Kamis, 09 Februari 2012

Revolusi Diri

Revolusi diri, sebuah istilah yang berpadanan kata dengan memperbaiki diri, perubahan diri, dan peningkatkan kapasitas diri, berpadanan kata dengan kontemplasi diri, yang erat kaitannya dengan sikap-sikap korektif, refleksi diri, introspeksi diri. Revolusi diri, merupakan bagian dari aktifitas integral manusia menuju kapasitas “lengkap” dimata Tuhannya, dimata dirinya, dan oranglain. Revolusi diri, begitulah istilah yang ingin penulis sampaikan, dan semoga istilah ini tidak dalam kesan melebih-lebihkan sesuatu hal, atau membuat “berat” sesuatu hal, yang pada dasarnya adalah mudah, dapat dilakukan oleh siapapun, dapat difahami oleh orang dengan beragam kapasitas keilmuan dan pemahaman sekalipun.

Revolusi diri, sebuah sikap memperbaiki pemahaman diri, sikap membuka tabir diri, tabir manusia, bahwa diri kita memiliki potensi diri yang  bisa diaktualisasikan dalam beragam hal menjadi prestasi-prestasi, dan prestasi-prestasi ini akan ditentukan bagaimana bagaimana upaya masing-masing manusia itu sendiri untuk memperolehnya, dan seterusnya. Revolusi diri, tidak berbatas pada menempatkan sikap-sikap pada lajur yang sebenarnya, bukan pula terbatas pada aspek-aspek yang mesti dirubah, atau ada tidaknya hal-hal penggubah (motivasi berubah), bukan sekedar itu, tetapi lebih luas, lebih luas lagi. Ia tidak sekedar merubah pola pikir dan sudut pandang pemahaman kita terhadap sesuatu, bukan hanya sekedar meluruskan tutur kata, sikap, perilaku kita menjadi lebih baik, tetapi lebih dari itu, termasuk dari agenda kita mengenai revolusi diri-pun antara lain: memahami kesulitan-kesulitan, kegelisahan-kegelisahan, selama kita berevolusi diri, sehingga kita mampu mengantisipasi “agenda” ini dalam batasan-batasan yang wajar, dalam kondisi diri yang nyaman, dalam solusi permasalahan yang tepat. Lalu yang terakhir, adalah bagaimana kita mengkondisikan diri agar senantiasa dalam suasana gigih dalam rangka perubahan diri, sikap, tutur kata, perbuatan, prestasi-prestasi, menjadi lebih baik, menjadi yang terbaik.

Revolusi diri, menurut penulis, merupakan bagian dari proyek besar yang erat kaitannya dengan proses tafakur manusia dalam memahami, meresapi, menghayati dirinya sendiri, menggali semua potensi, menyeimbangkannya, dan menelurkannya menjadi hal-hal besar dalam sejarah, yang mana harus dan memang harus dimulai dari diri sendiri, tidak melupakan diri kita sendiri. Sebagaimana firman Allah swt: “Apakah kamu menyuruh orang lain agar berbuat baik, sedangkan kamu sendiri melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab. Apakah kamu tidak berfikir?.” (QS. Al Baqoroh: 44). Revolusi diri yang kaitannya dengan memperbaiki diri dapat dimulai dari hal-hal sederhana seperti: meninggalkan kekurangan atau perbuatan salah, menyesalinya dan bertekad untuk memperbaiki dan “sikap kembali”, sedangkan Revolusi diri yang kaitannya dengan mengembangkan diri dalam kondisi terbaik, dimulai dengan hal-hal seperti: membaca “buku hidup” kita (maksud tujuan kita ada di lingkungan kita), menciptakan ruangan kreatif yang penuh inspirasi bagi diri untuk berkembang, mengasah ulang kemampuan dan tingkat keilmuan kita agar upaya di masa depan dapat berakhir menjadi kegemilangan-kegemilangan, dan sebagainya.

Bisa jadi, permasalahan besar yang senantiasa terjadi terhadap diri kita, diakibatkan oleh kualitas diri kita yang masih rendah, karena ketidakmampuan diri kita mengembangkan segenap potensi menjadi prestasi, atau bahkan bisa jadi karena ketidakmampuan diri kita untuk banyak “membaca”, membaca diri, membaca alam sekitar, membaca orang-orang diluar sana yang sudah terlebih dahulu melejitkan dirinya sebagai pribadi unggul, pribadi pemilik nilai-nilai prestasi, di dunia, dan di akhirat.  Inilah bagian dari proses besar kita, pencarian petunjuk, pencarian kefahaman diri, sehingga kita terhindar dari hal-hal merugikan untuk kita, dan orang di sekitar kita. “Hai orang-orang yang berimana, jagalah dirimu; tidaklah orang/(sesuatu) yang sesat itu akan member mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapatkan petunjuk” (QS. Al-Maidah:105). Mari kita memulai segala halnya dengan pengendalian diri, berawal dari revolusi diri sendiri, sebelum nanti kita berpindah kepada revolusi yang lebih luas lagi. “..Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..” (QS. Ar-Ra’d:11). Proses revolusi diri ini, antara lain pembinaan dan perbaikan, berawal dari kita membina iman (aqidah) kita, menjadikannya sebagai jati diri batiniyah kemusliman kita, memperluas pandangan kita terhadap wujud keberadaan kita, lengkap dengan filsafat hidup yang benar, dan terakhir adalah sudah tidaknya kita merencanakan masa depan melalui proyek peradaban yang sempurna, dan sebagainya.

Revolusi diri yang benar (menurut penulis), harus dilakukan secara seimbang, dan tetap mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat perbuatan, perilaku manusia itu sendiri, bahkan kalau perlu, dilakukan evaluasi-evaluasi, dan merotasi segala potensi kita menjadi hal-hal berguna dan bermanfaat tidak sekedar di masa sekarang, akan tetapi dapat dirasakan manfaatnya di masa depan, tidak hanya di dunia di Akhirat pula. Bukankah ini sebuah “sikap terpandai”sepanjang sejarah hidup kita? “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT”. (HR. Turmudzi). Dan yang terpenting dari proses revolusi diri kita adalah, bagaimana proses-proses itu, meski kecil, mampu senantiasa dalam peningkatan, dalam keberlangsungan yang continue.“(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang kontinu, walaupun sedikit.” (Al-hadits).

Dari ulasan diatas, kita bisa mengetahui bahwa revolusi diri terbaik adalah lahirnya tindakan-tindakan konkrit, termasuk pula bagi penulis yang masih belajar mengenai hal ini, karena jiwa-jiwa muda itulah, yang menjadikan dorongan agar senantiasa mampu menggoreskan penanya. Konkrit, dan semoga tidak “menjebaki” diri kita pada kondisi-kondisi rumit, dan sebagainya.  Islah, begitulah kata terindah yang mampu disampaikan islam melalui bahasanya. Lagi-lagi penulis meminta maaf, jika tulisan ini, tidak sesuai dengan lisannya, bila tulisan ini tidak sejujur perbuatannya, karena penulis pun masih belajar memahami hidup dan kehidupannya, berusaha memahami potensi diri dan aktualisasinya, dan berupaya memenangkan segala halnya menjadi prestasi-prestasi nyata di dunia yang sebenarnya, tidak sekedar pada tulisan saja. Marilah kita memulai memperbaiki diri kita melalui hal-hal mudah dan praktis ini: Mukasyafah (memeriksa diri dan berterus terang terhadap diri kita sendiri), Muahadah (berjanji kepada Allah swt, diri kita dan “alam sekitar” bahwa kita mampu memperbaiki keaiban kita dan menjadi pribadi terbaik menurut Allah swt dab Rasul-Nya), lalu kita bermuroqobah (merasai diri kita diawasi dan diperhatikan oleh Sang pencipta kita, semua sikap, ucap, perbuatan, dan tindakan kita), dan selanjutnya adalah kita bermujahadah, berupaya sekuat tenaga untuk proaktif dalam tindakan-tindakan nyata, konkrit. Dan yang terakhir, adalah bermuhasabah, menakar diri, sudah sejauh mana kita berbuat sesuai petunjukNya, dan nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai prestasi dunia-akhirat kita). Wallahu ‘alam, semoga kita mampu mengamalkan semua ini, dalam kehidupan kita sehari-hari. InsyaAllah..

Sabtu, 04 Februari 2012

Aktualisasi Diri

Setelah kita memahami potensi diri pada diri kita, maka langkah selanjutnya adalah mengembangkan potensi-potensi tersebut menjadi prestasi-prestasi melalui sebuah proses aktualisasi yang matang. Ini adalah kebutuhan paling fundamental dan dan termasuk kebutuhan paling tinggi bagi manusia (Abraham Maslow). Mengingat manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang bervariasi, dengan beraneka ragam potensi diri dan eksplorasi potensi yang berbeda-beda, berikut sifat alami (fitrah) manusia yang unik, dan sebagainya, maka keperluan untuk mengaktualiasikan diri menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda, atau dilupakan. Setiap hal, baik mengenai takdir, ataupun berbagai kejadian pada diri manusia, tidak lepas dari adanya sebab-akibat, nilai akhir manusia, biasanya akan ditentukan bagaimana manusia itu mengelola sebab-untuk akibat yang baik bagi dirinya, lingkungannya, dan orang-orang di sekitarnya (kolektif-komunalitas). Maka, menempatkan diri pada kondisi dan perbuatan terbaik dengan kualitas terbaik dalam segala hal adalah suatu keharusan.

Aktualisasi diri dimulai dengan kemampuan kita memandang hidup dan kehidupan, dan islam memiliki pandangan tersendiri mengenai hal ini baik dalam hal idealnya, maupun konseptualnya. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin:4), lihatlah tafsir Maraghi mengenai hal ini: “…Lebih dari itu Kami istimewakan manusia dengan akalnya, agar bisa berfikir dan menimba berbagai ilmu pengetahuan serta bisa mewujudkan segala inspirasinya.” Aktualisasi dalam perspektif Al-Qur’an tersebut lebih dititik beratkan pada proses kemampuan manusia dalam berpikir, disamping itu, aktualiasi diri erat kaitannya dengan kesadaran diri (awareness, as-syu’ru) dan tanggung jawab (lihat QS Al-Mudattsir: 38), serta sifat-sifat fitrah lainnya pada manusia, misalnya memiliki kecemasan terhadap kondisi hidup (al khauf), dan sebagainya. Lengkap! Al-Qur’an, dalam hal ini, disamping mampu menjadi guidance, juga mampu bertindak sebagai counseling yang sempurna dimana ujung akhirnya adalah agar manusia mampu mengenal kembali eksistensi dirinya sebagi makhluk Allah SWT yang selaras dengan ketentuan dan petunjuk-Nya. “Sesungguhnya telah Kami mudahkan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS Al-Qamar: 40).

Setelah kita mencermati ulasan diatas, dengan mengupayakan mendapatkan pemahaman secara hermeneutic (penafsiran Al-Qur’an) mengenai manusia dalam kaitannya dengan aktualisasi fitrahnya menjadi priibadi takwa secara konseptual dan sistematis, maka, kita akan mendapatkan gambaran lengkap bagaimana manusia itu seharusnya mengaktualisasikan dirinya, dengan segala perangkat dan penjelasan-penjelasannya, dan lalu kemudian mereka diarahkan untuk menjadi pribadi seimbang (tawazun) yang memahami fungsi kehidupan mereka, sebagaimana Islam mengajarkan. (Lihat Al-Qashash: 77). Penulis menyimpulkan bahwa aktualisasi diri memang harus dimulai dengan memahami diri sendiri terlebih dahulu yakni perangkat fitrah kita, hal-hal unik, potensi diri kita, dan aturan-aturan baku berupa nilai-nilai manusia itu sendiri, manusia ditantqang untuk memahami dirinya sendiri (belajar), lalu kemudian diminta untuk bersinergi dan berintegrasi dengan situasi yang dituju, lalu kemudian diminta untuk “melakukan”. “kita tidak hanya harus memutuskan apa hasil yang kita berkomitmen untuk, tetapi juga jenis orang yang kita berkomitmen untuk menjadi” (Anthony Robbins).

Aktualisasi diri, maka setiap orang memiliki karakteristik masing-masing yang barangkali berbeda satu sama lain, seseorang yang memiliki spiritual power (al-quwah ar-ruuhiyah), maka kekuatan ruhaninya lebih dominan dalam kehidupannya, dibandingkan orang lain yang tidak memilikinya, karena korelasi (munasabah) antara kekuatan ruhiyah sebagai modal fitrah ini teramat kuat, dan seterusnya, bahwa manusia memang memilki kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagaimana pengetahuan mereka, atau pemahaman mereka terhadap sesuatu (saling men-stimulus). Sementara itu, “penyakit mental” yang sering kita lihat akhir-akhir ini, katakanlah kolusi, korupsi, tindak kejahatan manusia, kecurangan, dan sebagainya, kurang lebih diakibatkan karena adanya distorsi antara iner-interpersonal yang menghambat sebuah proses aktulisasi hidup yang matang, yang seharusnya. Maka, obat dari penyakit mental tersebut, menurut hemat penulis, adalah dakwah dengan orientasi humanistic (insaniyyat al insan), yakni: menghargai manusia sebagai manusia, memandang semua orang memiliki peluang yang sama untuk menyadari eksistensinya sebagai makhluk Tuhan, merangkul tidak memukul, dan yang terakhir adalah dengan membimbing mereka dengan kelembutan, cinta, dan uswah hasanah. Untuk lebih jelasnya mengenai dakwah orientasi humanistic bisa dilihat pada buku-buku karangan Muhammad Baqir Shadr,

Islam memandang semua motif individu sebagai proses dari aktualisasi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan bernilai positif dan produktif (positive regard, menurut pendapat Carl Rogers), manakala seperangkat unsur kemanusiaannya utuh dan saling melengkapi, dan dibangun berdasarkan interaksi nilai-nilai. Interaksi ini biasanya akan melahirkan perilaku atau tingkah laku, dimana kecenderungan alaminya adalah adanya keseimbangan secara permanen, baik terpenuhinya kebutuhan dasar manusia secara wajar, terjadinya eksistensi dan kesinambungan dalam menjalankan kehidupannya, dan keseimbangan vital lainnya (homeo-statis) sesuai dengan ukurannya, sesuai dengan kapasitasnya, sesuai dengan kemampuannya. “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya” (QS. A;-Qamar: 49). Maka, mengambil istilah dari Maslow, kebutuhan akan hal ini disebut dengan 17 Meta kebutuhan yakni antara lain: kebenaran, kebaikan, keindahan, kesatuan, dikotomi-transedensi, berkehidupan, kesempurnaan, keniscayaan, penyelesaian, keadilan, keteraturan,kesederhanaan, kekayaan, tanpa susah payah, bermain, dan mencukupi diri sendiri, dimana bila tidak terpenuhi, akan terjadi Meta Patologi pada manusia yakni: apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, dan kehilangan selera dan sebagainya.

Mari memperbaharuhi dan memformat ulang diri kita sebagai seorang muslim yang selaras Al-Qur’an, sebagaimana para sahabat Rasulullah saw, saat menerima inspirasi dan aspirasi Al-Qur’an, dimulai dari revolusi diri baik revolusi akal (intellectual exercise), revolusi mental, dan merevolusi amal dan perilaku kita dalam kaitannya dengan proses pengaktualisasian diri kita menuju manusia unggul di mata Allah swt, dan baik dimata manusia. Tulisan ini bukanlah talqin (pendiktean) penulis terhadap pembaca, akan tetapi sekedar mengajak pembaca dan penulis terutama untuk sama-sama belajar memaknai hidup, kaitannya dengan aktualisasi hidup terbaik, sesuai dengan nilai-nilai humanistic kemanusiaan, sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam tentunya. Maka, yang ingin didapatkan dari tulisan ini (khususnya untuk penulis) adalah mendapatkan pengetahuan dan pemikiran yang mendalam, yang bisa kita istilahkan dengan istilah “Hikmah”. Menurut Ar-raghib Al-Ashfahani dalam bukunya (Mufradat Alfadh Al-Qur’an) Hikmah diartikan “bertindak sesuai dengan kebenaran berdasarkan pengetahuan dan pemikiran (yang mendalam), baik hikmah ilahiyyah (hanya mutlak dimiliki  Allah, dimengerti Allah swt) maupun hikmah insaniyyah (hikmah yang ada pada diri manusia), terutama hikmah almaujudat (pengetahuan yang luas tentang segala hal yang wujud secara mendalam kemudian bertindak dan berbuat dengan pemikiran yang mendalam, yakni dengan pengetahuan akal dan qalbu sehingga menghasilkan kebajikan) terutama mengenai manusia, kaitannya dengan aktualisasi diri.

Jumat, 03 Februari 2012

Potensi Diri

Manusia memiliki potensi pada dirinya sendiri, potensi untuk mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik. Manusia telah dibekali potensi diri oleh Tuhannya, baik berupa potensi jasadiyah (fisik) dan potensi psikis (mental), dan cara terbaik untuk mensyukuri potensi ini adalah dengan cara menggali potensi kita, mengenali, lalu kemudian mengembangkan potensi itu secara optimum menjadi prestasi-prestasi. Langkah pertama untuk mengenali potensi diri adalah mengenali diri kita sendiri, memetakan kelebihan dan kelemahan diri, dan komitmen untuk mampu mengungkit potensi diri menjadi kebaikan dan kebermanfaatan. “Barangsiapa yang mengenal dirinya, niscaya dia akan mengenal Tuhannya.” (Al Hadits). Firman Allah SWT, “Dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS Al Isra’: 70). Potensi diri pada manusia bisa diperoleh sebagai “ahwal” (karunia), maupun diperoleh secara “maqomat” (usaha), artinya, potensi diri baru akan mampu berdaya guna, berkembang, dan bermanfaat, jika telah dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkannya, memanfaatkannya. (Lihat buku KimyauSaadah, Al-Ghazaly).

Potensi diri merupakan hal mikromos, ia adalah dunia kecil pada kehidupan manusia, yang bisa mengembang, atau menyusut, berbanding lurus dengan upaya manusia itu sendiri. Lalu? Upaya apa yang bisa dilakukan? Tiada lain adalah, kita mesti memiliki kekuatan (power), baik kekuatan keyakinan (the power of belief), kekuatan semangat (the power of enthusiasm), kekuatan focus (the power of focus), kekuatan kedamaian pikiran (the power of peace in mind), dan yang terakhir adalah kekuatan kebijaksanaan (the power of wisdom). Dengan kekuatan-kekuatan ini, diharapkan seseorang mampu melejitkan potensi dirinya, melebihi kapasitasnya menjadi prestasi-prestasi. Berawalah dari keyakinan dan pola berpikir (mindset) kita bahwa kita bisa memaksimalkan semua potensi diri pada diri kita sendiri. Dr. Ibrahim Elfiky dalam bukunya “Terapi Berpikir Positif” menjelaskan mengenai hal tersebut diatas:” mindset atau pola pikir adalah sekumpulan pikiran yang terjadi berkali-kali di berbagai tempat dan waktu, serta diperkuat dengan kenyakinan dan proyeksi sehingga menjadi kenyataan yang dapat dipastikan disetiap tempat dan waktu yang sama. Jadi, segala sesuatu dalam hidup ini terbentuk dari mindset. Mindset terbentuk dari pikiran tertentu yang terjadi berkali-kali dan hasilnya digunakan untuk kehidupan.” “Change your thinking, change your life” (Brian Tracy).

Dari sedikit kilasan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa yang kita perlukan erat kaitannya dengan optimalisasi potensi diri adalah ada tidaknya motivasi untuk melejitkan semua itu menjadi kebaikan, kebermanfaatan. Istilahnya begini: ” If we do what we love, then everything will follow”. Dan karena kita memahami bahwa hidup adalah “kompetisi besar”, maka “meluarbiasakan” potensi diri akan menjadi jawaban, modal, sekaligus tantangan bagi kita semua. Caranya adalah kita cermati substansi, nilai-nilai terbaik kita, bertanya pada diri kita sudahkah kita mengoptimalkan potensi kita, dan mencoba menjadikan semua hal yang menjadi “apa seharusnya dilakukan dan ditingkatkan” menjadi sebuah kesenangan. Sebagaimana penjelasan filosuf Islam Iran, Ali Syari’ati, ada tiga karakteristik sifat unik pada manusia yang menjadi pembeda dari makhluk yang lain, antara lain: kesadaran diri (Self-Awarenes, self conciousness) yakni  sifat/kemampuan manusia dalam memilih dan menolongnya mencipta sesuatu yang baru, Kemauan bebas (free to choise) mengingat manusia memiliki kebebasan memilih bagi dirinya sendiri, dan yang terakhir adalah daya cipta (creativitness) dimana manusia mampu mengolah alam menjadi sesuatu barang/apapun yang sedianya  belum ada di alam. Menurut penjelasan tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa hal yang kita perlukan saat ini adalah aktualisasi diri.

Aktualisasi diri kaitannya dengan mengelola potensi diri adalah proses realisasi diri, proses perwujudan yang dilakukan di dunia nyata, berbeda dengan penjelasan sebelumnya mengenai potensi diri dimana titik tekan/pijakannya (nuqhtatul Intilaq), lebih maju dari sekedar makrifat diri. Tentu aktualisasi diri ini dilakukan secara terpadu, dengan langkah-langkah terpetakan secara professional, efektif dan efisien, sehingga terbangun korelasi, relasi, dan koneksi dari semua “bahan fitrah” potensi manusia menjadi prestasi-prestasi, di dunia dan di akhirat tentunya. Erat kaitanya dengan aktualisasi potensi diri, tidaklah salah bila kita memulai segalanya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Who am I?”, “What kind of person I am?”, “What kind of activity I like to do?”, “What kind of work I do not like?”, dan sebagainya. Ada istilah yang mengatakan: “orang sukses itu bukan diukur berdasarkan apa yang diraih, namun dinilai dari kemampuannya menggali potensi diri”. Maka penulis ingin menyimpulkan, bahwa salah satu hal yang tidak boleh dilupakan dari sebuah proses pengaktualisasian potensi diri adalah kematangan karakter, yang bisa dilakukan/dioptimalkan melalui metode dan pedagogi pembelajaran sebagai “Manusia Utuh”, sebagai “Individu Berkarakter”, dan seterusnya. “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21).

Berbicara mengenai potensi diri, kita masih membicarakan stelsel pembicaraan yang ruanglingkupnya masih sangat kecil, namun dari sinilah “sentuhan-sentuhan” besar biasanya mampu digambarkan, apakah masa depan seseorang, masa depan masyarakat, bahkan kehidupan bernegara, akan ditentukan bagaimana seseorang mampu mematangkan karakter diri sebagai proses pengaktualisasian potensi dirinya. Mengenai aktualisasi diri ini, penulis mengajak pembaca untuk mau mendalami teori-teori dan penjelasan yang disampaikan oleh Kurt Goldstein, Abraham Maslow (teori hierarki kebutuhan), dan Carl Rogers. Sedikit mengutip pendapat Maslow mengenai hal ini: “manusia akan memenuhi kebutuhan yang saling mendesak dan berdasarkan pengalaman orang itu pada suatu hierarki. Yang pertama adalah kebutuhan fisiologis, lalu kebutuhan terhadap rasa aman dan nyaman. Dan jika kedua-duanya terpenuhi, maka proses ini berjalan terus sampai terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri. Manajemen dapat member insentif untuk memotivasi hubungan kerja sama, wibawa pribadi, tanggung jawab terhadap prestasi. Mengenai orientasi prestasi terhadap pengaktualisasian potensi diri, penulis mengambil pendapat McClelland yang menyebutkan beberapa karakter yang bisa dikembangkan, antara lain: pertama mengambil resiko yang layak sebagai fungsi keterampilan, bukan kesempatan, menyukai tantangan, tanggung jawab pribadi atas hasil yang dicapai. Kedua cenderung menetapkan tujuan-tujuan prestasi yang layak dan resiko yang sudah diperhitungkan, yakni adanya korelasi positif antara penetapan tujuan dan tingkat prestasi. Ketiga mempunyai kebutuhan umpan balik tentang pekerjaan yang telah dicapai, dan terakhir adalah mempunyai keterampilan dalam rencana jangka panjang dan kemampuan-kemampuan organisasional.

Memahami potensi diri, lalu kemudian aktualisasinya untuk prestasi-prestasi, lalu kerangka akhirnya adalah memahami manusia, dan tabiatnya terhadap tuhannya, tidak lepas dari proses tafakur, proses berpikir, proses merenung. Bilakah penulis mengatakan: jasad kita ini sebenarnya benda mati yang tidak dapat bergerak dan hidup, selain tanpa ada yang menghidupkan? Maka (menurut penulis), bilakah hidup itu melihat APA-adanya saja, maka hidup ini hanyalah kematian saja barangkali. Maka, penulis ingin menekankan disini bahwa hidup ini JADI-apa? Karena memang disinilah letak rahasia besar dari alam semesta, ada pada manusia, diri kita sendiri (the center of knowledge). Maka dalam islam, proses kehidupan-kematian itu terjadi bahkan berulang-ulang, pada awalnya adalah mati(kematian), lalu dihidupkan (janin-manusia), lalu dimatikan, lalu dihidupkan, dan seterusnya, sehingga di akhir proses itu manusia dihidupkan untuk dikekalkan (hidup tanpa kematian), mengapa? Sekali lagi ingin ditekankan disini, bahwa bukanlah APA-adanya kitalah yang kelak akan dihisab nanti di hari akhir, namun JADI-apanya kitalah yang akan kelak diperiksa, telah berbuat apa, untuk apa, dari apa, dan seterusnya. “(Yaitu) pada hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha perkasa.” Jadi teringatlah sabda Rasulullah saw yang mulia, laisa minal insaani syai'un laa yublaa illa adzman wahidan, wa huwa 'ajbud zanbi. Wa minhu yurkabu alkhalqu yaumal qiyamah.

Di akhir kalimat, penulis ingin memohon maaf karena keterbatasan ilmu dan pemahamannya dalam hal-hal hudhuri (hal-hal yang tidak tampak, hal-hal yang  belum penulis lakukan sepenuhnya) ini, penulis termasuk yang tidak banyak tahu mengenai hakikat manusia secara sempurna, termasuk hakikat kebendaan (jism), forma sepsis (shurah nau’iyyah), hubungan motivasi diri terhadap ruh, dan seterusnya, dan sebagainya. Ini tiada lain hanyalah dikarenakan dangkalnya ilmu pengetahuan manusia mengenai referensi ilmunya (Al-Qur’an), mengingat pula bahwa kitab referensi ini baru bisa dikaji ketika segala perangkat-perangkat ilmunya dipenuhi, dihayati, dan diamalkan dalam persepsinya, pola berpikirnya, sudut pandangnya, dan proses mengilmukan ilmunya, dan seterusnya. “Dan kalian tidak diberikan ilmu pengetahuan melainkan sedikit sekali.” (QS Al-Isra: 85), termasuk penulis ingin meminta maaf atas hal-hal qath’I yang salah dalam penyampaiannya. Namun sedikit untuk diingat, bahwa mengenali potensi diri, mendalami, memetakan, lalu kemudian memproseskannya dalam sebuah pengaktualisasian potensi diri, merupakan hal-hal yang mampu terjadi, sekurangnya setelah kita melalui proses berpikir yang dalam, perenungan-perenungan, pemahaman yang utuh, dan referensi yang akurat. Mengapa? Karena memang inilah bagian dari proses berpikir besar, “memetakan potensi diri”.  Kembali kepada pertanyaan di awal, pertanyaan seorang Immanuel Kant, “Siapakah aku?”, “Apa yang seharusnya aku ketahui?” “Apa yang seharusnya aku kerjakan?”, apa harapan saya?”.

hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sunggu menujut Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya…. (QS. Al-Insyiqaq: 6)

Kamis, 02 Februari 2012

Pencarian Ide Menulis

Berawal dari pencarian ide untuk menulis, setelah sebelumnya didahului dengan keinginan dan "cita-cita" menuangkan buah pena pada sebuah tulisan, dan dari ketiaadaan ide menulis yang tak kunjung datang, maka, diberanikanlah untuk sekedar menyusun puzzle-puzzle huruf menjadi kalimat-kalimat mini, dan memang berharap kalimat-kalimat mini itu akan merangkai menjadi sebuah tulisan syarat dengan manfaat dan makna. Dan memang ternyata, kadang-kadang, ide menulis itu bisa muncul ketika kita sedang menulis sekalipun, dan inilah yang sedang dicoba oleh penulis saat ini.

Masih dalam pencarian ide, dan masih mengandalkan unsur spontanitas dan letupan-letupan pemikiran yang hilir mudik, dan tentunya SEMANGAT yang masih berkobar-kobar, maka diberanikanlah untuk sekedar menulis, dengan tetap penulis berpendapat "meskipun sedikit, semoga bermanfaat". Dan ternyata, ide menulispun datang dengan sendirinya saat kalimat ini ditulis, idenya adalah, mari menuliskan tentang menulis. Penulis ingin menulis dengan menulis. Istilahnya adalah "menulis happy", menulis dengan kerindangan hati, dengan jiwa-jiwa bahagia. Lalu bagaimana dengan sumber ide menulis yang tadi kita bahas diawal? mudah saja, mari kita lihat penjelasan Prof. Wayne Thompson dalam bukunya Fundamentals of communication, didalamnya disebutkan ide menulis itu dapat dilacak dari hal-hal seperti: pengalaman pribadi/pengalaman profesi, hobi, peristiwa2 yang terjadi secara faktual, dan yang terpenting adalah sumber insfirasi tulisan terbesar penulis, yakni Al-Qur'an "bacaan sempurna" kita, sebagai sumber ilmu dan inspirasi. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah, bahwa ide menulis itu tumbuh dari rahim membaca.

Setiap orang memiliki budaya pemikiran yang berbeda, persepsi yang berbeda, setiap orang tentu memiliki cara dan sudut pandang berbeda dalam menelurkan ide/gagasannya dalam sebuah tulisan. termasuk bagaimana mereka mengemas ide-ide segar itu dalam tulisan-tulisan yang sederhana, menyahaja. Sehingga mereka menulis, mendahului Insight of Writing mereka. Mari, kita memulai "penangkapan ide-ide menulis" dengan kepekaan diri, merefleksikan hikmah dari setiap kejadian manusia, Penulis ingin membahasakan hal ini sebagai sebuah istilah "tafakur" (Al-An'am: 50), karena tafakur inilah asas dari meminta, kunci cahaya, palang pintu ilmu, dan sedikit "agak" menjauh dari tulisan ini, hanya sekedar ingin mengutip perkataan Sahabat, Al-Junaid R.a (Ihya ulumuddin), “Majelis yang paling mulia dan paling tinggi adalah duduk dengan memikirkan medan tauhid, hembusan angin makrifat, minum dengan gelas cinta dari lautan kasih dan pandangan dengan prasangka baik kepada Allah SWT.” Kemudian ia berkata, “Aduhai betapa agungnya majelis dan betapa lezatnya minuman. Bahagialah bagi orang yang dianugerahinya.” Ya itu dia, tafakur adalah bagian dari peremajaan ide dan penangkapan gagasan-gagasan besar kita, Insya Allah..

Masih dalam pencarian ide, mentransformasikan gagasan dalam tulisan-tulisan singkat, tidaklah mudah, tapi  memang tidak sulit, "Intinya menulis tidak sulit kok". Mengapa? Karena sebagian atau seluruh kehidupan kita bisa menjadi naskah referenship untuk dijadikan sekedar menjadi tulisan. Lagi-lagi kembali pada diri sendiri sebagai insan pengolah kreatifitas (pemilik daya nalar+akal), dan pemahaman mereka sendiri terhadap ilmu, dan pengetahuan. Karena menulis (menurut penulis) tidak sekedar ide-ide reaktif, bukan pula gagasan-gagasan korosif, atau sekedar siulan-siulan pemikiran yang temporal spontanitas belaka. Ia lebih dari sekedar subtansi yang memiliki nilai-nilai, karakter, ciri khas, daya gedor, semangat, dan idealitas.

Jadi, masalah dalam memulai tulisan, umumnya menjadi kendala pada kebanyakan permasalahan. Ada pengantar tulisan yang terlihat spektakuler, namun spekulatif, ada tulisan sederhana namun menjurus, ada tulisan yang imajinatif namun liar, ada tulisan-tulisan mengenai paradigma-pemikiran-pendapat namun sulit dicerna untuk sekedar dijadikan kata-kata, dan sebagainya, ada hal-hal lain yang menjadi penomena umum yang sering kita lihat, kita rasakan. Karena memang ide-ide itu pada awalnya ibarat benang kusut, dan keharusan yang ada pada kita adalah menyusun puzzle puzzle itu sebagai sebuah tantangan, menjadi sebuah tulisan yang tertata rapi, syarat makna, syarat kekhasan, syarat karakter dan keilmuan, dan pendalaman. Inspiratif! hasilnya akan Inspiratif. Dan karena memang ide-ide itu sifatnya insidental, dan ketika ia datang, cara penyambutan terbaik adalah dengan mengemasnya menjadi sebuah tulisan yang bijak dalam semua aspek dan sudut pandang. Lihatlah Al-Qur'an, ia lebih dari sekedar tulisan, ia adalah firman Allah, lengkap dengan makna tersuratnya, makna tersiratnya, bahkan kesan yang ditimbulkannya. Sejarah! Menyejarah! Al-Qur'an lebih dari sekedar tulisan, sebagaimana yang dikatakan seorang orientalis, H.A.R. Gibb: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya. (Wawasan Al-Qur'an: Quraisy Shihab)

Tahukah kita? bahwa kemampuan menuliskan ide-ide dalam menulis, berbeda persentasenya dengan kemampuan membaca. Membaca adalah kita membunyikan "aksara ide", sedangkan menulis adalah upaya melahirkan "ide aksara", ide yang tertulis. Bahkan bila sampai pada tahapan memaknai ide-ide itu, kemudian mengaplikasikannya kedalam perangkat nilai-nilai, tindakan, perilaku, pemahaman sosial, dan seterusnya, ini adalah lebih dari sekedar penting, sangat penting. Lihatlah perbedaannya: seseorang yang hanya mampu membaca tasmiyah (bismillah), berbeda dengan seseorang yang mampu membaca, menulis, lalu kemudian menghidupakn pemahamannya, dan seterusnya. Inilah yang penulis anggap sebagai "segmentasi tulisan". Kemampuan melahirkan ide-ide dalam rahim pemikiran kita penting, bahkan sangat penting, agar senantiasa terjadi kontinuitas (keberlanjutan) ilmu, pemahaman, dan pengalaman kita sehingga akan berguna kelak, dikemudian hari, untuk diri sendiri, dan mungkin untuk orang lain. Lagi-lagi penulis ingin mengistilahkan hal ini (untuk sekedar agar penulis lebih menjadi faham) dengan istilah "Tadwinul Fikr", dan "Kitabah Fikr". Tadwinul Fikr menurut penulis adalah membukukan gagasan/pemikiran menjadi kesatuan, sedangkan Kitabah Fikr adalah sekedar penulisan ide/gagasan. Tadwin lebih dari sekedar menulis atau menuangkan ide pada secarik kertas, namun lebih kepada upaya-upaya "menghimpun". tentang upaya menghimpun ini, penulis mengajak para pembaca untuk mendalami QS. Al-Hijr: 9.

Tentang menulis ide ataupun gagasan, kemudian menuangkannya menjadi sebuah catatan/buku, penulis sedikit banyak kembali merangkai ingatannya bagaimana Al-Qur'an dibukukan, dihimpun menjadi mushaf seperti yang sekarang kita lihat, kita baca, kita hapal, dan kita aplikasikan dalam ibadah-doa, dan lafal-lafal lainnya. Penulis mengingat tentang bagaimana para orientalis mencoba menghancurkan dinding keyakinan umat islam mengenai keorisinilan Al-Qur'an, mereka mengatakan tulisan alqur'an palsu, tidak sesuai dengan alqur'an pada masa Rasul dahulu, dan seterusnya, dan sebagainya. Maka, sebuah kutipan jawaban, sekaligus bantahan yang tidak terbantahkan bagi mereka: Tulisan ataupun gaya tulisan (Khat) Quran bisa berbeda, namun bacaanya (Qiraahnya) tidak berubah. Dari sejak Nabi menerima wahyu berupa ayat-ayat Qur’an kemudian diajarkan kepada sahabat dengan tata cara membacanya. Sahabat menghafalnya dengan cara membacanya persis seperti Nabi membacanya, kemudian sahabat mengajarkan kepada Tabi’in seperti yang mereka dengar dan mereka hafal dari Nabi, para tabi’in menghafalnya dan kemudian mengajarkan lagi kepada generasi berikutnya sampai akhirnya kepada kita. Corak tulisan Qur’an boleh berbeda di setiap masa, di setiap daerah namun bacaannya tetap satu, tetap sama, dan inilah bukti yang tidak bisa dibantah sampai kapanpun. Mengapa mencantumkan kutipan ini? penulis berharap agar kita, memulai sikap bijak, untuk bisa membangun korelasi keyakinan, korelasi kemantapan, koherensi kematangan pemikiran, ilmu, pengalaman, dan kebijakan, dalam upaya kita menuangkan ide-ide itu dalam sebuah tulisan.

Wallahu'alam, penulis sebagai seorang yang baru memulai menulis lagi, setelah sekian lamanya tidak menggagaskan "tulisan dalam sebuah tulisan"nya, yang mengalami kesulitan untuk mengembangkan idenya, dan gagasannya, adalah manusia yang tidak tahu menahu tentang hal ini, hanya sedikit mencoba untuk belajar bersama, untuk memulai kebaikan bersama, mencari dan mendapatkan manfaat bersama. Penulis sudah berupaya "mengevakuasi tulisannya" agar sekiranya mudah dibaca, difahami, lalu mudah diamalkan kepada oranglain di luar sana, dan sudah bertindak dalam "pikiran khalayak" pembaca, dengan jejaring pendalaman hakikat yang sama pula. Sedikit ingin berkata sebelum mengakhiri tulisan, setelah sedikit agak lama merenungi hal-hal diluar sana, bahwa penuangan ide melalui menulis, hendaklah disertai kemampuan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi melalui modal intelektual kita, dan referensi nalar wahyu sebagaimana keyakinan, pemahaman kita masing-masing. bukan sekedar angan-angan pemikiran belaka (al-khayal al-fikri) berdasarkan doktrin pemikiran yang sempit, bukan sekedar rasm (tulisan tangan) yang miskin gelora hikmah, bukan pula dalam rangka membangun nuansa yang delicate (rumit), dan sebagainya. Bukan sekedar membubuhkan tulisan beraneka ragam (scripta defectiva), bukan sekedar perkataan Filosuf kontemporer Prancis "Repressive, violent, and authoritarian", dan sebagainya. Diakhir kata, penulis ingin mengatakan: tulisan adalah jiwa ketulusan.

Minggu, 25 September 2011

Ikhtiar

Kesungguhan manusia dalam ikhtiar (jiddiyyah) memang selalu meminta pengorbanan (tadhiyah) yang sungguh-sungguh pula. kesungguhan ikhtiar adalah pintu gerbang manusia dalam menapaki kehidupan di dunia ini berikut segala kesulitan dan segala hal yang terjadi selama manusia hidup sampai menuju liang lahat. kesungguhan ikhtiar ini bukanlah harga langit yang manusia tidak bisa melakukannya, bukan pula hal ghaib dimana manusia tidak mampu menggapainya, bukan pula sebuah fatamorgana maya artifisial, akan tetapi kita (semua) bisa menggapai ikhitar kita dan keinginan kita, dengan semampu kita, karena diluar kemampuan kita (yang paling maksimal) bukanlah wilayah ikhtiar kita dan kita tidak berkewajiban untuk memaksakan itu, namun taqdir Allah tidak pernah mendahului ikhtiar yang sungguh-sungguh dan berterus menerus (istimrariyyah) baik berat maupun ringan, karena itu lebih baik bagi kita dan lebih utama daripada sekedar menengadahkan tangan ke langit atau mengemis kepada manusia saja.. "Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (QS.At taubah:41), "Laa yukallifullohu illaa wus'aha, laha maktasabat wa'alaiha maktasabat" (Allah tidak membebani sesuatu hal lebih dari apa yang bisa kita menanggungnya).

Jika kita sadar akan tujuan hidup kita, untuk beribadah, menjadi khalifah (pengelola bumi, pemelihara sesama) maka manusia hendaklah menjadi raja bagi dirinya sendiri dengan mengatur segala perbuatannya dan berpikir jauh kedepan mengenai segala dampak dari perbuatannya, karena kelak ia akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah swt.. Maka, menyempurnakan usaha (ikhtiar) adalah hal yang menjadi tanggungjawab kita karena memang merubah kehidupan kita melalui ikhtiar adalah hal yang lebih kita fahami secara akal, lebih menenangkan secara bathin, disamping kekuatan do'a tentunya, dan tawakal serta izin Allah swt tentunya. "Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. as-Shaffat: 96).. Dalam beberapa ayat Allah menegaskan, bahwa sejatinya taqdir Allah mengikuti seberapa optimal ikhtiar manusia, sebagaimana firman Allah swt ini:  "Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum, kecuali dari kaum itu sendiri." (QS Arra'du: 11).

Tidak ada cita-cita dengan berdiam diri, tidak ada peruntungan tanpa usaha dan kesungguhan, tidak ada rejeki sekedar dengan berpangku tangan, "laysatin najah bis sukuuti" (tidak ada keberuntungan dengan berpangku tangan). Maka, bergerak dan terus berusaha adalah keniscayaan, karena masa ini adalah kepastian yang tidak bisa ditawar-tawar, sedangkan hari esok adalah sekedar mimpi dan cita-cita. Senantiasa berproses dan terus bergerak adalah lebih utama agar roda kehidupan senantiasa berputar dan seimbang.. Mereka yang tidak berusaha, tidak berikhtiar dengan kesungguhan, tidak memiliki mimpi dan cita-cita, tidak menyempurnakan paket-paket kehidupan dalam setiap perjalanan waktu hidupnya, hanyalah menambah masalah bagi mereka, hanya menambah sakit dan penyakit, kerugian demi kerugian, dan akibat yang buruk di akhir nanti. Ingatlah, bahwa hidup kita, tidak Allah ciptakan untuk kesia-siaan belaka! "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Al Imran; 191),  Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (At-taubah: 105).

Ingatlah, dan yakin, bahwa Allah senantiasa mewasiatkan dan selalu membimbing kita kepada jalan kebaikan, Ia senantiasa memberi petunjuk jalan dan memberikan penjelasan, Allah-lah yang lebih mengetahui tentang apa yang paling cocok dan paling kita butuhkan, meskipun pada artian yang berseberangan, meskipun pada hal yang menurut akal kita berlainan arti secara akal dan nalar, tetapi itu tetap yang terbaik menurut Allah swt, ''Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.'' (QS Al-Baqarah [2]: 216). “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”  (At-Takwir: 29). Dan segala hal dari usaha dan perbuatan kita, dari ibadah dan amal shaleh kita, atau dari dosa dan maksiat kita, segalanya (manfaat dan keburukannya) akan kembali kepada kita juga. “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka dosanya atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Fushshilat 41: 46). “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya.”  (Al-Kahfi: 110).

Disamping kita berhusnudzhan kepada Allah, membenarkan segala yang baik dan buruk itu adalah kehendak Allah (Qadha dan Qodar), dan meyakini bahwa apapun yang Allah kehendaki adalah untuk kemaslahatan, maka kitapun mesti meyakini dan membenarkan bahwa akan banyak ujian dan cobaan Allah yang Ia berikan ketika kita berproses dalam ikhtiar dan usaha kita itu, karena kita yakin pula, bahwa diantara ketentuan Allah yang tidak dapat kita ubah adalah adanya sebab akibat dalam amal perbuatan manusia, sebagaimana disampaikan Yusuf Qhardhawi, adanya sebab akibat itu adalah salah satu dari dari Qadha Allah swt sejak jaman azali, Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya”. Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan/sebab-sebab (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun menempuhi sebab-sebab itu. (Al Kahfi: 83-85).. Ust. Abdullah Nashih Ulwan, mejelaskan dua dimensi taqdir dari sudut pandang makhluk: taqdir yang musayyar (yang manusia tidak ada ikhtiar di dalamnya), dan taqdir yang mukhoyyar (yang hamba diharuskan berikhtiar dan disediakan balasan atas ikhtiarnya itu). Atas sifat kasih sayang Allah, Dia memberikan potensi dan sarana yang sifatnya musayyar (akal, petunjuk, peluang, fisik, dsb) yang dengan potensi itu hamba harus berikhtiar sehingga hadir ketentuan Allah yang terbaik untuk hamba-Nya. Dengan kata lain, usaha untuk memenuhi ketentuan sebab akibat itulah tempatnya ikhtiar, adapun atas hasilnya tentu sesuai dengan qadar Allah yang kemudian kita dituntut untuk bertawakal kepada-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (Al Hasyr:18)

Sang Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, menjelaskan, bahwa ikhtiar yang sebenarnya bukanlah meninggalkan pengaturan dengan hati dan jatuh diatas bumi sebagaimana daging yang tergeletak diatas tempat pemotongan daging, sebagaimana sangkaan orang bodoh pada umumnya dan mestilah ditegur karena berbuat seperti itu, ikhtiar yang sebenarnya adalah dengan bergerak, sebagaimana teguran Nabi saw kepada sahabatnya: Ketika itu ada yang menyatakan, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, ibadahku sudah meningkat, tak pernah lagi melakukan hubungan suami-isteri. Semua itu kulakukan demi untuk berkonsentrasi penuh terhadap cintaku kepadamu lebih dari cintaku kepada istri. Cintaku tak boleh lagi berbagi selain kepadamu.” Mendengar ini, Rasulullah setengah marah. Beliau pun berkata kepada orang itu, “Aku ini seorang rasul, tetapi juga mempunyai isteri dan anak. Haknya isteri ada pada kita, begitu juga haknya anak.” Kemudian ada lagi yang datang, lalu menyatakan, “Ya Rasulullah, aku berbahagia, karena aku tak pernah lagi tidur malam. Waktu sepenuhnya aku gunakan untuk salat, serta puasa sepanjang hari.” Mendengar ini, Rasulullah kemudian berkata, “Bukanlah begitu seharusnya, karena badan ini juga ada haknya.” Ikhtiar itu nampak pada gerak-gerik manusia dalam usaha, dalam kesungguhan, sehingga hasil yang dihasilkan adalah perbuatan yang profesional dan utama (itqanul 'amal), gerak gerik itu terutama dalam 4 hal mendasar, yakni dalam hal menarik kemanfaatan, memelihara kemanfaatan, menolak kemelaratan dan memotong kemelaratan.. Maka, wahai pemuncak ikhtiar, bertawakallah kepada Allah setelah ikhtiarmu lengkap dan sempurna!! sebagaimana sabdanya: Jika kamu bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya, niscaya Allah memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung yang keluar dari sarangnya pagi-pagi dengan perut lapar dan kembali pada sore harinya dengan perut kekenyangan setiap hari. Dan lenyaplah gunung-gunung penghalang dengan sebab doanya.

Ust. Majdi Fathi As Sayyid mengatakan, "ambillah asbab, dan serahkanlah hasilnya kepada Allah semata, dan yakinlah bahwa apa yang Ia berikan kepada kita adalah sebuah kemasalahatan dan kebaikan bagi kita, dan apa yang Ia hindarkan dari kita, adalah sebuah mafsadat yang Allah sungguh tidak menghendaki manusia mendekatinya/melakukannya", Ya Allah, sungguh penulis mendambakan kebaikan kehidupan di masa depan, kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat, mudah-mudahan dirinya dan kita semua menjadi ahli ikhtiar dan senatiasa berada dalam keutamaan... amiin, “Ya Alloh, perbaikilah agamaku yang merupakan urusan pokokku, perbaikilah duniaku yang di dalamnya terdapat kehidupanku, perbaikilah akhiratku yang ke sanalah tempat kembaliku. Jadikanlah kehidupan ini tambahan bagiku dalam setiap kebaikan dan (jadikanlah) kematian itu keterlepasan bagiku dari setiap keburukan.” (HR: Muslim), “Ya Alloh, aku mengharapkan rahmatMu, maka janganlah Kau pasrahkan (urusan)ku pada diriku sendiri walau sekejap mata. Dan perbaikilah urusanku semuanya. Tidak ada sesembahan yang haq melainkan Engkau.” (HR: Abu Daud dengan sanad shahih).

Senin, 14 Februari 2011

Batu Bata Harapan

Sejengkal-demi sejengkal, batu bata harapan sedang kita tegakan diatas puing-puing bangunan amal yang berserakan. Tiap tahapan dan tingkatan batu bata harapan merangkai menjadi sebuah cita-cita, kemudian dilahirkan turunannya dan perluasannya, yakni menyongsong peradaban baru, peradaban masyarakat islami berkeadilan. Karakter dari bongkahan batu bata harapan ini akan menentukan, kelak, bagaimana bangunan amal akan ditegakkan di tengah-tengah tata letak kehidupan dunia, dengan segala kerumitannya, dengan segala ketidakpastiannya. Batu bata harapan ini adalah sebuah harta langka yang dibalut oleh ketulusan, niatan untuk merubah ke arah perbaikan, bersama langkah2 kepastiannya, langkah-langkah yang dieja setiap bongkahan katanya menjadi sebuah kalimat yang meneduhkan, memberi jaminan perbaikan dan kebaikan. Pilihannya adalah, manusia harus mau menghadapi setiap kemungkinan-kemungkinan terburuk sekalipun, untuk menegakan menara harapan, sebagai mercusuar kehidupan di sekitarnya, penerang, dan pemberi keteduhan atas nama membangun infrastruktur manusia, yakni bangunan masa depan. Batu bata harapan ini, sedikit demi sedikit memberi suntikan keajaiban yang dibungkus oleh kedahsyatan akal-nurani, sedikit demi sedikit memberikan keteduhan yang dibalut dengan lurusnya akhlak di mata manusia secara umum, sedikit demi sedikit memberikan nafas baru, nafas perubahan, yang siap mengisi dari setiap celah-celah kekosongan, dari bangunan amal kita, rumah masa depan kita..

Layaknya kita sedang memilihkan bibit terbaik yang akan kita semai kelak, di masa depan. Maka, kita berkeharusan untuk mau menjaga bibit harapan agar ia tumbuh subur dalam setiap dada generasi kaum beriman, di segala kondisi dan pilihan-pilihan waktu, disegala kemungkinan-kemungkinan (tersulit sekalipun), di segala medan pertarungannya, untuk kemudian mau memenangkan dari setiap pertarungannya, di masa sekarang, dan di masa depan. Bibit harapan akan memberikan seribu kemungkinan jalan yang mesti ditempuh, dan hanya beberapa jalan rintangan saja, tidak banyak, tidak sebanyak jalan-jalan kemungkinan menuju harapan dan kemenangan itu sendiri. Maka, dari masing-masing benih harapan ini, akan dilahirkan benih-benih kembali, yang berbeda karakteristik uniknya, berbeda satu dengan yang lain, yang memberi keunikkan, dalam satu rangkaian kehidupan.  Untuk nantinya kita mengalah kepada waktu, agar mereka mau mendewasakan benih-benih harapan kita, menjadi sebuah pohon amal, pohon keloyalan, pohon komitmen, dan pohon kesatuan gerakan. Karena pasti, harapan tidak akan pernah meninggalkan mereka yang menggenggamnya dengan tangannya, tidak akan menceraikan manusia yang menggigit sedikit harapan dengan gerahamnya, sebab harapan itu masih dan tetap ada selama mereka bertahan dengan usaha-usahanya..

Marilah kita bergerak lebih dekat, memahami jejak-jejak harapan dan mendalami langkah-langkah bergeraknya. Kita susuri setiap langkah perjalanannya, kita ikuti setiap aliran pola berpikirnya, menghayati setiap pemaksudan dari setiap langkah dan keputusannya, mendalami tentang hakikat kompleksitas kehidupan (untuk kita gali sebuah pandangan menyeluruh dan lengkap) tentang rahasia-rahasianya untuk bisa mendekatkan kita kepada kunci-kunci kemenangan dalam perjuangan, dalam pergumulan kebaikan dalam arah perbaikan, dalam arah peningkatan, dalam arah mencapai warna-warna baru, warna perjuangan yang dilandasi sikap-sikap keteduhan. Maka, mereka yang telah membangun kekokohan bangunan harapan, telah besar dan dibesarkan oleh sejarah dan kenangan manusia, berkat kapasitas amal dan pengorbanan yang tidak bisa kita bayangkan, tidak bisa kita perkirakan, mereka itu antara lain: Nabi Nuh as, ia telah membangun rumah dakwahnya selama 950 tahun, dibawah bayang-bayang gangguan, cerca dan makian, dan pergolakan perlawanan yang teramat besar, sekalipun yang menyambut gayung seruannya hanyalah beberapa orang saja. Kemudian, seorang Mushab bin Ummair, sahabat Rasulullah yang teramat setia kepadanya,  bersedia menyambut busur dakwah beserta anak panah keikhlasannya untuk mau menjadi penyeru (da'i) pertama di kota Yastrib sendirian, tidak berkawan. Lalu kemudian kita akan diingatkan, tentang seorang Syahid, Sang Ideolog Islam, Sayid Qutb, yang mampu menebalkan dinding-dinding keteguhannya dan meninggikan menara keteduhannya, pada detik-detik maut di tiang gantungan demi mempertahankan keyakinan dan keteguhannya untuk  untuk tidak berdamai dengan penguasa yang zalim, sebab ia telah memanjatkan pengharapan terbaik hanya kepada Allah semata..

Maka, setiap tangan hendaklah terbuka dengan lebar. Tangan itu tidaklah dalam rangka memindahkan tanggungan dan beban dirinya kepada pundak saudaranya yang lain, sebab tangan ini teramat cela. Bukanlah seperangkat lisan yang mencaci sodaranya, karena keunikan amal dan keterbatasan kemanusiaannya dalam beramal, dan sebagainya. Tangan-tangan itu, mestilah tangan-tangan yang mau mengulurkan dengan lembut, dan mencari setiap beban-beban yang barangkali tidak sengaja terbawa oleh orang-orang ikhlas yang berjuang di jalan kebaikan. Tiap tangan, seperangkat lisan, dan seluruh kapasitas keumumman manusia lainnya senantiasa menawarkan harapan, dan pertolongan. Namun, tidak boleh mengiringkan harapan dengan ketergesaan sebelum proses kematangannya diselesaikan. Tidak boleh memulai pencarian dari harapan-harapan itu sebelum semuanya sudah jelas: tujuannya, latar belakangnya, sarana kendaraannya, bekalnya, perkiraan pembiayaannya, resiko-resiko dan antisipasi dari setiap kemungkinan yang mungkin terjadi pada sebuah proses pendakian harapan menuju perjalanan keabadian ini. Tidak boleh sekali-kali membangun harapan pada pondasi yang rapuh, pada landasan berdiri yang labil, pada kekuatan struktur bangunan amal yang tidak terencanakan. Maka, ini adalah sebentuk ujian yang dipergilirkan dan diapresiasikan kepada kita, manusia secara keseluruhan, agar nanti bisa diliat siapa orang yang paling baik amal dan keikhlasannya..

Membangkitkan pola gerakan manusia dalam kapasitas mereka sebagai insan pengelola harapan, adalah tugas dan kewajiban mulia. Sebagaimana Rasulullah saw membangkitkan semangat Bilal bin Rabbah saat-saat masa sulitnya dalam menerima siksaan dari tuannya, "Arihnaa Ya Bilaal " (Tentramkanlah hati kami wahai Bilal). Mereka, orang-orang yang mampu memanasi tungku pembakaran harapan, akan memahami, bahwa semua bangunan harapan dan pohon amal yang ia jaga dan ia bangun, semata-mata untuk diserahkan hasil akhirnya kepada Allah semata, setelah sempurna ikhtiar dan tawakalnya. Maka, Allah pun membalas harapan, doa-doa manusia, hajat,dan permintaannya, dengan cara unik dan mengagumkan, sebagaimana Imam Jafar Shodiq ra mengatakan: “Seorang kekasih Allah berdo’a kepada-Nya. Dia (Allah) berkata kepada salah satu malaikat-Nya, ‘Penuhi keperluan hamba-Ku, tetapi jangan segera, karena Aku senang mendengar rintihannya’. Seorang musuh Allah berdoa kepada-Nya, Dia (Allah) berkata kepada salah satu malaikat-Nya, ‘Penuhi keperluannya dengan segera karena Aku benci mendengar suaranya’ “. Sebagaimana Hellen Keler, seorang pengarang buku The Story of My Life  tahun 1903-an, dalam bukunya Live in my Darkness, mengatakan: Optimisme is the path that leads to achievement. Nothing can be done without hope and confidence (Optimisme adalah jalan yang mengarah ke prestasi. Tidak ada yang dapat dilakukan tanpa harapan dan keyakinan)..

Membangkitkan harapan, mulai menyusun satuan-satuan batu bata dan komponen bangunan amal lainnya, adalah sebuah kebutuhan yang mesti disikapi dan ditinjau ulang. membangkitkan harapan (roja) hakikatnya adalah membangun pola kedekatan yang erat antara manusia dengan tuhannya, dengan Allah swt. Yakinlah, bahwa Allah senantiasa memberi harapan kepada manusia, harapan pengampunan dosa, harapan bisa keluar dari kesulitan, harapan bisa mendapat setiap jawaban dari setiap pertanyaan, kesulitan, kegamangan, dan sebagainya. Sehingga dari kedekatan ini, lahirlah sifat-sifat unggul manusia: optimisme dan Husnudzan kepada Allah swt. Harap (roja') ini berbeda denganTamanniy (angan-angan), karena pada harapan (roja') adanya keterpautan hati dengan gerak lahir sesuatu yang diinginkan di masa depan, sedangkan tamanniy hanya sekedar andai-andai kosong saja. Akan selalu ada nafas harapan dan optimisme ditengah badai kehidupan, bagi mereka yang dekat dan penuh (kuat) rasa yakinnya kepada Allah swt. Mereka tidak mungkin takut dan bersedih hati, apalagi berputus asa dari rahmat Allah swt, meskipun dalam perkara dosa sekalipun, dalam masalah pertaubatan manusia sekalipun, mereka akan selalu membersamai hari-harinya dengan pemaknaan yang besar terhadap kehidupannya. Ibnu Athai’illah As-Sakandari dalam kitab Al-Hikam, mengatakan:"pertaubatan dengan sikap rajâ’ tidak mempersyaratkan penyesalan sebagai gerbang utama, melainkan yang terpenting adalah sikap dan keinginan yang kuat untuk berbuat baik di kehidupan barunya."

Bahwa, yang diharapkan dari seorang muslim beriman adalah penghidupan dunia yang baik, dan jaminan keselamatan kelak di akhirat. Sungguh, orang-orang yang lurus agamanya dan bercahaya mata hatinya akan melihat bahwa dunia beserta segenap kebendaannya hanyalah sementara dan melenakan saja, sedangkan akhirat, adalah tempat berpulang yang lebih baik, lebih kekal. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Rasululullah saw, melalui sahabatnya Abu Hurairah ra, "Dunia penjara bagi orang mukmin dan syurga bagi orang kafir." Harapan senantiasa menyiratkan kebaikan-kebaikan, sebagaimana Allah secara terang-terangan mengabadikan didalam Al-Qur'an, agar manusia tidak terputus dari rohmat dan pengharapan (ampunan) dari Allah swt. Allah swt berfirman: "Janganlah kamu berputus asa dari mengharap Rahmat Alloh. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari mengharap Rahmat Alloh melainkan kaum yang kafir”. (QS Yusuf : 87).. Terkait QS. Al Anbiyaa’ ayat 89-90 pun, Allah swt telah mengisahkan tentang Nabi Zakaria, Istrinya, dan Yahya, yang senantiasa dekat dan taat kepada-Nya, Allah mensifati para hamba-Nya yang beribadah dan berdo’a kepada-Nya dengan rasa harap dan cemas (rogbah dan rohbah) serta merendahkan diri (khusyu’).. Dalam kitab Hushulul Ma'mu Bisyarhi Tsalatsatil Ushul Karya Abdullah bin Shohib Al Fauzan, dikatakan bahwa Rogbah adalah meminta, merendahkan diri, dan mengharap sepenuh hati dengan penuh kecintaan yang mengantarkan kepada sesuatu yang dicintai. Sedangkan Rohbah adalah takut yang menyebabkan seseorang menjauh dari sesuatu yang ditakuti. Namun Rogbah sendiri ada sedikit perbedaan dengan roja' yang kita bahasakan hari ini. Dalam Buku Madarijus Salikin Juz kedua, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, dikatakan: Rogbah memiliki makna yang hampir sama dengan roja’. Namun keduanya memiliki perbedaan. Roja’ adalah menginginkan (hanya sekedar keinginan) sedangkan rogbah adalah usaha untuk mendapatkan yang diinginkan, namun belum bisa dipastikan keinginannya itu tercapai. Maka Roghbah dan Rohbah adalah lebih khusus dibandingkan Roja' dan Khauf ini..

Pengharapan (roja') adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, disertai dengan rasa takut (Khouf) kepada Allah swt, mengharapkan ihsan (balasan keutamaan), dan kebaikan dunia akhirat.Roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab yang baik untuk mencapai tujuannya. SedangkanKhouf adalah rasa takut dengan berbagai macam cara dan jenis ketakutan, adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf karena khosyah diiringi oleh sikap ma’rifatullah.. Ar Raghib berkata: "Khosyah adalah khouf yang tercampuri dengan pengagungan dimana mayoritas hal itu muncul didasarkan pada pengetahuan terhadap sesuatu yang ditakuti, adapun rohbah adalah khouf yang diikuti dengan tindakan meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah khouf yang diiringi amalan.. (Hushuulul Ma’muul hal.87). Maka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya  penggerak hati menuju Allah‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang dicintai-Nya. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi pemacu perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap hamba wajib memperahtikan hal itu…” (Majmu’ Fatawa,1/95-96, dinukil dari Hushulul Ma’muul, hal. 82-83)..

Janganlah terputus dari telaga harap, sebab kalian adalah permata indah yang sengaja dsingkapkan berhadap-hadapan dengan kemilau cahaya mentari, sehingga engkau pun memantulkan sinar dan cahanya yang indah, ikut menerangi dan memperindah dunia bersama segenap keindahannya. Janganlah pernah merasa lelah, baik pada saat sepi, ataupun saat ramai di jalan kebenaran dan seruan beramal kebaikan.. InsyaAllah ada Allah swt yang akan selalu membersamai setiap langkah kita dalam kebaikan ini. Meski lelah (karena pundak kita terpaksa harus menanggung beban dari sodara kita yang tidak terlibat dalam amal jama'inya), namun tetap, Allah swt semata-mata telah memilih kita untuk tetap berada disini, di jalan kebenaran, di jalan perbaikan. Ikhwah!! Janganlah mundur, sebab orang-orang yang mundur hakikatnya adalah berjiwa munafik, sebagaimana Abdullah bin Ubay mundur dari perang uhud karena kenifakannya, karena tidak ada sikap/sifat harap kepada Tuhan-Nya dan kepada Rasul-Nya. Mari letakan kembali batu bata harapan kita kepada Allah swt, Rabb yang menggenggam setiap harapan dan kejadian (takdir) dari apa yang kita upayakan ini. Semoga langkah kaki kita dijejakkan dengan kekokohan yang sebesar-besarnya, InsyaAllah... Semoga bermanfaat!!

Sabtu, 12 Februari 2011

Bangunan Amal

Hakikat dari kehidupan manusia adalah untuk beramal!! Segenap potensi tenaga, pikiran, waktu, dan materi, dimanfaatkan untuk beramal kebaikan. Beramal kebaikan ibarat menanami lahan kehidupan yang kering dengan tetanaman subur yang menyenangkan, dan sedap dipandang, layaknya seperti menanam pohon kerindangan, yang mampu memberi keteduhan berlipat-lipat, keteduhan dari sebuah kerindangan, dari sebuah kebermanfaatan dalam keutamaan. Meski terik mentari kian membakar setiap lembar kulit manusia, namun pohon kerindangan itu tetap meneduhkan!! Meski hari-hari kita senantiasa bersimbah peluh, senantiasa selalu ada amal-amal yang diutamakan!!,Meski kehausan akan imbalan dan penghargaan semakin menjadi-jadi, namun pohon kerindangan ini tetaplah kokoh, menyamarkan bebayang kecacatan dalam tubuh amal, dalam tubuh kebaikan!! Semata-mata untuk mendapatkan bibit pohon amal untuk proyek penanaman pohon kerindangan, pohon amal kebaikan..Tidak ada maksud dan tujuan lain, dari penghidupan amal dalam tubuh aktifitas manusia, melainkan ingin bersemainya benih-benih kebaikan, dan berkembang lebat menjadi sebuah pohon kerindangan, pohon amal kebaikan..

Berangkat dari sebuah tata nilai kemanusiaan manusia, dalam struktur amal manusia tentunya, akan banyak kita jumpai keberpemilikan yang samar!! terkadang kita merasa memiliki kemampuan untuk menebar bibit-bibit keutamaan kepada segenap keluarga manusia, padahal pada hakikatnya kita dibermampukan, diberi ijin, dan dipertolongkan oleh Allah SWT semata.. Di luar itu, pasti, kita tidak memiliki daya meureka dan tidak memiliki kekuatan mencipta pada sebuah tubuh amal, tidak memiliki keutamaan, selain dari apa yang manusia berikan, meski lebih kurang karena ketidak tepatan saja, penghargaan dan apresiasi yang seharusnya tidak kita miliki, karena unsur kelemahan dan kecacatan amal kita yang sudah membengkak parah, sudah terlepas dari tali acuan dan hakikat penghambaannya.. Atau lebih sering juga kita merasa ujub dan takabur atas amal kita, padahal tidak seberapa jika dibandingkan dengan struktrul amal dengan keikhlasan misalnya, tidak ada faidah dan keutamaannya bagi amal yang dijahit dengan benang ujub dan jarum takabur itu, semata-mata hanya sekedar kelelahan dan rasa capek saja, itu saja!! Bahaya memang, kita akan mendapatkan keburukan sebagai hasil implikasi dari kecacatan amal karena sifat ujub dan takabur kita, tidak tanggung-tanggung nerakalah tempat berlabuh kelak, bagi orang-orang yang demikian itu, begitu pula sebaliknya!! Sa'id Bin Jubair, seorang ulama salaf, mengatakan: "Sesungguhnya ada seorang hamba yang beramal kebaikan malah ia masuk neraka. Sebaliknya ada pula yang beramal kejelekan malah ia masuk surga. Yang beramal kebaikan tersebut, ia merasa ujub (bangga dengan amalnya), lantas ia pun berbangga diri, itulah yang mengakibatkan ia masuk neraka. Ada pula yang beramal kejelekan, namun ia senantiasa takut (akan adzab Allah) dan ia iringi dengan taubat, itulah yang membuatnya masuk surga"..

Ajaran siutao mengatakan bahwa infrastruktur amal kebendaan itu dibangun oleh dua hal, pertama diukur dengan tingkat kesungguhan hati, lalu yang kedua adalah diukur dengan tingkat menerima manfaat.. Ini adalah struktur amal kebendaan yang hanya memerankan manusia dalam satu peran pincang saja, peran "hanya agar bermanfaat untuk manusia saja", hanya menyangkut aspek materialistik-empirik secara sempit, belum menyentuh aspek fungsionalitas-integralitas, dan aspek-aspek lainnya!! Dengan modal kesungguhan (jiddiyyah) maka segala problematika kehidupan akan mudah untuk dihempaskan menjadi lembaran-lembaran jalan keluar yang gilang-gemilang. Modal kesungguhan ini barangkali akan muncul sebagai sebuah fenomena tidak permanent (unpermanent aspect), modal kesungguhan ini bermulai dari niat, lalu mereproduksi dirinya menjadi sebuah amal-amal kebaikan yang terkonsep matang, sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia sendiri. Modal ini tiada lain adalah sebuah pembenaran (tashdiq) dalam niat, tindakan, dan ucapan.. Disamping modal kesungguhan, dalam rangka menopang pondasi infrastruktur amal kita, mesti dibarengi dengan modal ketundukan. Maksudnya adalah keta'atan yang seta'at-ta'atnya keta'atan, yang mampu menembus batas amaliyah manusia secara keumumman. Modal ketundukan ini lebih sering kita kaji pada siroh-siroh nabawiyah dan fiqih shohabah (sejarah nabi dan fiqih sahabat nabi), dimana tidak bisa kita tentukan, apakah anggota badan mereka yang dahulu menguatkan islam, atau hati merekalah yang membawa islam dan panji-panji penguatan islam pada kehidupannya, atau ada yang lainnya, dan sebagainya. Syaikhul Islam, Ibnu taimiyyah mengatakan: "Sulit dibedakan antara ma'rifah (mengenal Tuhan dengan hati) dengan pembenaran semata. Sulit membedakan antara pengenalan dengan hati dan pembenaran yang tidak disertai dengan amalan anggota badan sedikitpun", maka orang yang menyangka bahwa dia orang mukmin dan tidak mengucapkan dengan lisannya serta tidak pula beramal dengan anggota badannya dalam keadaan mampu untuk beramal maka ini adalah madzhabnya Jahmiyyah, keimanan Jahmiyyah, (kita berlindung kepada Allah untuk keselamatan hal tersebut). Maka harus adanya amalan yang akan membuktikan pembenaran yang ada dalam hatinya sebagaimana orang yang beramal harus adanya pembenaran dalam bathin yang akan mensahkan amalannya tersebut..

Berbicara struktur amaliyah manusia, maka kita mau tidak mau harus berbicara tentang kapasitas manusia dalam beramal dan melaksanakan kebaikan-kebaikannya, bagaimana manusia brproses dalam menumbuhkan pohon-pohon amal yang mungil, lalu seiring berjalannya waktu pohon mungil itu berubah menjadi pohon amal yang dipandang sedap oleh orang-orang disekitarnya, pohon yang akan sangat banyak memberikan kebermanfaatan, daunnya yang rindang, akarnya yang kokoh dan menguatkan, batangnya yang bisa dijadikan sandaran,, rantingnya yang mencakar keangkuhan, dan sebagainya. Berbicara tentang amal, maka kita mesti berbicara tentang komleksitas niat yang terkadang sangat sulit untuk dijaga dan dikendalikan, senantiasa berubah-ubah, sebagaimana perkataan dari Sufyan Ats Tsauri, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah.” Begitulah niat yang murni, tautan hatinya hanyalah untuk Allah semata, niat yang murni ini adalah sesodara kandung dengan kejujuran hati kita, ia adalah sebuah warna polos tanpa keberpihakan, tanpa coretan tinta tujuan lain, selain hanya niat ketulusan, dalam amal yang dijaga kemurnian kompleksitas niatnya, karena pembalasan pahala-dosa, ditakar dari kadar niatnya pula. Meskipun memang Ikhlas (kata Umar Sulaiman Al Asyqar) adalah seolah-olah berupa konsepan khayali yang sulit ditemukan wujudnya pada diri manusia..

Baiklah, kita sedikit akan membahasakan konsep ikhlas dalam kaitannya dengan kontekstualisasi amal manusia!! Agar nantinya terlihat korelasi dan koherensi antara bangunan amal yang telah kita uraikan diatas dengan konsep ikhlas dalam beramal.. Fudhail bin Iyadh mengatakan, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah". Ikhlas sendiri adalah amaliyah rahasia (amniyyah) dimana hanya Allah dan hambaNya lah yang tahu tentang urusan ikhlas ini, ia membrsihakan setiap kekotoran pada dinding bangunan amal dari campuran-campuran yang mengotori, ia menghanguskan segala kayu-kayu yang di i'tiqadkan dari semula untuk membakar rumah niat dalam setiap konstelasi amal manusia. Ikhlas ini bisa dipercepat proses pembangunan dan kristalisasi karakternya dalam kehidupa kita, dengan beberapa cara, antaralain: memperbanyak do'a, menyembunyikan amal kebaikan, memandang rendah amal kebaikan kita, takut akan tidak diterimanya amal, tidak terpengaruh oleh perkataan manusia, menyadari bahwa manusia bukan pemilik surga dan neraka, ingin dicintai namun dibenci, dan sebagainya.. Amal keikhlasan teramat sedikit dan jarang kita temukan dewasa ini, karena memang sebetulnya amal yang disertai dengan keikhlasan teramat berat, banyak cabaran da cobaan, serta godaan yang akan merongrong setiap baju keikhlasan yang melekat pada tubuh amal kita!! Maka, perlu dua cara logis untuk mengantisipasi segala cobaan dan cabaran, serta godaan ini, yakni: petama mengembalikan pemahaman bahwa segala kompleksitas kehidupan adalah dalam rangka ibadah kepada Allah swt dalam seluruh lingkup perbuatan, baik lahir maupun bathin, kemudian yang kedua memurnikan niat dalam setiap tataran amal haqiqinya, dalam tataran orientasi dan makna amaliyahnya, dan sebagainya..

Ikhlas, merupakan sebuah cabang dari akar pohon kebaikan, cabang yang barangkali teramat dalam keberadaannya, sampai terlihat samar-samar, dan sering dilupakan juga, karena akarnya tidak terlihat oleh jangkauan penglihatan mata sederhana manusia biasa!! sebab lagi-lagi, hanya Allah yang memahami tingkat keikhlasan seseorang, dibanding orang yang berikhlasnya sendiri. Keikhlasan suatu bangunan amal, pertama-tama akan ditentukan oleh kadar keikhlasan niatnya masing-masing. Dalam kaitannya dengan pembahasan niat, ada dua hal terkait niat, yakni: menyengaja melakukan suatu amalan (niyat al-'amal) dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu (niyat al-ma'mul lahu). Terkait niyat al-'amal, hendaknya ketika melakukan suatu amal seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain, sehingga mampu membedakan mana yang sunah mana yang wajib, dan sebagainya. Kemudian niyat al-ma'mul lahu hendaklah ketika melakukan suatu amal seseorang tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya, amalannya dilakukan dengan ikhlas.. Bentukan niat yang kedua, didalam Al-Qur'an sering disitir dengan konteks kata yang berbeda, misalnya: iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari), dan sebagainya!! dalam kitab Az- Zuhd karya Nu'aim bin Hambal, dituturkan bagaimana sikap Abu Bakar Ash-Shidiq ra pada saat menerima/mendengar banyak pujian dari manusia, beliau pun berdo'a kepada Allah swt: “Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.”  Maka, perbaharuhilah niat kita dengan memperbanyak dekat kepada Allah swt, dengan memperlama intensitas perbuatan baik kita kepada Allah swt, dan sebagainya. sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mubarrak: “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.”

Saya teringat sebuah petikan cerdas yang saya garisbawahi kata-kata indahnya itu, dari sang insan shaleh, Ibnu Qoyyim dalam bukunya Al Fawaid, beliau mengatakan: “Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ’sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” 

Hari ini, adalah moment-moment penting untuk berlahirannya para mukhlis/mukhlisun (orang-orang ikhlas) dalam beramal. Mereka adalah yang hatinya bersih dan tulus dalam perbuatan, perkataan, pemberian, penolakan, perkataan, diam, ibadah dan amaliyah kehidupannya semata-mata dilakukan untuk Allah SWT semata. Maka, dengan Isyarat Allah sendiri (di dalam nash Al-qur'an) disebutkan, bahwa selain derajat mukhlis manusia masih berpeluang mengalami kesia-siaan (halka). Maka (masih menurut Al-Qur'an), orang yang bergelar mukhlis masih lebih baik dibandingkan dengan orang ‘alim yang ‘amil (orang pandai yang banyak berbuat) tetapi tidak mukhlis. Menjadi orang diluar kapasitas sebagai mukhlis, hanya akan menyisakan penyesalan yang tiada terkira banyaknya, hanya meninggalkan jejak kelelahan tanpa balasan yang setimbang dengan pengorbanannya, dan sebagainya. Menjadi orang di luar kapasitas sebagai mukhlis, kata Syekh Abdul Qadir Jaelani, disebut "sebagai orang yang lahirnya baik tetapi bathinnya rusak." Beberapa kharakteristik orang-orang mukhlis antara lain: Berhati-hati dalam bertindak dan berkeyakinan karena takut kepada Allah swt semata, beriman kepada ayat-ayat Allah swt, ayat-ayat Qauliyah (Alquran) maupun isyarat alam (ayat Qauniyah), Siap mnafkahkan dan menyedekahkan harta yang Allah karuniakan kepada mereka di jalan yang Allah perintahkan, bersegera dan sigap dalam berbuat baik dan menyongsong kebaikan, dan salah satu karakteristik khas orang yang ikhlas (mukhlis) adalah senang menyembunyikan amalannya bagai menyembunyikan aib-aibnya..

Akhirnya tulisan singkat ini saya tulis dengan kutipan perkataan dari sang hujjatul Islam, Syekh Abdul Qadir Jailani, ” Barangsiapa yang bersabar bersama Allah SWT, maka ia akan melihat kelembutannya. Barangsiapa bersabar menerima kefakiran, tentu kekayaan akan mendatanginya. Kebanyakan para nabi adalah penggembala, dan para wali adalah pengembara. Barangsiapa merasa hina di hadapan-Nya, maka Dia akan memuliakannya. Barangsiapa tawadhu’ di hadapan-Nya, Dia akan mengangkat derajatnya. Dialah Dzat Yang Meninggikan atau menurunkan derajat, Yang menetapkan dan memudahkan urusan. Tanpa DIA, kita tidak akan pernah mengenal-Nya sebab kita mengenal-Nya melalui firman-Nya. DIA-lah yang memperkenalkan diri-Nya kepada kita, baik melalui Tauhid Asma wa Sifat maupun melalui alam penciptaan-Nya. Wahai orang-orang yang menyombongkan amal mereka, alangkah naifnya engkau. Kalaulah bukan karena taufik-Nya, tentu engkau tidak akan mampu menjalankan shalat lima waktu, puasa, atau pun sabar. Kebanyakan manusia menyombongkan ibadah dan amal mereka. Mereka mencari pujian dan sanjungan manusia. Mereka senang jika dunia dan para pencintanya datang menghadap kepada mereka. Adapun yang menyebabkan mereka dalam keadaan seperti itu adalah karena mereka masih terikat oleh nafsu dan keinginan-keinginannya. Dunia memang kekasih nafsu, akhirat kekasih hati, dan Allah kekasih nurani."