Minggu, 23 Januari 2011

Itsar

Mendahulukan kepentingan orang lain (Itsar) dibanding diri sendiri adalah salah satu perbuatan mulia. Sebuah sikap Heroik dan fenomenal di jaman sekarang barangkali, dimana kenyataannya setiap manusia hari ini lebih banyak mencintai dan mendahulukan dirinya sendiri dibanding orang lain. Itsar adalah bak cahaya bulan di kesendirian malam, cahayanya menerangi segala penjuru malam, namun cahayanya tidak sebanyak cahaya gemintang di lautan kelam. Itsar adalah kesyahduan yang terbuang, sebuah hikmah yang teramat langka kita temukan di tengah pragmatisme masyarakat. Itsaradalah kesunyian ditengah ramainya hiruk pikuk manusia yang bertebaran di jalanan dan di pasaran. Itsar adalah keteladanan dalam kearifan, Itsar adalah lukisan cantik di sebidang kanvas kehidupan, Ia adalah kebermanfaatan tertinggi ditengah banyaknya kesia-siaan pada tubuh amal, Ia adalah Empati dan senantiasa menginginkan kebaikan untuk orang lain, jauh dari kebutuhan/keinginan untuk dirinya sendiri. Begitulah Itsar, Ia akan bersih dari sikap-sikap serakah, keegoisan sempit, individualistis sesat, kosmopolis behaviour, materialisme sekuleritas, dan sebagainya...

Itsar adalah harta yang hilang ditengah-tengah keberlimpahan harta dan kekayaan. Itsar adalah capaian tertinggi bagi peradaban akhlak manusia, dimana eksistensi kemanusiaan manusia dijunjung tinggi dan ditegakkan, Ia adalah yang membedakan mana manusia yang empati, mana yang tidak, dan seterusnya, dan seterusnya. Mendahulukan kepentingan orang lain (Itsar) dalam duniawi dan pertolongan itu teramat dianjurkan, sedangkan dalam perkara ukhrawi dan ibadah adalah cela. Kaidahnya begini: Al Itsar bil Qurbi makruuhun wa fii ghoirihaa mahbuubun (mengutamakan orang lain dalam hal mendekatkan diri kepada Allah atau mengutamakan orang lain dalam hal ibadah itu hukumnya makruh). Begitulah Itsar, Ia bukanlah hal asing pada masa sahabat Rasulullah saw, karena Rasulullah itu sendiri adalah contoh dan tauladan terbaik untuk perbuatan ini. Tak heran, pada masa itu, adalah bermunculannya pribadi-pribadi yang kaya makna, jiwanya menebarkan pesona keshalihan, pada mereka memancar mata air kebaikan. Begitulah Itsar pada masa itu, hingga diabadikan dalam tinta Al-Qur'an: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Al Hasyr: 9). Maka pada saat itu tidak aneh, jika salah seorang muslim lebih mencintai sodaranya dibanding dirinya dan keluarganya sendiri. “Salah seorang dari kalian tidak beriman, hingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya”...

Dalam pandangan Islam, Itsar,barangkali sebuah kata yang hampir asing didengar di telinga kita, namun Ia mampu menembus berbagai aspek dan dimensi kehidupan, Itsar adalah hal terpuji dan elok untuk dicontoh, sebuah kaidahsyar'iyyah yang telah dicontohkan oleh pribadi mulia, Rasulullah saw dan generasi setelahnya, dan barangkali oleh orangtua kita, dan seterusnya, dan seterusnya.. Itsar adalah wahana untuk mendekatkan bantuan Allah terhadap ta’liful qulub (persatuan hati)  manusia, sebab sejatinya adalah hak otonomi Allah Swt yang menyatukan hati kita dengan sodara kita, dengan itsar inilah dimaksudkan eratnya hati kita terhadap saudara kita yang lain. Itsar adalah paduan dari Iltizamul kamil (disiplin yang sempurna) dengan ukhuwah Islamiyah atau ukhuwah insaniyyah salimiyah. Itsar adalah puncak ukhuwah Islamiyah. Maka bentuk minimal ukhuwah (persaudaraan) adalah “Salamatus Shodr”, kelapangan dada terhadap saudara seiman, maka Itsar adalah bentuk maksimal ukhuwah itu sendiri.. Sebuah hadits mengatakan: “Bukan golongan kami orang yang tidak peduli pada urusan orang Islam”...

Pribadi-pribadi Itsar (mu'tsir) memang adalah teladan nyata dari segment terbaika manusia. Ia mendahulukan keperluan oranglain pada saat iapun memerlukannya, Pribadi Itsar (mu'tsir) bukanlah utophia atau angan-angan belaka, ia ada dan memang harus ada, sebuah segment kehidpuan terbaik manusia, terlebih harus ada pada manusia muslim, pesona manusia luar biasa manfaat dan kebaikannya pada sesama. Nilai-nilai materi di dunia ini tidak akan di timbang berat, apapun yang mereka punya adalah semata-mata milik Allah swt dan harus dimanfaatkan sesuai permintaanNya, yakni manfaat untuk seluruh alam, manusia, dan makhluk lainnya. Materi di dunia tidak lagi dijadikan sebagai pujaan atau pemuas syahwat kebendaannya, hartanya tidak luput untuk didermakan di Jalan Allah, waktunya pun lebih banyak dicurahkan untuk memikirkan masalah dan mencarikan solusi untuk manusia, tenaga, bahkan nyawanya, siap digadaikan demi keperluan sodaranya yang lain, demi agamanya, tanah airnya, harga diri dan kehormatannya, dan sebagainya.. Betapa tidak heroik fenomena seperti ini, begitu anggun dan memesona.. Pribadi Itsar (mu'tsir) akan mendahulukan kematiannya untuk kehidupan sodaranya yang lain, sebagaimana tertulis dalam tinta sejarah yang sangat cantik: Dalam perang Yarmuk, dari Abdullah bin Mush'ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit, keduanya menceritakan, Telah syahid al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr. Mereka ketika itu akan diberi minum, sedangkan mereka dalam keadaan kritis, namun kesemuanya saling menolak. Ketika salah satu dari mereka akan diberi minum dia berkata,"Berikan dahulu kepada si fulan, demikian seterusnya sehingga semuanya meninggal dan mereka belum sempat meminum air itu". Dalam riwayat lain perawi menceritakan, "Ikrimah meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah berkata, "Berikan air itu kepadanya." Dan ketika itu Suhail juga melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, "Berikan air itu kepadanya (al Harits). Namun belum sampai air itu kepada al Harits, ternyata ketiganya telah meninggal tanpa sempat merasakan air tersebut setetespun... Indah memang!!

Bagaimana sekarang? Adakah Mu'tsir-mu'tsir yang baru? Sebagaimana generasi emas ini, Seperti Ikrimah bin Abu jahal ini? syuhada yang memiliki 70 luka waktu, yang telah meneladankan bagaimana mendahulukan kepentingan sahabatnya dibanding dirinya sendiri, padahal dirinya teramat kepayahan. Jawabannya harus ada, karena Itsar ini erat kaitannya dengan Sabiqun bil khairat (menyegera dalam kebaikan), sangat ada kaitannya dengan amal tadhiyah(pengorbanan).. Dalam sebuah hadits riwayat muslim dari Abu Hurairah diceritakan ada sepasang suami istri yang memenuhi perintah Rasulullah untuk memberi makan musafir yang kelaparan, yakni Abu Thalhah dan Ummu Sulaim. pada saat itu mereka sendiri tidak mempunyai makanan selain untuk makan anak-anaknya. Oleh karena itu mereka segera menidurkan anak-anak mereka yang lapar dan berpura-pura makan agar tamu mereka makan dengan tenang. Padahal yang sedang disantap oleh tamu mereka itu adalah saru porsi terakhir yang mereka miliki hari itu.. Indah memang! perbuatan Itsar para mu'tsir ini pun dilukis indah dalam Al-Qur'an: dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al Hasyr: 9). Maka, keesokan harinya, rasulullah berjumpa dengan Abu Thalhah dan memujinya: “Sungguh Allah sangat gembira (tersenyum) menyaksikan perbuatan Anda berdua”. Ada cerita lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Sa'ad bin Rabbi' telah menawarkan kepada Abdur Rahman bin Auf setelah keduanya dipersaudarakan oleh Nabi Saw untuk bersedia diberi separuh dari hartanya, salah satu dari rumahnya dan salah satu dari isterinya untuk dicerai, lalu disuruh menikahinya. Maka Abdurahman bin Auf berkata kepada Sa'ad bin Rabi' "Semoga Allah memberkahi keluargamu, semoga Allah memberkahi rumahmu, dan semoga Allah memberkahi hartamu, sesungguhnya aku adalah seorang pedagang, untuk itu tunjukilah aku di mana pasar"... Disana dijelaskan bahwa Itsar ada kaitannya dengan I’tisham bi hablillah (berpegang teguh di jalan Allah), Ia adalah senyawa dari unsur Roja'  (harap) dan unsur khaof (takut) kepada TuhanNya, dan puncak tertinggi dari persaudaraan itu adalah diteempatkannya kebutuhan sodaranya sebagai prioritas yang utama dan dipertamakan..

Itsar ada kaitannya dengan amal tadhiyah (pengorbanan), ia adalah seakar kata dengan kedermawanan, masing-masing saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Kedermawanan dalam pengorbanan-pengorbanan ini antara lain: Kedermawanan dengan pengorbanan jiwa, Kedermawanan dengan kekuasaan, Kedermawanan dengan kesenangan, Kedermawanan dengan ilmu, Kedermawanan dengan memanfaatkan kedudukan, Kedermawanan dengan memanfaatkan badan, Kedermawanan dengan kehormatan diri, Kedermawanan dengan kesabaran dan menahan diri, Kedermawanan dengan akhlak perilaku dan budi pekerti yang baik, Kedermawanan dengan membiarkan apa yang ada di tangan manusia dan tidak menengok kepadanya serta tidak mengusiknya dengan apa pun, dan sebagainya.. Maka menurut pengarang buku Manazilus-Sa'irin ada tiga jenis derajat Itsar yang dimaksud, antara lain: Lebih mengutamakan manusia daripada diri kita sendiri dalam perkara yang tidak mengusik agama dan waktu kita, Mengutamakan ridha Allah daripada ridha selain-Nya sekalipun berat cobaanNya sebagaimana ungkapan Asy-Syafi'y, "Ridha manusia itu merupakan sasaran yang tidak bisa diukur. Maka ikutilah ridha yang mendatangkan kemaslahatan bagi dirimu." Sementara itu, tak ada kemaslahatan yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba kecuali dengan mementingkan ridha Allah daripada ridha selain-Nya., dan yang terakhir adalah menisbatkan itsar kepada Allah dan bukan kepada diri kita...

Menurut penulis, Itsar ini  adalah salah satu faktor kemenangan generasi Emas Umat Islam waktu dulu, faktor keberhasilan sehingga benar-benar bahwa islam menjadi rahmatan lil 'Alamiin. Itsar telah berhasil membangun tanzhim al-hayyah (stelsel kehidupan), Ia meletakan pondasi (ta'sis) lalu menguatkannya. Sebuah roman ideal untuk sebuah hubungan. Itsar merupakan contoh kualitas terbaik bagi sebuah ukhuwah Islamiyyah, sebagaimana dikcontohkan oleh Abu Bakar ra, yang telah menginfakan seluruh harta kekayaannya untuk berjihad dan keperluan kaum muslimin pada saat itu, hanya meninggalkan Allah dan RasulNya untuk keluarganya. Indah memang!! Itsar adalah natijah dari keimanan mendalam, ia adalah tsamrah (buah) yang manis lagi melegakan, sedikitpun tidak akan meninggalkan ruang-ruang luka dan penyesalan."falaa khaufun 'alaihim walaahum yahzanuun" (Sekali-kali mereka tidak akan ditempa ketakutan dan kegelisahan). Pribadi Itsar (mu'tsir) adalah para pendamba syurga, mereka hanya mengharap Allah dan Rasulnya sebagai balasan dari amal perbuatannya.  Ibnu Umar ra. Menceritakan, “Seorang sahabat telah menerima hadiah berupa kepala kambing. Tetapi Dia merasa tidak berhak menerima pemberian itu karena tetangga sebelahnya lebih memerlukan, karena tetangganya itu mempunyai keluarga yang banyak. Lalu Dia pun memberikan kepala kambing itu kepada tetangganya tersebut.Ketika tetangganya menerima pemberian itu, maka ia pun teringat kepada tetangganya yang lebih memerlukan lagi. Begitulah seterusnya sehingga diketahui kepala kambing itu telah berpindah tangan  tidak kurang dari tujuh rumah sampai akhirnya kembali ketangan syahabat yang pertama kali menerimanya"...

Para Mu'tsir ini adalah orang-orang merdeka yang mampu membebaskan dirinya dari penjajahan syahwat kebendaan dan kerasukan dirinya. mereka bebas dari sifat-sifat ananiyyah (mementingkan diri sendiri), mereka benar-benar mewarisi sifat-sifat makhluk mulia, yang telah merobohkan dinding-dinding keegoismean dirinya, meluluhlantahkan tembok-tembok keangkuhan dirinya, dan memenjarakan hawa nafsunya.. Para Mu'tsir ini lagi-lagi, tidak banyak dikenal di bumi, sebab sifat-sifat mereka adalah sifat-sifat langit.. Para Mu'tsir ini menegakan Itsar sebagai pangkal dari ukhuwah, mereka adalah orang-orang yang mampu mereguk minuman berkah dari amal dan persaudaraannya, mereka itulah orang-orang yang telah dijanjikan Allah dengan harumnya surga.. Para Mu'tsir ini adalah para Nabi as, para sahabat dan pengikutnya, para ulama shaleh, kita (amiin), dan harapan ini hendaklah meluas, hingga kepada bangsa dan negara kita, berharap mereka adalah orang-orang yang mau mendahulukan kepentingan orang-orang lapar dan dahaga, melindungi orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal, melindungi rakyat yang tidak mampu memiliki baju dari sengatnya mentari, dan sebagainya... Penulis berharap (dan sedang banyak belajar) untuk lebih mendahulukan saudaranya dibanding dirinya sendiri, mendahulukan kepentingan dakwah di banding urusannya yang lain, mendahulukan menyentuh hati dibandingkan memenangkan debat dengan hujjah-hujjah lemah, dan sebagainya... Mari Beramal!!!!

Sabtu, 22 Januari 2011

Sang Ibu

Senyumnya menawan, disela-sela kening yang sudah mengerut di makan usia, Ia masih sanggup membuat dunia ini menjadi sandaran anak-anaknya... Begitulah Sang Ibu, bak permata mulia yang telah mengajarkan tentang arti kehidupan.. Ia tetap sanggup memberi ketulusan cinta dan mengajarkan kepada manusia begitu indahnya pengorbanan mereka.. Ibu yang bermahkotakan keistimewaan penghormatan manusia kepadanya hingga tiga kali banyaknya, lebih banyak daripada anjuran untuk berbuat baik kepada ayah kita, melalui isyarat Nabi SAW: “Diriwayatkan seorang telah bertemu Rasul Allah Muhammad SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak mendapatkan layanan istimewa dariku ?”. Rasulullah menjawab, “Ibumu”. Kemudian ???, Rasulullah menjawab, “Ibumu..” Kemudian ???, Rasulullah menjawab, “Ibumu..”. Kemudian Rasulullah menjawab, “Baru Kemudian Ayahmu dan setelah itu saudara-saudara terdekatmu”.... Ia lah insan mulia yang telah menyerahkan sebagian nyawanya dalam masa-masa mengandung kita, Ia lah yang telah menggadai sepenuh raga dan nyawanya saat-saat melahirkan kita, Ia lah yang mau dan mendaftarkan hampir seluruh waktu luang dan sibuknya dicurahkan untuk mengurusi kita sewaktu kecil hingga dewasa, dan seterusnya dan seterusnya, hingga kita tidak sadar, betapa banyaknya kita merampas waktu dan pengorbanan mereka, memendekkan usia mereka, menyita seluruh nafas dan perhatian mereka, dan sebagainya...

Penulis masih bertanya-tanya, pada saat tulisan ini ditulis apakah Sang Ibu yang ia tuliskan kebaikan-kebaikannya itu masihkah ada? ataukah bersamaan dengan tulisan ini Sang Ibu telah menghembuskan nafasnya yang terakhir? atau bisa saja kelak sang pembaca pun mendapati hal yang sama, saat ia membaca tulisan sederhana ini, Sang Ibu yang dipuja-puja dan dihormatinya telah meninggalakan dunia yang fana dan telah kembali kepada sang maha pencipta?? Ataukah sang penulis sendiri yang mendahului Ibu dan berjumpa dengan kematian sebelum sempat tulisan ini dia selesaikan? atau malah sang pembaca sendiri yang mendahului Ibunya dan meninggal disaat kebaikan-kebaikan Ibunya masih diabaikan dan lalainya berbakti kepada mereka? dan Seterusnya... Karena memang kematian telah ditentukan waktunya, tidak dapat ditunda atau dipercepat, kematian datangnya tiba-tiba dan tidak terduga, ia memaksa dan pasti menghampri semua manusia, dan memang kematian akan mengejar kita meski kita menghindarinya... Bahwa memang hidup-mati manusia adalah Allah SWT yang mengatur, dan Ia lebih tahu tentang bagaimana hidup dan bagaimana mati, bagaimana keduanya dikombinasikan pada kehidupan manusia dan makhluk lainnya, dan seterusnya... Ini adalah renungan bersama, bisa jadi apa yang akan kita berikan kepada mereka (orangtua kita) hari ini, tidak sempat kita tunaikan kebaikan-kebaikan itu karena keterbatasan usia kita dan karena ketidakpastian datangannya maut pada diri kita... “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya”. (Qaaf: 19)

Sang Ibu, begitulah adanya, adalah seorang insan mulia, padanya ada teramat banyak keutamaan, jika tidak berlebihan ia memang manusia mulia yang mampu menahan beban dunia dan seisinya, Ia lah yang memiliki kekuatan untuk dapat melahirkan dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, Ia lah yang senantiasa mampu betahan dan pantang menyerah saat semua orang sudah putus asa, Ia-lah yang senantiasa mampu melalui masa-masa sulit dalam kehidupannya dan menjadi pelindung bagi kehidupan anak-anaknya, barangkali ia pula lah yang memiliki air mata untuk mencurahkan perasaannya dan kesulitan hidupnya... Kasih sayangnya tidak terbatas, hatinya senantiasa luas dan lapang, pikirannya tenang, sikap dan keyakinannya adalah perpaduan antara ikhtiar yang matang dan tawakal yang kuat kepada Tuhannya, kesulitannya telah melampaui kemudahannya dalam mengurusi kita selama ini sekalipun dan sedikitpun ia tidak pernah berharap balas dari anak-anaknya... Kasih ibu itu seperti berputar dan senatiasa meluas, menyentuh setiap orang yang ditemuinya... Melingkupinya seperti kabut pagi, menghangatkannya seperti mentari siang, dan menyelimutinya seperti bintang malam.. Kasih Ibu teramat banyak, seperti gemintang di malam kelam, yang cahayanya mampu menembus celah-celah atap rumah kita, menjadi penerang di kegelapan malam...

Sadar ataupun tidak, peran kita di mata Sang Ibu kita hanyalah mengeluh dan mengeluh... Namun perasaan hati dan kekuatan perasaan Sang Ibu teramat kokoh, senantiasa memaklumi setiap helai kesalahan kita, padahal daun-daun kesalahan kita telah menghalangi jatuhnya sinar mentari ke hadapan mereka...  Maka, ada beberapa orang dengan cintanya yang seadanya itu, menerjemahkan IBU dalam tiga kata istimewa, InsanBerbudi, dan Unggul... Begitulah Sang Ibu, Insan berbudi nan unggul,, tiada kata yang cukup untuk melukiskan kebaikannya, selain dengan ucapan syukur dan berterimakasih kepadanya... “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (Al Isro’: 23)

Alkisah di Jepang, sebagaimana kita tahu kebiasaan mereka membuang ibu yang sudah lanjut ke hutan, menuturkan, ada seorang anak laki-laki yang membawa orang tuanya (seorang wanita tua) ke hutan untuk dibuang. Ibu ini sudah sangat tua, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si anak laki-laki ini menggendong ibu ini sampai ke tengah hutan. Selama dalam perjalanan, si ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Setelah sampai di tengah hutan, si anak menurunkan ibu ini.
“Bu, kita! sudah sampai”,kata si anak. Ada perasaan sedih di hati si anak. Entah kenapa dia tega melakukannya. Si ibu , dengan tatapan penuh kasih berkata:”Nak, Ibu sangat mengasihi dan mencintaimu.. Sejak kamu kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang ibu miliki dengan tulus. Dan sampai detik ini pun kasih sayang dan cinta itu tidak berkurang... Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di jalan. Makanya ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon, agar bisa kamu jadikan petunjuk jalan”. Demi mendengar kata-kata ibunya tadi, hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-erat sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang, dan ,merawatnya dengan baik sampai ibunya meninggal dunia... Sebuah hadits menuturkan: “Sungguh hina, dan sungguh hina, lalu sungguh hina orang yang mendapatkan kedua orang tuanya ketika sudah tua, salah satu atau keduanya, lalu orang itu tidak dapat masuk surga.” (HR. Muslim)

Sang Ibu, adalah cermin hikmah bagi kehidupan kita... Maka, membangun relasi yang kuat dengan Sang Ibu dan ayah kita, pada hakikatnya adalah membangun relasi dengan Allah SWT.. Teramat agung jasa baik mereka karena Sang Ibu menjadi perantara keberadaan kita di dunia, mereka menjadi asbab kehidupan kita hari ini, pada rahimnya lah kita dahulu dibesarkan dan disapihlah kita hingga dua tahun lamanya, atau bahkan lebih, dan seterusnya, hingga Allah pun menyandingkan keridhaanNya sebelum keridhaan orangtua kita.. Rasulullah bersabda:"Ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua"... Maka, kewajiban mereka (wajibatul walid) adalah dengan mempersiapkan anak-anaknya agar berbakti kepada Tuhannya dan kepada mereka.. Rasulullah SAW mengatakan: “Allah merahmati orang tua yang menolong anaknya untuk bisa berbakti kepadanya”.. Dan Allahpun memuliakan mereka yang menghormati orangtua.. “Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (An Nisa: 36)... Bahwa, berbuat baik kepada Ibu dan ayah kita adalah keutamaan yang tiada terkira kecintaan Allah kepadanya dan kebermanfaatannya.. Ibnu Mas’ud berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rosululloh, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Alloh?’ Beliau menjawab, ‘mendirikan sholat pada waktunya,’ Aku bertanya kembali, ‘Kemudian apa?’ Jawab Beliau, ‘berbakti kepada orang tua,’ lanjut Beliau. Aku bertanya lagi, ‘Kemudian?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Allah.’” (HR. Al Bukhori)... Disamping itu, ancaman dan celaan bagi mereka yang durhaka kepada orangtuanya (uququl walidain) pun sangat jelas ancaman dan celaannya pula.. “Maukah kalian aku beritahukan dosa yang paling besar ?” para sahabat menjawab, “Tentu.” Nabi bersabda, “(Yaitu) berbuat syirik dan duraka kepada kedua orang tua.” (HR. Al Bukhori).. bahkan, membuat mereka menangis/bersedih pun, adalah termasuk kesalahan dan kedurhakaan yang besar pula.. “Tangisan kedua orang tua termasuk kedurhakaan yang besar.” (HR. Bukhari, Adabul Mufrod hlm 31. Lihat Silsilah Al Ahaadits Ash Shohihah karya Al Imam Al Albani, 2.898)..

Berbuat baiklah (birrul walidain) kepada orangtua kita, terlebih kepada ibu kita.. Berbuat baik kepada mereka memiliki keutamaan-keutamaan yang tiada terkira dan pahala yang teramat agung... Beberapa ketentuan dari perbuatan baik kita (birrul walidain) berkisar antara lain: Ahabul ‘amali illalahi ta’ala (amal yang paling dicintai disisi Allah SWT), Laisajaza an min waladin ila walidih (Bakti kepada orang tua bukanlah merupakan suatu balas budi), Al ummu hiya ahaqu suhbah (perioritas untuk mendapat perlakuan yang lebih dekat dari kedua orang tua ialah ibu), Makruman bi ibadatillah (Berbakti kepada orang tua dibarengi dengan ibadah kepada Allah SWT)... Maka, ada empat unsur yang mesti ada didalamnya antara lain: Al muhaqodhotu alal kaul  (menjaga dan memelihara ucapan dihadapan orangtua terlebih bila mereka sudah lanjut usia)Khofdul Jannah (tidak boleh membusungkan dada terhadap orang tua melainkan merendahkan diri kepada keduanya dengan penuh kasih sayang dan mendoakan mereka)Attoah Almushahabah(menjaga ketaatan seorang anak, kedekatan, serta keakraban  mushahabah terhadap orang tuanya),  dan yang terakhir adalah Sabatulbirri ba’da wafatihima (Tetap berkewajiban berbakti kepada orang tua setelah kedua meninggal dunia)... Beberapa bentuk berbuat baik orangtua kita yang masih hidup antara lain: Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik, berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut, Tawadlu (rendah diri), memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua dan Mendo’akan mereka... Adapun, apabila oangtua kita telah meninggal dunia, maka bentuk berbuat baik kita adalah: Asshalatu ‘alaihima (berdo’a untuk keduanya), Wal isthigfaru lahuma (memohonkan ampun keduanya), Wainfadzu ahdihima (melaksanakan janji-janjinya), Waiqramu shadiqihima (memuliakan teman-teman keduanya), Wasilaturrahimmisilati latu shallu illa bihima (silaturrahmi kepada orang-orang yang tidak ada hubungan silaturahmi kecuali melalui wasilah kedua orang tua)”... “Apakah ada suatu kebaikan yang harus aku perbuat kepada kedua orang tuaku sesudah wafat keduanya ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah dia pernah silaturahmi kepadanya dan memuliakan teman-temannya”[Hadits ini dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah dan Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitabnya Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin (Bahajtun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)...

Kita layaknya sebuah  tunas hijau menghisap setiap nutrisi dalam benih hingga hancur luluh, seperti anak burung yang menghisap setiap nutrisi yang ada dalam telur hingga tinggal cangkangnya, kita telah menghabiskan seluruh madu hingga kering kerontang! Telah memetik hampir seluruh usianya yang sedang berkembang itu!  Begitulah kita kepada orangtua kita, terlebih Sang Ibu kita... Maka kita pun mesti berbicara tentang taklif (beban balasan), kewajiban, dan adab kepada mereka, mengingat begitu besarnya arti keberadaan Sang Ibu terhadap kita.. Dan memang sebetulnya, sebesar apapun upaya kita menunaikan hak-hak mereka sedikitpun tidak akan terbalas jasa Ibu kita... Al Hafizh Abu Bakar Al Bazzar meriwayatkan dengan sanadnya dari Buraidah dari ayahnya: “Seorang laki-laki sedang thawaf sambil menggendong ibunya. Ia membawa ibunya thawaf. Lalu ia bertanya kepada Nabi SAW, “Apakah aku telah menunaikan haknya?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, meskipun untuk satu tarikan nafas kesakitan saat melahirkan.”... Bagaimana seorang Uwais Al-Qarni Al-Yamani seorang  sahabat Nabi SAW yang sangat berbakti kepada Ibunya diangkat dan dimuliakan dihadapan Allah karena perbuatannya... “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada Ali Bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”...

Maka, tatkala Nabi Sulaiman memerintahkan jin Ifrit untuk mencari mutiara di samudera, Jin Ifrit dengan tidak sengaja menemukan sebuah kubah dari permata putih yang tanpa lubang, kubah itu diangkatnya ke atas samudera dan ditunjukkannya kepada Nabi Sulaiman. Melihat kubah tanpa lubang penuh permata dari dasar laut itu Nabi Sulaiman menjadi takjub, “Kubah apakah gerangan ini?” pikirnya. Dengan memohon pertolongan Allah, Nabi Sulaiman membuka tutup kubah. Betapa terkejutnya beliau begitu melihat seorang pemuda tinggal di dalamnya. “Siapakah engkau ini? Kelompok jin atau manusia?” tanya Nabi Sulaiman keheranan.”Aku adalah manusia”, jawab pemuda itu perlahan.”Bagaimana engkau bisa mendapatkan karomah ini?” tanya Nabi Sulaiman lagi. Kemudian pemuda itu menceritakan riwayatnya sampai kemudian memperolehi karomah dari Allah tinggal di dalam kubah dan berada di dasar lautan. Diceritakan, ibunya dulu sudah tua dan tidak berdaya sehingga dialah yang memapah dan menggendongnya ke mana pun pergi. Si anak selalu berbakti kepada orang tuanya, dan ibunya selalu mendoakan anaknya. Salah satu doanya itu, ibunya selalu mendoakan anaknya diberi rezeki dan perasaan puas diri. Semoga anaknya ditempatkan di suatu tempat yang tidak di dunia dan tidak pula di langit.. “Setelah ibuku wafat aku berkeliling di atas pantai. Dalam perjalanan aku melihat sebuah terbuat dari permata. Aku mendekatinya dan terbukalah pintu kubah itu sehingga aku masuk ke dalamnya.” Tutur pemuda itu kepada Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman yang terkenal bisa berjalan di antara bumi dan langit itu menjadi kagum terhadap pemuda itu. “Bagaimana engkau bisa hidup di dalam kubah di dasar lautan itu?”tanya Nabi Sulaiman ingin mengetahui lebih lanjut.”Di dalam kubah itu sendiri, aku tidak tahu di mana berada. Di langitkah atau di udara, tetapi Allah tetap memberi rezeki kepadaku ketika aku tinggal di dalam kubah.” “Bagaimana Allah memberi makan kepadamu?” Tanya Nabi Sulaiman a.s . “Jika aku merasa lapar, Allah menciptakan pohon di dalam kubah, dan buahnya yang aku makan. Jika aku merasa haus maka keluarlah air yang teramat bersih, lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu.” Jawab pemuda itu. “Bagaimana engkau mengetahui perbedaan siang dan malam?” tanya nabi Sulaiman a.s yang merasa semakin takjub “Bila telah terbit fajar, maka kubah itu menjadi putih, dari situ aku mengetahui kalau hari itu sudah siang. Bila matahari terbenam kubah akan menjadi gelap dan aku mengetahui hari sudah malam.” Tuturnya.. Selesai menceritakan kisahnya, pemuda itu lalu berdoa kepada Allah, maka pintu kubah itu tertutup kembali, dan pemuda itu tetap tinggal di dalamnya. Itulah karomah bagi seorang pemuda yang berbakti kepada kedua orang tuanya..

Begitulah kurang lebih tulisan sederhana ini, bahwa “Surga itu di bawah telapak kaki Ibu”, berbuat baik dan berbakti kepada Sang Ibu adalah sarana untuk mengantar seseorang masuk ke surga... “Rugi, rugi, dan rugi (menyesal)”. Ditanyakan: ”Siapakah dia ya Rasulullah?”, Beliau menjawab: “Dialah orang yang menjumpai kedua orang tuanya atau salah satunya dalam keadaan sudah berusia lanjut dan renta, namun dia tidak tidak berbakti. Maka dia tidak masuk surga”.(HR. Muslim)... Semoga kita menjadi anak-anaknya yang bisa membahagiakan Sang Ibu kita, setidaknya membuat mereka tersenyum dengan adanya kita, biarpun kita sangat tidak layak untuk mendapatkan kebaikan yang utama karenanya, namun kita bergegas untuk menyambut kebaikan dengan berbuat baik kepadanya... Semoga, Allah merahmatinya, sebagaimana Ia merahamatiku, semasa kecil.....

Duhai Ibu...
Permata indah yang berkilauan...
Engkau adalah sebaik-baik Insan pilihan....
Di kakimu surga dijejakkan..
pada Keridhaanmu Tuhan mendengarkan...

Engkau adalah sebaik-baik Insan pilihan...
Engkau cahaya yang menerangi setiap belaian nafas dan kehidupan anakmu...
dari dulu hingga kini, dari buaian hingga hari ini....
Semoga Engkau menjadi Insan Pilihan....
Engkaulah permataku, engkaulah kemilau cahayaNYA.....

Sabtu, 15 Januari 2011

Himmah

Manusia hidup dalam lorong waktu yang terbatas, manusia memiliki labirin usia dan umur yang terbatas, manusia memiliki masa optimum (sa'at al-Quwwah) dalam bekerja yang terbatas.. Manusia dihimpit dengan sebuah penghalang yang bernama keterbatasan, dan sengaja Allah memberikan keterbatasan-keterbatasan ini agar manusia mampu mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya untuk berusaha dan berjalan pada sebuah rel kehidupan, dan memang masa hidup manusia hari ini hanyalah masa safari (rihlah) sementara saja...

Layak bagi manusia untuk bermimpi dan bercita-cita (Himmah), mimpi dan cita-cita merupakan merupakan sebuah nafas kehidupan manusia, bisa dipastikan manusia yang tidak memiliki kedua hal ini adalah mereka yang mati dini sebab segala potensi kemanusiaannya belum termaksimalkan secara optimal, mereka yang tidak memiliki kedua muwasofat (karakteristik) ini dipastikan bukanlah orang-orang yang akan berbahagia kelak... Orang yang memiliki mimpi dan cita-cita besar ini adalah orang yang layak memenangkan dari setiap pertarungannya di medan kehidupan.. Para pemenang ini memang tidak tumbuh begitu saja, melainkan melalui mekanisme seleksi kehidupan yang ketat dan melelahkan, mereka sengaja dibenturkan dengan sesosok partner manusia yang bernama Sang Waktu dan sang waktu lah yang lebih banyak menjadikan manusia besar (beruntung) atau menjadikan mereka kecil (merugi), atau diantara keduanya, dst... Demi massa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran...

Manusia dengan alur pertarungannya yang rumit dan melelahkan ini akan senatiasa bergulat di dalam sebuah arena kehidupan, sampai ada diantara mereka yang berhasil memenangkan pertarungannya itu dimana ditandai dengan kompensasi waktunya yang masih ada,  ataukah sang waktulah yang berkuasa dan mengakhiri masa safari (rihlah)manusia itu sendiri... Maka, dibutuhkan sebuah energi kreatif untuk mendongkrak resistensi kelemahan manusia terhadap sang waktu ini, diperlukan optimalisasi pikiran dan action (tindakan), dan yang terakhir barangkali adalah maksimalisasi usaha (Ikhtiar) sebagai sebuah medan jihad dalam kehidupan kita, hingga pilihannya adalah 'Is Kariiman Aumut Syahiidan" (hidup mulia atau mati sebagai seorang syuhada)...  Maka  besarnya nilai dari cita-cita (himmah) dan mimpi-mimpi besar seorang manusia ini adalah hanya Allah yang tahu.. Dalam sebuah hadits Qudsi dikatakan: '' Sesungguhnya Aku tidak memandang pada ucapan orang orang yg bijaksana,tetapi Aku hanya memandang kepada Himmah-nya{cita citanya}... Sangat tidak bisa diukur betapa beruntungnya manusia hidup dengan cita-cita besarnya dan meraih kemenangan dari setiap perjuangannya ini.. Ibnu Qayyim mengatakan: Kenikmatan tidak bisa didapatkan dengan kenikmatan pula,justru orang yg berani menentang badai dalam menghadapi rintangan,ia akan menikmati kegembiraan dan kenikmatan. Orang yg ingin meraih himmah,tidak akan patah arang,tidak takut gagal,tidak takut kesepian karena Allah selalu bersamanya.. kenapa aku harus putus asa...?

Manusia perlu mengetahui matriks lingkup kehidupannya, manusia perlu mengenal domains keberadaan dirinya di jengkalan tanah manapun mereka berada, manusia perlu memahami karakteristik sang waktu yang membesarkannya, manusia mesti mempersepsikan dirinya dengan alam sekitarnya dan menempatkan akalnya tepat pada sumbu optimalisasi dan daya guna tertinggi... Dalam kaitannya dengan hal ini maka layak manusia disebut sebagai sebuah objek pembelajaran, sebab pada diri manusia bisa digali sebongkah hikmah dan penyingkapan ayat-ayat kebesaran Allah swt, tentunya dengan memperhatikan manusia sebuah objek khusus (ilm al Khashas) atau sebuah gambaran umum (Ilm Ak kainat) dalam kaitannya dengan nilai-nilai mutlak Tuhannya... Hal ini sudah melahirkan  beragam ilmu Filsafat Manusia yang lebih kita kenal dengan Anthropologia Metaphysica dimana objek pembahasannya meliputi manusia secara fragment-fragmentnya antara lain: logika, estetika, etika, politik, dan metafisika...

Berangkat dari rumitnya sebuah matriks kehidupan manusia dan domain keberadaanya manusia ini, serta pemahaman yang medalam tentang karakteristik manusia, maka Himmah dan mimpi-mimpi besar manusia haruslah mampu melintasi dimensi keberdayaannya dan menjadikannya sebagai batas optimum kemampuan manusia... Keduanya harus mampu menjadi sebuah pemicu munculnya resolusi-resolusi kehidupan, sebagai upaya tanggapan terhadap posisi keberadaan manusia, dan seterusnya, dan seterusnya... Maka dalam hal ini diperlukan beberapa hal seperti ini: mengakarkuatkan cita-cita dan mimpi manusia, lalu diikuti dengan sebuah resolusi untuk sebuah komitmen perbaikan, dan yang terakhir adalah mengikutinya dengan disiplin diri yang kuat... Sejatinya bahwa setiap lembaran cita-cita manusia akan dibenturkan dengan hambatan-hambatan yang tidak bisa dikatakan kecil, sejatinya mereka membutuhkan semacam langkah taktis dan praktis, manusia membutuhkan formula solusi yang lebih kita kenal sebagai manajemen "problem solving" ... beberapa langkah ini antaralain: Detailing tujuan kita disamping minta penguatan kepada Allah sw, Introducehambatan-hambatan berbagai hal yang sekiranya akan menghambat langkah pertama diatas, Tulislah Planning Apa yang bisa kita lakukan, Tulislah Jalan keluar (solution/solving) untuk mengatasi kesenjangan hambatan keadaan yang berkaitan dengan Waktu (jadwal dan tindakan), dan yang terakhir adalah memilih Solusi terbaik yang sesuai dan nyaman dalam membuat tindakan menuju cita dan kesuksesan...

Manusia secara nyata atau simbolik dituntut untuk bisa membangun pilar-pilar kehidupannya yang ideal, mereka dalam tahapan awalnya harus mampu membangkitkan suasana bathin dalam sebuah tungku pemanasan yang sama, lalu dilanjutkan dengan sebuah kontemplasi-kontemplasi unik sebagai sebuah daya kratifitas manusia, lalu dilanjutkan dengan proses mapping sebuah masalah yang dibarengi dengan trouble balancing, dan yang terakhir adalah adanya sebuahresolution terukur sebagai sebuah kematangan individual manusia itu sendiri... Maka, inilah yang membedakan daya kratifitas manusia dengan binatang, tetumbuhan, alam sekita manusia, sebuah mahakarya yang bisa dikatakan unik dan menarik, sebuah intrik yang tidak diketahui keluarbiasaannya kecuali dengan kita mengenal lebih dalam, lebih dalam lagi, mengenal manusia lebih dalam lagi... Kontemplasi yang dimaksud lebih kepada kesuksesan pribadi unggul dalam meniti tangga kehidupannya yang kasar itu.. kontemplasi ini lebih kita kenal adalah sebuah cita-cita (himmah) dan mimpi-mimpi manusia... Menurut Rancho, pemeran utama film 3 Idiots, dia mengatakan: "Jadilah seperti apa yang hati kita inginkan, maka kesuksesan pun akan mengikuti kita"...

Cita-cita (Himmah) ini tumbuh tidak serta merta, melainkan melalui pengamatan dan kemudian tumbuh di dalam diri seseorang, lebih banyak dimotori berdasarkan pandangan ideologi seseorang, maka jika overview  cita-citanya baik, maka akan disambut gayung aplikasinya di lapangan, sebagai sebuah stimulant dari sebuah proyek manusia, dan pun sebaliknya, jika overview manusia terhadap sesuatu adalah tidak baik/tidak boleh dilakukan, maka sedapat mungkin manusia akan menghindarinya... Hal ini lebih dititik beratkan kepada aspek baik-buruknya sebuah keinginan dan harapan manusia... Muhammad Hatta, tokoh Indonesia dari Sumatera Barat pernah berkata bahwa suatu cita-cita yang besar dan mulia biasanya dapat dicapai oleh sedikit orang yang giat bekerja, sedangkan orang banyak akan ikut di belakangnya. Dan memang sejarah punya gaya khas tersendiri dalam membimbing kontemplasi-kontemplasi manusia sehingga mengantarkan mereka menjadi generasi-generasi yang unggul.... pencapaian kontemplasi ini akan mengklasifikasikan manusia menjadi: orang sukses, orang berhasil, atau orang bahagia... sebuah klasifikasi manusia yang sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor usaha/ikhtiar manusia, disamping ada campur tangan Ilahiyah dengan kadar dan komposisi tertentu...  Saya akan menjelaskan tentang klasifikasi manusia diatas: Sukses adalah status pencapaian, sedangkan bahagia adalah salah satu obyek yang bisa dijadikan tujuan, dan berhasil lebih dititikberatkan kepada hasil pencapaian.. Rick Poster dalam bukunya "How we Choose to be Happy"  mendefinisikan: 
Bahagia sejati adalah suatu perasaan yang kuat dan langgeng berupa rasa tenang, puas, mampu, dan kendali penuh atas diri sendiri. Bahagia juga berarti mengetahui kondisi dan keinginan diri, lebih merespon kebutuhan yang nyata daripada tuntutan orang lain, sadar merasakan hidup saat ini, dan mampu menikmati buah kehidupan...

Menarik untuk mengkaji manusia dalam kaitannya dengan kontemplasi-kontemplasi tadi, dalam kaitannya dengan kesuksesan-kesuksesan yang mereka peroleh sebagai hasil dari overview dan ikhtiar manusia... Studi terhadap orang-orang yang sangat sukses menujukkan bahwa mereka juga memiliki ciri-ciri lain yang menonjol. Pertama, mereka mempunyai mimpi yang besar, tujuan yang jelas, dan teguh memegang mimpinya tersebut. Kedua, mereka tidak bekerja sendirian, mereka mampu memanfaatkan kekuatan yang ada di dalam dirinya maupun di sekeliling dirinya. Jadi, mereka mengembangkan dua kecerdasan lainnya sebagai pelengkap dari IQ-EQ-SQ. Mereka mengembangkan kecerdasan yang disebut Kecerdasan Aspirasi (Aspiration Intelligence), dan Kecerdasan Kekuatan (Power Intelligence).. Ternyata para orang sukses mengembangkan lima kecerdasan dengan seimbang! Kelima kecerdasan ini kita sebut Kecerdasan SEPIA (Spiritual - Emotional - Power - Intellectual - Aspiration).. Dimana kelima hal penting ini menggambarkan dua hal paradigma penting dalam diri manusia, yaitu karakter (Character) dan kemampuan / kompetensi (Competence).. 
"Jika anda menginginkan perubahan kecil, garaplah perilaku Anda. Jika anda menginginkan perubahan besar dan mendasar, garaplah paradigma Anda." 
(Stephen R Covey)...

Seorang psikolog keluarga Fabiola Setiawan Mpsi mengatakan bahwa pada masa early childhood (sekitar umur 3-6 tahun)  merupakan masa mulai berkembang ideal self, yakni sebuah masa dimana kontemplasi/cita-cita ini dibentuk pada manusia berupa keinginan untuk menjadi seperti siapa nantinya, inilah yang menurut penulis disebut dengan masa ta'sis kontemplasi (peletakan pondasi cita-cita manusia), masa-masa ini adalah masa-masa hadiah dari Allah swt kepada manusia untuk menemukan garis kehidupan mereka berdasarkan element kemanusiaan mereka sendiri...  sebuah kanvas besar yang terbentang dalam kehidupan manusia menuntut kearifan lokal manusia untuk mewarnainya berdasarkan proporsionlitas dan aspek kemanusiaan manusia...

Dalam sebuah buku berjudul "Meraih Cita-Cita Dengan Semangat Membara" Karya Muhammad Ahmad Ismail Al-Muqaddam menuturkan seperti yang diabadikan dalam sejarah, kurun demi kurun kaum Muslimin dulu kala telah melakukan lompatan yang mempesona dalam mewarnai wajah bumi ini dengan kekuatan, keberanian, kearifan, ilmu pengetahuan, cahaya dan petunjuk.. Maka dalam kurun waktu inilah saya mengatakan sebuah kontemplasi seorang manusia (muslim) sedang dibenturkan dengan jamannya, sedang diseleksi oleh seleksi Rabbaniyah dan Ilahiyyah, agar nantinya dihasilkan pucuk-pucuk keberhasilan yang tiada tara, lompatan-lompatan keberhasilan yang mengagumkan sepanjang kehidupan manusia... Ada lagi, sebuah ungkapan: 
"Sebenarnya bukan gagal meraih cita-cita, melainkan kita gagal merumuskan cita-cita itu sendiri" ... Ternyata sedikit banyak faktor kemenangan manusia dalam kehidupannya adalah dipengaruhi oleh kapasitas (kuantitas dan kualitas) manusia dalam menerjemahkan konsep ikhtiar dalam kehidupannya, disamping tetap menjaga neraca keseimbangan dengan faktor utama penentu keberhasilan, yakni Allah swt... Ada beberapa tahapan agar manusia mampu meningkatkan sisi-sisi kehausan dirinya terhadap kehidupannya, yakni: Cari Motivasi yang Tinggi, Memperbesar faktor Dukungan, Tidak Takut untuk berekspolari dalam menggali sumber daya dalam kehidupannya dan usaha mendekatkan dirinya pada kontemplasi berjangka, Meruncingkan Tujuan yang dengan kapasitas fokus yang memadai, dan yang terakhir adalah upaya memanusiakan pada Diri Sendiri bahwa diri ini memiliki peluang untuk berhasil yang sama besarnya dengan peluang untuk gagal (proporsional overview).....

Haristone saja punya slogan “If you can dream it, you can do it”.. Carol Hanley pernah menulis dalam sebuah bukunya“Tentukan apa yang menjadi impianmu dan kau pasti bisa meraihnya”.. Film remaja Amerika yang berjudul “Cinderella Story” juga mencantumkan kalimat “Jangan sampai ketakutan membuatmu menyerah mewujudkan mimpi” , atau sebuah fil karya anak bangsa yang sangat inspiratif "Liem Swie King"  sebagai sebuah gambarang semangat seorang anak membela nusa bangsanya dalam perbulutangkisan, dan sebagainya... Sangat banyak kisah inspiratif yang bisa kita jadikan rujukan untuk penguatan himmah kita, bahkan setiap fragment waktu menawarkan solusi-solusi kepada kita agar kita lebih dewasa dan berhasil menempatkan sumbu kehidupan dalam proporsi yang ideal.. sebuah lahan garapan manusia adalah kehidupannya, dan seperangkat tools mereka tiada lain adalah upaya manusia itu sendiri, dan akan berangkat dari sebuah proses mapping manusia terhadap usahanya sendiri... Tony Buzan membantu kita dalam rangka memetakan pikiran kita pada sebuah map ideal yang bernama mind mapping dan ini baru membahas tentang rekonstruksi pemikiran saja, belum kepada mendayagunakan potensi manusia lainnya, seperti jasadnya, ruhnya, daya nalarnya, dan seterusnya, dan seterusnya... dan dari sebuah mapping inilah akan didapatkan sebuah konstruksi kehidupan yang kuat, yang siap dibenturkan dengan setiap problematika kehidupan manusia itu sendiri...


Manusia adalah sebuah arah mata angin, sedangkan Himmah adalah sebuah kompas kehidupannya... Manusia adalah sebuah laboratorium kehidupan yang menarik dan sangat esensi dalam penyikapan-penyikapan kehidupan lainnya... Memang, secara bahasa himmah biasa diartikan cita-cita biasa, namun ia memiliki intrik dan esensi yang lebih dalam dari sekedar harapan/kebutuhan manusia... Himmah juga mempunyai keterkaitan dengan kata hamm yang bentuk jamak (plural)-nya adalah humum yang secara mudah biasa diterjemahkan dengan kesedihan.. Ia memang demikian, artinya seseorang yang mempunyai himmah sesuatu, ia akan terus merasa sedih dan tidak akan (bahkan tidak mau) mengecap sedikit kebahagiaan manakala apa yang menjadihimmah-nya itu belum kesampaian..

Al Qur’an menceritakan bahwa burung Hud-Hud telah melakukan perjalanan yang sangat jauh, dari Palestina (negeri nabi Sulaiman‘alaihis-salam) ke negeri Saba’  di Yaman (negerinya ratu Bilqis). Ia telah lalui hamparan padang pasir yang sangat luas, yang tidak mungkin berani melampauinya kecuali ash-habul himmah al ‘aaliyyah (pemilih himmah tinggi). Jangankan seekor burung Hud-Hud, manusia saja pasti tidak akan mampu dan akan berpikir berkali kali untuk mengarunginya. Bukankah yang akan dilewatinya adalah padang pasir yang sangat panas, sedikit air, sedikit makanan, dan kekerasan-kekerasan alam lainnya. Namun dengan semangat membaja, sang burung kecil itu melakukan perjalanan sejauh itu dengan satu tujuan: memberi informasi kepada nabi Sulaiman as. tentang negeri-negeri lain yang bisa jadi ia akan menjadi penyebab berimannya penduduk negeri itu, yakni penduduk negeri Saba’... 

Struktur manusia pada masyarakat kita adalah struktur manusia yang ideal, kompleks dan maju,.. Maka konsepsi Himmahtidak lagi menjadi barang mahal diantara mereka, bisa jadi memang sudah memasyarakat, atau bisa pula sebaliknya... Dan, setiap komponen masyarakat hari ini haruslah terlibat dalam upaya-upaya besar untuk penguatan sya'biyah dalam setiap tahapan dan starategisasinya... Sangat dibutuhkan adanya orang-orang yang memiliki himmah ‘aaliyyah (himmah yang sangat tinggi), dan mengurangi adanya  Himmatu ad-Daniyah (Himmah yang sangat rendah)... Maka, dari struktur manusia pada setiap lapisan manusia diatas, bisa kita klasifikasikan beberapa himmah antara lain: ‘Adzhimul Himmah  yaitu orang yang memiliki cita-cita yang sangat besar, Shoghiru Himmah  yaitu Orang yang memiliki kemampuan dan kesempatan tetapi lebih memilih hal-hal kecil, Al bashiiru binafsihi yaitu orang yang tau diri, yang tidak memiliki kapasitas tinggi dan tidak menempatkan dirinya untuk melakukan hal yang besar, dan sebagainya...

Akan aku jelajahi seluruh bumi
untuk mendapatkan keinginan-keinganku
atau aku akan mati sebagai orang asing
jika jiwaku lenyap, Allah akan menerimanya
dan jika jiwaku selamat aku akan segera pulang

Inilah ladangku duhai teman
aku akan tetap menanam benihku,
karena buahnya akan diberikan oleh Tuhanku
Biarlah kita menanam sebiji Himmah
Lalu kita akan berlari menyongsong waktu
Dan... kita akan memanen himmah kita, kelak, di syurga...

Rabu, 05 Januari 2011

Pesona Sang Waktu

Waktu adalah sumber daya, ia adalah sosok unik yang dapat membesarkan sebagian manusia, ia juga adalah mampu mengkerdilkan sebagian manusia lainnya, lalu kedua jenis manusia ini terlukis dalam kanvas kehidupan manusia... waktu, begitulah namanya, barangkali usianya sudah lebih tua dibanding usia semesta raya, sebab, bisa jadi Keberadaan Allah sendiri adalah sebuah penegasan keberadaan waktu, dan memang Allah tidak pernah mendefinisikan Wujud-Nya selain dengan definisi waktu... Bisa jadi, mereka yang tidak terikat dengan waktu, adalah mereka yang akan binasa dan tidak kekal keberadaannya, sedangkan Allah sendiri maha kekal, Dia lah yang mengendalikan waktu dan waktulah yang mengikat dirinya pada pencipta-Nya ini...

Waktu, barangkali dialah sosok yang tidak akan pernah tunduk kepada ego manusia, sebesar apapun manusia di dunia, maka waktu adalah lebih besar dari manusia itu sendiri... Ia adalah wilayah kehidupan manusia dimana eksistensi manusia berada tepat dibawah kaki-kakinya yang kekar... Kaki-kaki waktu ini sebegitu kekarnya, sampai Ia (apabila sudah tiba saatnya) akan mampu menumbangkan segala apapun di dunia, meruntuhkan tiang-tiang kokoh di langit, meluluhlantahkan segala bangunan fana, mengubah konteks balance alam semesta dan menjadikannya tunduk kepada Sang Maha Kuasa, Allah swt... barangkali mereka jauh-jauh hari sudah pada ketaatan pada titahNya, Lalu titah Allah yang lainnya berlaku pada mereka, lalu mereka serentak mengikuti titah Allah tersebut, dan menggiring manusia, beserta semesta raya, menuju kehidupan baru lainnya, atau menuju kematian lainnya, lalu dipergilirkan kehidupan dan kematian ini sehingga sampailah manusia dan semesta yang baru pada sebuah kehidupan yang kekal, kehidupan Akhirat yang tiada ujung dan tiada diketahui tepian kehidupannya... begitulah sang waktu, dan saya tidak mengetahui kapan dan dimana dia (waktu) akan mengalami kematian dan kehidupan itu, sebab, Hanya Allahlah yang tahu mengenai itu, hanya Allah lah yang mengetahui rahasia di balik semua ini...

Waktu, sungguh saya mengalami kesulitan untuk mendefinisikannya, sebab saya, dengan usia yang tidak muda inii, masih belum ramah denganya, belum berkenalan lebih jauh tentang kehidupan dia, aku, dan mereka... Mengendalikan waktu sebenarnya adalah mengendalikan diri sendiri, jadi, sebetulnya kita tidak pernah bisa mengendalikan sang waktu, ia adalah sosok kekar dan arogant, namun tunduk dan taat pada titah Allah, Dzat penggenggam waktu dan semesta raya... Maka, manusia sebagai kompleksitas kelemahan dan ketidaktahuan, memang hanya sekedar tahu saja, selebihnya adalah misteri-misteri unik dan terencana dan hanya Allah yang  mengetahui segala misteri ini, lengkap dengan segala kompleksitasnya, atau barangkali dihadapan Allah memang sesuatu yang sederhana (dan saya meyakini demikian, sebab Allah lah yang menciptakannya, atau memang ia adalah sebuah kompleksitas, namun Allah mengetahui sampai sejauh mana kedalamannya itu dan lagi-lagi menurut saya ini adalah sesuatu yang sangat sederhana dan mudah bagi Allah), wallahu 'alam...

Lihat saja, apa yang manusia fahami sebagai langkah mengefektifikan waktu, barangkali berkisar antara dua pengertian,pertama mengurangi pemakaian kadar waktu, lalu yang kedua adalah memaksimalkan waktu yang mereka punya... sungguh usaha seperti ini, tidak menyentuh waktu sama sekali, ia hanya menyentuh sisi manusia sebagai upaya/proses pembiasaan mereka terhadap kehidupannya, selebihnya adalah ketidak tahuan dan sebuah ruangan nisbi  yang menganga antara manusia, waktu, dan Allah sendiri, sebagai Dzat pencipta waktu, pencipta manusia, pencipta kehidupan manusia dan waktu... Lihat saja, apa yang manusia katakan sebagai kualitas manajamen waktu yang berpedoman kepada empat indikasi kehidupan manusia, antaralain: tetap merencanakan waktu, tetap mengorganisasikan/mengoptimalkan waktu, tetap menggerakkan waktu, dan tetap melakukan pengawasan terhadap waktu dan aktifitas,, lagi-lagi hanyalah menyentuh kepada aspek manusia sebagai aktiftias mereka, sebagai toolsmanusia, sama sekali tidak menceritakan bagaimana waktu itu tersentuh oleh manusia, sama sekali tidak menceritakan vairasi sentuhan manusia terhadap waktu secara definisi cerdas lengkap dengan segala kompleksitasnya, dan seterusnya, dan seterusnya....

Lalu, bagaimana dengan judul-judul dan ungkapan seperti ini: Manajemen waktuTeknik Menguasai waktucara memahami waktu secara jituPesona waktuEfektifitas dan Sinergitas waktuWaktu adalah PedangWaktu adalah EmasWaktu adalah tenagawaktu adalah harta berharga, dan seterusnya, dan seterusnya.... Lebih kurang saya mengatakan, kesemuaanya itu hanya menyentuh sisi manusia sebagai partner dari waktu, tidak sama sekali menyentuh sisi waktu sebagai sebuah objek bebas dan tidak tersentuh... maka, ketika saya membaca sebuah tulisan: "Ketika seseorang dapat mengatur satu jam dari waktunya, berarti ia seorang yang serius dan efektif"  lagi-lagi ia hanya membahasakan manusia seolah-olah mereka telah menaklukan waktu, padahal sedikitpun tidak sama sekali... Yang adalah, bahwa waktu memang teramat penting bagi manusia, sedetik waktu yang telah berlalu, tidak akan pernah kembali kepada manusia, sebab ia (waktu yang sedetik itu) telah kembali kepada Sang PenciptaNya, bisa jadi ia kembali dengan kehidupannya yang baru, atau dia mati dan bersimpuh kepada Penciptanya, atau dia memang kembali mendaur ulang dirinya (atas izin Allah) menjadi waktu lagi, atau memang waktu tidak pernah mati/tidak pernah tua, ia selalu meremaja sendiri disetiap perputarannya dan lagi-lagi ini adalah atas kuasa dan izin dari Allah swt... saya hampir tidak bisa mendefinisikan waktu, sebab Ia ada dan melekat pada eksistensi dirinya, dan hanya Allah yang berhak mendefinisikannya dan menjelaskannya kepada manusia, sebagai objek tidak mengetahui sama sekali terhadap waktu...

Memang beginilah pesona waktu, ia senantiasa bergerak hampir sedikitpun tidak sesuai dengan ego manusia,, Ia barangkali adalah sosok istimewa dihadapan Allah, sebab Allah sering bersumpah atas nama sang waktu, Wal Ashri (demi masa/waktu)... Bahwa kesadaran kita untuk menggunakan waktu (menggunakan efektifitas kehidupan) adalah sebuah keniscayaan dan kemestian yang tidak bisa ditunda-tunda, sebab jika kita menundanya, maka mautlah yang akan menunda kita nantinya... Maka, orang-orang yang memahami waktu sebagai tahun, sebenarnya adalah berbagai kompleksitas dari detik, menit, jam, siang, malam, bulan, tahun... Ia adalah rangkaian dari sebuah proses aksiomatis yang tidak bisa didefiniskan, yang tidak bisa diterjemahkan menjadi sebuah konsep ide dan gagasan manusia,,, sama sekali waktu tidak tersentuh oleh upaya manusia... Misalkan,bila kita mau berhitung, bahwa satu detik adalah 1 detik, bahwa satu menit adalah 60 detik, bahwa satu jam adalah 3600 detik, satu hari adalah 86.400 detik, satu minggu adalah 604.800 detik, satu bulan adalah 2.592.000 detik, satu tahun adalah 31.557.600 detik, satu dekade adalah 315.576.000 detik, satu abad adalah 3.155.760.000 detik, satu  milenium adalah 31.557.600.000 detik, dan seterusnya, dan seterusnya... dan inilah waktu yang kita fahami secara kalkulatif, waktu yang (barangkali) telah membesarkan semesta raya, manusia, dan seluruh makhluk lainnya, kecuali Allah semata... Apa yang kita dapat dari sebuah proses perhitungan kalkulatif tadi adalah dimaksudkan agar, manusia mampu merenungi kembali urgensitas dan kompleksitas waktu itu sendiri, menyadarkan manusia bahwa dari satu detik tadi, bahwa sebuah proses adalah sedang dibangun, bahwa kita sedang dalam proses mengenal waktu, yang tiada lain adalah mengenal sang pencipta waktu itu sendiri, Allah swt...

Saya sering mendengar, bahwa mengefektifitaskan waktu adalah dengan bekerja, dengan berbagai istilah dan penamaan, apakah itu bekerja keras,  bekerja cerdasbekerja sungguh-sungguh (jada)bekerja tidak mengharap upah (pamrih)bekerja tanpa balas jasabekerja optimalbekerja dari nolbekerja dari tanah menuju langit, dan seterusnya, dan seterusnya... Lagi-lagi kesemuaannya itu hanya bertutur pada komleksitas upaya manusia dalam kehidupannya, hanya membicarakan usaha mereka untuk mendapatkan harapan dan keinginan manusia, tidak dalam rangka menyentuh tepi atau ujung dari sang waktu ini... Atau apa yang orang katakan tentang tips mengelola waktu, antara lain: Jangan Menangguhkan waktu, Lacak Aktivitas Anda, Berkonsentrasi Pada Hasil, Ingat Prisip 20 ikhitar 80 hasil, Gunakan Waktu Perjalanan Dengan Bijaksana, Merespon Dengan Cepat, Bersikap tegas, jadwalkan waktu untuk bersantai, dan sebagainya... kesemuannya itu merujuk pada upaya kualitasitasi pekerjaan manusia untuk mendapatkan hasil yang optimal, dan sama sekali tidak menyentuh sang waktu dalam teremahan yang jelas dan jitu... atau kita akan mengevaluasi sebuah konsep mutakhir dan lebih manusiawi tentang manajemen waktu, dimana dikatakan: "manajemen waktu haruslah memiliki landasan-landasan sebagai berikut, Pengetahuan kaidah yang rinci tentang optimalisasi waktu, Memiliki manajemen hidup yang baik, Memiliki Wudhuhul Fikrah, Visioner, Melihat secara utuh setiap persoalan, Mengetahui Perencanaan dan skala prioritas, Tidak Isti’jal dalam mengerjakan sesuatu, Berupaya seoptimal mungkin, Spesialisasi dan pembagian pekerjaan... Lagi-lagi, ia hanya menyentuh sebagian kecil dari skup luas pemahaman tentang waktu dan efektiftias kehidupan... maka, setidaknya manusia, mempelajari landasan-landasan dan pemahaman yang substansial seperti berikut: Disiplin dan Pembiasaan sejak dini, Memiliki kecerdasan dan kejeniusan, Memiliki kondisi fisik dan mental yang positif, Memiliki ketrampilan... dan seterusnya, dan seterusnya...

Lagi-Lagi, seperti inilah pesona waktu, Ia mungil nan lucu, ia adalah sebuah lompatan-lompatan detik yang senantiasa merangkai menjadi kehidupan... Inilah pesona waktu, bahwa keberadaannya menawarkan sejuta urgensi, Ia lah yang membesarkan manusia sehingga menjadi besar (meski sebetulnya kecil dihadapan waktu), Ia lah yang mengkerdilkan manusia sehingga kecil (meski sebetulnya manusia memang kecil, atau lebih kecil dari apa yang kita umpamakan), Ia lah yang pertama tunduk kepada Tuhan-Nya, dan bersama Tuhan-Nya mengawal sebuah fragment yang bernama kehidupan dan kematian, lalu Ia lah (barangkali) yang akan mengalami split (pecah), sebab ia tersusun dari sebuah dari sebuah materi yang bernama "fana (tidak kekal)", dan dialah yang memulai kembali sebuah akulturasi dan transformasi kematian menjadi sebuah kehidupan, lalu dia pula yang akan menjaja dan mengawasi sebuah kehidupan setelah kematian, dan dia pula lah yang menemani sebuah kehidupan setelah kematian itu sampai kepada tepiannya, sampai kepada ujungnya, meski kehidupan itu (kehidupa akhirat) tiada bertepi dan tiada berujung, dan seterusnya, dan seterusnya... Akhir kata, sang waktu ini adalah yang paling lama hidupnya, dibanding keberadaan semesta raya, namun sang waktu tidak kekal dihadapan Allah, sebab hanya Allahlah yang mengetahui kelemahan sang waktu, dan sang waktupun, tidak pernah sama sekali memiliki kekuatan untuk tidak taat kepada Rabbnya ini, sebab Allah adalah sang Masa yang kekal, Allah sendirilah yang memiliki waktu, dan semua semesta raya berikut segala isinya... wallahu'alam bisshawab..

Engkau lah pesona waktu...
Sedikitpun aku tidak tahu dan barangkali tidak akan pernah tahu dirimu apa, seperti apa...
Sekecilpun apapun pada dirimu, mengajarkan ku tentang begitu besarnya kehidupan...
dan aku percaya...
Engkaulah ciptaan Tuhan yang lebih dekat kepada Tuhannya...
Engkaulah sang masa, dimana Allah tidak "malu" untuk bersumpah dengan nama engkau, "demi masa"....

Allahu Rabbi, Pesona waktuMu adalah indah....
hampir2 daku tidak mengetahui, dengan kehidupanku ini...
Hanya Engkaulah, duhai Allah, yang mengetahui segala rahasia semesta dan sang waktu....
Hanya Kepada Engkau kami beribadah....
Hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan....
Jadikanlah diriku, dirinya, diri mereka, adalah orang-orang yang mendekat dan taat padaMu, sebagaimana dekat dan taatnya sang waktu....
Aku cemburu, dengan pesonanya duhai Allah.....
Aku cemburu.....