Allah) dan ia iringi dengan taubat, itulah yang membuatnya masuk surga"..

Ajaran siutao mengatakan bahwa infrastruktur amal kebendaan itu dibangun oleh dua hal, pertama diukur dengan tingkat kesungguhan hati, lalu yang kedua adalah diukur dengan tingkat menerima manfaat.. Ini adalah struktur amal kebendaan yang hanya memerankan manusia dalam satu peran pincang saja, peran "hanya agar bermanfaat untuk manusia saja", hanya menyangkut aspek materialistik-empirik secara sempit, belum menyentuh aspek fungsionalitas-integralitas, dan aspek-aspek lainnya!! Dengan modal kesungguhan (jiddiyyah) maka segala problematika kehidupan akan mudah untuk dihempaskan menjadi lembaran-lembaran jalan keluar yang gilang-gemilang. Modal kesungguhan ini barangkali akan muncul sebagai sebuah fenomena tidak permanent (unpermanent aspect), modal kesungguhan ini bermulai dari niat, lalu mereproduksi dirinya menjadi sebuah amal-amal kebaikan yang terkonsep matang, sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia sendiri. Modal ini tiada lain adalah sebuah pembenaran (tashdiq) dalam niat, tindakan, dan ucapan.. Disamping modal kesungguhan, dalam rangka menopang pondasi infrastruktur amal kita, mesti dibarengi dengan modal ketundukan. Maksudnya adalah keta'atan yang seta'at-ta'atnya keta'atan, yang mampu menembus batas amaliyah manusia secara keumumman. Modal ketundukan ini lebih sering kita kaji pada siroh-siroh nabawiyah dan fiqih shohabah (sejarah nabi dan fiqih sahabat nabi), dimana tidak bisa kita tentukan, apakah anggota badan mereka yang dahulu menguatkan islam, atau hati merekalah yang membawa islam dan panji-panji penguatan islam pada kehidupannya, atau ada yang lainnya, dan sebagainya. Syaikhul Islam, Ibnu taimiyyah mengatakan: "Sulit dibedakan antara ma'rifah (mengenal Tuhan dengan hati) dengan pembenaran semata. Sulit membedakan antara pengenalan dengan hati dan pembenaran yang tidak disertai dengan amalan anggota badan sedikitpun", maka orang yang menyangka bahwa dia orang mukmin dan tidak mengucapkan dengan lisannya serta tidak pula beramal dengan anggota badannya dalam keadaan mampu untuk beramal maka ini adalah madzhabnya Jahmiyyah, keimanan Jahmiyyah, (kita berlindung kepada Allah untuk keselamatan hal tersebut). Maka harus adanya amalan yang akan membuktikan pembenaran yang ada dalam hatinya sebagaimana orang yang beramal harus adanya pembenaran dalam bathin yang akan mensahkan amalannya tersebut..

Berbicara struktur amaliyah manusia, maka kita mau tidak mau harus berbicara tentang kapasitas manusia dalam beramal dan melaksanakan kebaikan-kebaikannya, bagaimana manusia brproses dalam menumbuhkan pohon-pohon amal yang mungil, lalu seiring berjalannya waktu pohon mungil itu berubah menjadi pohon amal yang dipandang sedap oleh orang-orang disekitarnya, pohon yang akan sangat banyak memberikan kebermanfaatan, daunnya yang rindang, akarnya yang kokoh dan menguatkan, batangnya yang bisa dijadikan sandaran,, rantingnya yang mencakar keangkuhan, dan sebagainya. Berbicara tentang amal, maka kita mesti berbicara tentang komleksitas niat yang terkadang sangat sulit untuk dijaga dan dikendalikan, senantiasa berubah-ubah, sebagaimana perkataan dari Sufyan Ats Tsauri, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah.” Begitulah niat yang murni, tautan hatinya hanyalah untuk Allah semata, niat yang murni ini adalah sesodara kandung dengan kejujuran hati kita, ia adalah sebuah warna polos tanpa keberpihakan, tanpa coretan tinta tujuan lain, selain hanya niat ketulusan, dalam amal yang dijaga kemurnian kompleksitas niatnya, karena pembalasan pahala-dosa, ditakar dari kadar niatnya pula. Meskipun memang Ikhlas (kata Umar Sulaiman Al Asyqar) adalah seolah-olah berupa konsepan khayali yang sulit ditemukan wujudnya pada diri manusia..

Baiklah, kita sedikit akan membahasakan konsep ikhlas dalam kaitannya dengan kontekstualisasi amal manusia!! Agar nantinya terlihat korelasi dan koherensi antara bangunan amal yang telah kita uraikan diatas dengan konsep ikhlas dalam beramal.. Fudhail bin Iyadh mengatakan, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah". Ikhlas sendiri adalah amaliyah rahasia (amniyyah) dimana hanya Allah dan hambaNya lah yang tahu tentang urusan ikhlas ini, ia membrsihakan setiap kekotoran pada dinding bangunan amal dari campuran-campuran yang mengotori, ia menghanguskan segala kayu-kayu yang di i'tiqadkan dari semula untuk membakar rumah niat dalam setiap konstelasi amal manusia. Ikhlas ini bisa dipercepat proses pembangunan dan kristalisasi karakternya dalam kehidupa kita, dengan beberapa cara, antaralain: memperbanyak do'a, menyembunyikan amal kebaikan, memandang rendah amal kebaikan kita, takut akan tidak diterimanya amal, tidak terpengaruh oleh perkataan manusia, menyadari bahwa manusia bukan pemilik surga dan neraka, ingin dicintai namun dibenci, dan sebagainya.. Amal keikhlasan teramat sedikit dan jarang kita temukan dewasa ini, karena memang sebetulnya amal yang disertai dengan keikhlasan teramat berat, banyak cabaran da cobaan, serta godaan yang akan merongrong setiap baju keikhlasan yang melekat pada tubuh amal kita!! Maka, perlu dua cara logis untuk mengantisipasi segala cobaan dan cabaran, serta godaan ini, yakni: petama mengembalikan pemahaman bahwa segala kompleksitas kehidupan adalah dalam rangka ibadah kepada Allah swt dalam seluruh lingkup perbuatan, baik lahir maupun bathin, kemudian yang kedua memurnikan niat dalam setiap tataran amal haqiqinya, dalam tataran orientasi dan makna amaliyahnya, dan sebagainya..

Ikhlas, merupakan sebuah cabang dari akar pohon kebaikan, cabang yang barangkali teramat dalam keberadaannya, sampai terlihat samar-samar, dan sering dilupakan juga, karena akarnya tidak terlihat oleh jangkauan penglihatan mata sederhana manusia biasa!! sebab lagi-lagi, hanya Allah yang memahami tingkat keikhlasan seseorang, dibanding orang yang berikhlasnya sendiri. Keikhlasan suatu bangunan amal, pertama-tama akan ditentukan oleh kadar keikhlasan niatnya masing-masing. Dalam kaitannya dengan pembahasan niat, ada dua hal terkait niat, yakni: menyengaja melakukan suatu amalan (niyat al-'amal) dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu (niyat al-ma'mul lahu). Terkait niyat al-'amal, hendaknya ketika melakukan suatu amal seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain, sehingga mampu membedakan mana yang sunah mana yang wajib, dan sebagainya. Kemudian niyat al-ma'mul lahu hendaklah ketika melakukan suatu amal seseorang tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya, amalannya dilakukan dengan ikhlas.. Bentukan niat yang kedua, didalam Al-Qur'an sering disitir dengan konteks kata yang berbeda, misalnya: iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari), dan sebagainya!! dalam kitab Az- Zuhd karya Nu'aim bin Hambal, dituturkan bagaimana sikap Abu Bakar Ash-Shidiq ra pada saat menerima/mendengar banyak pujian dari manusia, beliau pun berdo'a kepada Allah swt: “Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.”  Maka, perbaharuhilah niat kita dengan memperbanyak dekat kepada Allah swt, dengan memperlama intensitas perbuatan baik kita kepada Allah swt, dan sebagainya. sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mubarrak: “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.”

Saya teringat sebuah petikan cerdas yang saya garisbawahi kata-kata indahnya itu, dari sang insan shaleh, Ibnu Qoyyim dalam bukunya Al Fawaid, beliau mengatakan: “Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ’sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” 

Hari ini, adalah moment-moment penting untuk berlahirannya para mukhlis/mukhlisun (orang-orang ikhlas) dalam beramal. Mereka adalah yang hatinya bersih dan tulus dalam perbuatan, perkataan, pemberian, penolakan, perkataan, diam, ibadah dan amaliyah kehidupannya semata-mata dilakukan untuk Allah SWT semata. Maka, dengan Isyarat Allah sendiri (di dalam nash Al-qur'an) disebutkan, bahwa selain derajat mukhlis manusia masih berpeluang mengalami kesia-siaan (halka). Maka (masih menurut Al-Qur'an), orang yang bergelar mukhlis masih lebih baik dibandingkan dengan orang ‘alim yang ‘amil (orang pandai yang banyak berbuat) tetapi tidak mukhlis. Menjadi orang diluar kapasitas sebagai mukhlis, hanya akan menyisakan penyesalan yang tiada terkira banyaknya, hanya meninggalkan jejak kelelahan tanpa balasan yang setimbang dengan pengorbanannya, dan sebagainya. Menjadi orang di luar kapasitas sebagai mukhlis, kata Syekh Abdul Qadir Jaelani, disebut "sebagai orang yang lahirnya baik tetapi bathinnya rusak." Beberapa kharakteristik orang-orang mukhlis antara lain: Berhati-hati dalam bertindak dan berkeyakinan karena takut kepada Allah swt semata, beriman kepada ayat-ayat Allah swt, ayat-ayat Qauliyah (Alquran) maupun isyarat alam (ayat Qauniyah), Siap mnafkahkan dan menyedekahkan harta yang Allah karuniakan kepada mereka di jalan yang Allah perintahkan, bersegera dan sigap dalam berbuat baik dan menyongsong kebaikan, dan salah satu karakteristik khas orang yang ikhlas (mukhlis) adalah senang menyembunyikan amalannya bagai menyembunyikan aib-aibnya..

Akhirnya tulisan singkat ini saya tulis dengan kutipan perkataan dari sang hujjatul Islam, Syekh Abdul Qadir Jailani, ” Barangsiapa yang bersabar bersama Allah SWT, maka ia akan melihat kelembutannya. Barangsiapa bersabar menerima kefakiran, tentu kekayaan akan mendatanginya. Kebanyakan para nabi adalah penggembala, dan para wali adalah pengembara. Barangsiapa merasa hina di hadapan-Nya, maka Dia akan memuliakannya. Barangsiapa tawadhu’ di hadapan-Nya, Dia akan mengangkat derajatnya. Dialah Dzat Yang Meninggikan atau menurunkan derajat, Yang menetapkan dan memudahkan urusan. Tanpa DIA, kita tidak akan pernah mengenal-Nya sebab kita mengenal-Nya melalui firman-Nya. DIA-lah yang memperkenalkan diri-Nya kepada kita, baik melalui Tauhid Asma wa Sifat maupun melalui alam penciptaan-Nya. Wahai orang-orang yang menyombongkan amal mereka, alangkah naifnya engkau. Kalaulah bukan karena taufik-Nya, tentu engkau tidak akan mampu menjalankan shalat lima waktu, puasa, atau pun sabar. Kebanyakan manusia menyombongkan ibadah dan amal mereka. Mereka mencari pujian dan sanjungan manusia. Mereka senang jika dunia dan para pencintanya datang menghadap kepada mereka. Adapun yang menyebabkan mereka dalam keadaan seperti itu adalah karena mereka masih terikat oleh nafsu dan keinginan-keinginannya. Dunia memang kekasih nafsu, akhirat kekasih hati, dan Allah kekasih nurani."

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Get this widget

Posting Komentar

Silahkan Dikomentari....