Kamis, 09 Februari 2012

Revolusi Diri

Revolusi diri, sebuah istilah yang berpadanan kata dengan memperbaiki diri, perubahan diri, dan peningkatkan kapasitas diri, berpadanan kata dengan kontemplasi diri, yang erat kaitannya dengan sikap-sikap korektif, refleksi diri, introspeksi diri. Revolusi diri, merupakan bagian dari aktifitas integral manusia menuju kapasitas “lengkap” dimata Tuhannya, dimata dirinya, dan oranglain. Revolusi diri, begitulah istilah yang ingin penulis sampaikan, dan semoga istilah ini tidak dalam kesan melebih-lebihkan sesuatu hal, atau membuat “berat” sesuatu hal, yang pada dasarnya adalah mudah, dapat dilakukan oleh siapapun, dapat difahami oleh orang dengan beragam kapasitas keilmuan dan pemahaman sekalipun.

Revolusi diri, sebuah sikap memperbaiki pemahaman diri, sikap membuka tabir diri, tabir manusia, bahwa diri kita memiliki potensi diri yang  bisa diaktualisasikan dalam beragam hal menjadi prestasi-prestasi, dan prestasi-prestasi ini akan ditentukan bagaimana bagaimana upaya masing-masing manusia itu sendiri untuk memperolehnya, dan seterusnya. Revolusi diri, tidak berbatas pada menempatkan sikap-sikap pada lajur yang sebenarnya, bukan pula terbatas pada aspek-aspek yang mesti dirubah, atau ada tidaknya hal-hal penggubah (motivasi berubah), bukan sekedar itu, tetapi lebih luas, lebih luas lagi. Ia tidak sekedar merubah pola pikir dan sudut pandang pemahaman kita terhadap sesuatu, bukan hanya sekedar meluruskan tutur kata, sikap, perilaku kita menjadi lebih baik, tetapi lebih dari itu, termasuk dari agenda kita mengenai revolusi diri-pun antara lain: memahami kesulitan-kesulitan, kegelisahan-kegelisahan, selama kita berevolusi diri, sehingga kita mampu mengantisipasi “agenda” ini dalam batasan-batasan yang wajar, dalam kondisi diri yang nyaman, dalam solusi permasalahan yang tepat. Lalu yang terakhir, adalah bagaimana kita mengkondisikan diri agar senantiasa dalam suasana gigih dalam rangka perubahan diri, sikap, tutur kata, perbuatan, prestasi-prestasi, menjadi lebih baik, menjadi yang terbaik.

Revolusi diri, menurut penulis, merupakan bagian dari proyek besar yang erat kaitannya dengan proses tafakur manusia dalam memahami, meresapi, menghayati dirinya sendiri, menggali semua potensi, menyeimbangkannya, dan menelurkannya menjadi hal-hal besar dalam sejarah, yang mana harus dan memang harus dimulai dari diri sendiri, tidak melupakan diri kita sendiri. Sebagaimana firman Allah swt: “Apakah kamu menyuruh orang lain agar berbuat baik, sedangkan kamu sendiri melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab. Apakah kamu tidak berfikir?.” (QS. Al Baqoroh: 44). Revolusi diri yang kaitannya dengan memperbaiki diri dapat dimulai dari hal-hal sederhana seperti: meninggalkan kekurangan atau perbuatan salah, menyesalinya dan bertekad untuk memperbaiki dan “sikap kembali”, sedangkan Revolusi diri yang kaitannya dengan mengembangkan diri dalam kondisi terbaik, dimulai dengan hal-hal seperti: membaca “buku hidup” kita (maksud tujuan kita ada di lingkungan kita), menciptakan ruangan kreatif yang penuh inspirasi bagi diri untuk berkembang, mengasah ulang kemampuan dan tingkat keilmuan kita agar upaya di masa depan dapat berakhir menjadi kegemilangan-kegemilangan, dan sebagainya.

Bisa jadi, permasalahan besar yang senantiasa terjadi terhadap diri kita, diakibatkan oleh kualitas diri kita yang masih rendah, karena ketidakmampuan diri kita mengembangkan segenap potensi menjadi prestasi, atau bahkan bisa jadi karena ketidakmampuan diri kita untuk banyak “membaca”, membaca diri, membaca alam sekitar, membaca orang-orang diluar sana yang sudah terlebih dahulu melejitkan dirinya sebagai pribadi unggul, pribadi pemilik nilai-nilai prestasi, di dunia, dan di akhirat.  Inilah bagian dari proses besar kita, pencarian petunjuk, pencarian kefahaman diri, sehingga kita terhindar dari hal-hal merugikan untuk kita, dan orang di sekitar kita. “Hai orang-orang yang berimana, jagalah dirimu; tidaklah orang/(sesuatu) yang sesat itu akan member mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapatkan petunjuk” (QS. Al-Maidah:105). Mari kita memulai segala halnya dengan pengendalian diri, berawal dari revolusi diri sendiri, sebelum nanti kita berpindah kepada revolusi yang lebih luas lagi. “..Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..” (QS. Ar-Ra’d:11). Proses revolusi diri ini, antara lain pembinaan dan perbaikan, berawal dari kita membina iman (aqidah) kita, menjadikannya sebagai jati diri batiniyah kemusliman kita, memperluas pandangan kita terhadap wujud keberadaan kita, lengkap dengan filsafat hidup yang benar, dan terakhir adalah sudah tidaknya kita merencanakan masa depan melalui proyek peradaban yang sempurna, dan sebagainya.

Revolusi diri yang benar (menurut penulis), harus dilakukan secara seimbang, dan tetap mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat perbuatan, perilaku manusia itu sendiri, bahkan kalau perlu, dilakukan evaluasi-evaluasi, dan merotasi segala potensi kita menjadi hal-hal berguna dan bermanfaat tidak sekedar di masa sekarang, akan tetapi dapat dirasakan manfaatnya di masa depan, tidak hanya di dunia di Akhirat pula. Bukankah ini sebuah “sikap terpandai”sepanjang sejarah hidup kita? “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT”. (HR. Turmudzi). Dan yang terpenting dari proses revolusi diri kita adalah, bagaimana proses-proses itu, meski kecil, mampu senantiasa dalam peningkatan, dalam keberlangsungan yang continue.“(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang kontinu, walaupun sedikit.” (Al-hadits).

Dari ulasan diatas, kita bisa mengetahui bahwa revolusi diri terbaik adalah lahirnya tindakan-tindakan konkrit, termasuk pula bagi penulis yang masih belajar mengenai hal ini, karena jiwa-jiwa muda itulah, yang menjadikan dorongan agar senantiasa mampu menggoreskan penanya. Konkrit, dan semoga tidak “menjebaki” diri kita pada kondisi-kondisi rumit, dan sebagainya.  Islah, begitulah kata terindah yang mampu disampaikan islam melalui bahasanya. Lagi-lagi penulis meminta maaf, jika tulisan ini, tidak sesuai dengan lisannya, bila tulisan ini tidak sejujur perbuatannya, karena penulis pun masih belajar memahami hidup dan kehidupannya, berusaha memahami potensi diri dan aktualisasinya, dan berupaya memenangkan segala halnya menjadi prestasi-prestasi nyata di dunia yang sebenarnya, tidak sekedar pada tulisan saja. Marilah kita memulai memperbaiki diri kita melalui hal-hal mudah dan praktis ini: Mukasyafah (memeriksa diri dan berterus terang terhadap diri kita sendiri), Muahadah (berjanji kepada Allah swt, diri kita dan “alam sekitar” bahwa kita mampu memperbaiki keaiban kita dan menjadi pribadi terbaik menurut Allah swt dab Rasul-Nya), lalu kita bermuroqobah (merasai diri kita diawasi dan diperhatikan oleh Sang pencipta kita, semua sikap, ucap, perbuatan, dan tindakan kita), dan selanjutnya adalah kita bermujahadah, berupaya sekuat tenaga untuk proaktif dalam tindakan-tindakan nyata, konkrit. Dan yang terakhir, adalah bermuhasabah, menakar diri, sudah sejauh mana kita berbuat sesuai petunjukNya, dan nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai prestasi dunia-akhirat kita). Wallahu ‘alam, semoga kita mampu mengamalkan semua ini, dalam kehidupan kita sehari-hari. InsyaAllah..

Sabtu, 04 Februari 2012

Aktualisasi Diri

Setelah kita memahami potensi diri pada diri kita, maka langkah selanjutnya adalah mengembangkan potensi-potensi tersebut menjadi prestasi-prestasi melalui sebuah proses aktualisasi yang matang. Ini adalah kebutuhan paling fundamental dan dan termasuk kebutuhan paling tinggi bagi manusia (Abraham Maslow). Mengingat manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang bervariasi, dengan beraneka ragam potensi diri dan eksplorasi potensi yang berbeda-beda, berikut sifat alami (fitrah) manusia yang unik, dan sebagainya, maka keperluan untuk mengaktualiasikan diri menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda, atau dilupakan. Setiap hal, baik mengenai takdir, ataupun berbagai kejadian pada diri manusia, tidak lepas dari adanya sebab-akibat, nilai akhir manusia, biasanya akan ditentukan bagaimana manusia itu mengelola sebab-untuk akibat yang baik bagi dirinya, lingkungannya, dan orang-orang di sekitarnya (kolektif-komunalitas). Maka, menempatkan diri pada kondisi dan perbuatan terbaik dengan kualitas terbaik dalam segala hal adalah suatu keharusan.

Aktualisasi diri dimulai dengan kemampuan kita memandang hidup dan kehidupan, dan islam memiliki pandangan tersendiri mengenai hal ini baik dalam hal idealnya, maupun konseptualnya. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin:4), lihatlah tafsir Maraghi mengenai hal ini: “…Lebih dari itu Kami istimewakan manusia dengan akalnya, agar bisa berfikir dan menimba berbagai ilmu pengetahuan serta bisa mewujudkan segala inspirasinya.” Aktualisasi dalam perspektif Al-Qur’an tersebut lebih dititik beratkan pada proses kemampuan manusia dalam berpikir, disamping itu, aktualiasi diri erat kaitannya dengan kesadaran diri (awareness, as-syu’ru) dan tanggung jawab (lihat QS Al-Mudattsir: 38), serta sifat-sifat fitrah lainnya pada manusia, misalnya memiliki kecemasan terhadap kondisi hidup (al khauf), dan sebagainya. Lengkap! Al-Qur’an, dalam hal ini, disamping mampu menjadi guidance, juga mampu bertindak sebagai counseling yang sempurna dimana ujung akhirnya adalah agar manusia mampu mengenal kembali eksistensi dirinya sebagi makhluk Allah SWT yang selaras dengan ketentuan dan petunjuk-Nya. “Sesungguhnya telah Kami mudahkan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS Al-Qamar: 40).

Setelah kita mencermati ulasan diatas, dengan mengupayakan mendapatkan pemahaman secara hermeneutic (penafsiran Al-Qur’an) mengenai manusia dalam kaitannya dengan aktualisasi fitrahnya menjadi priibadi takwa secara konseptual dan sistematis, maka, kita akan mendapatkan gambaran lengkap bagaimana manusia itu seharusnya mengaktualisasikan dirinya, dengan segala perangkat dan penjelasan-penjelasannya, dan lalu kemudian mereka diarahkan untuk menjadi pribadi seimbang (tawazun) yang memahami fungsi kehidupan mereka, sebagaimana Islam mengajarkan. (Lihat Al-Qashash: 77). Penulis menyimpulkan bahwa aktualisasi diri memang harus dimulai dengan memahami diri sendiri terlebih dahulu yakni perangkat fitrah kita, hal-hal unik, potensi diri kita, dan aturan-aturan baku berupa nilai-nilai manusia itu sendiri, manusia ditantqang untuk memahami dirinya sendiri (belajar), lalu kemudian diminta untuk bersinergi dan berintegrasi dengan situasi yang dituju, lalu kemudian diminta untuk “melakukan”. “kita tidak hanya harus memutuskan apa hasil yang kita berkomitmen untuk, tetapi juga jenis orang yang kita berkomitmen untuk menjadi” (Anthony Robbins).

Aktualisasi diri, maka setiap orang memiliki karakteristik masing-masing yang barangkali berbeda satu sama lain, seseorang yang memiliki spiritual power (al-quwah ar-ruuhiyah), maka kekuatan ruhaninya lebih dominan dalam kehidupannya, dibandingkan orang lain yang tidak memilikinya, karena korelasi (munasabah) antara kekuatan ruhiyah sebagai modal fitrah ini teramat kuat, dan seterusnya, bahwa manusia memang memilki kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagaimana pengetahuan mereka, atau pemahaman mereka terhadap sesuatu (saling men-stimulus). Sementara itu, “penyakit mental” yang sering kita lihat akhir-akhir ini, katakanlah kolusi, korupsi, tindak kejahatan manusia, kecurangan, dan sebagainya, kurang lebih diakibatkan karena adanya distorsi antara iner-interpersonal yang menghambat sebuah proses aktulisasi hidup yang matang, yang seharusnya. Maka, obat dari penyakit mental tersebut, menurut hemat penulis, adalah dakwah dengan orientasi humanistic (insaniyyat al insan), yakni: menghargai manusia sebagai manusia, memandang semua orang memiliki peluang yang sama untuk menyadari eksistensinya sebagai makhluk Tuhan, merangkul tidak memukul, dan yang terakhir adalah dengan membimbing mereka dengan kelembutan, cinta, dan uswah hasanah. Untuk lebih jelasnya mengenai dakwah orientasi humanistic bisa dilihat pada buku-buku karangan Muhammad Baqir Shadr,

Islam memandang semua motif individu sebagai proses dari aktualisasi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan bernilai positif dan produktif (positive regard, menurut pendapat Carl Rogers), manakala seperangkat unsur kemanusiaannya utuh dan saling melengkapi, dan dibangun berdasarkan interaksi nilai-nilai. Interaksi ini biasanya akan melahirkan perilaku atau tingkah laku, dimana kecenderungan alaminya adalah adanya keseimbangan secara permanen, baik terpenuhinya kebutuhan dasar manusia secara wajar, terjadinya eksistensi dan kesinambungan dalam menjalankan kehidupannya, dan keseimbangan vital lainnya (homeo-statis) sesuai dengan ukurannya, sesuai dengan kapasitasnya, sesuai dengan kemampuannya. “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya” (QS. A;-Qamar: 49). Maka, mengambil istilah dari Maslow, kebutuhan akan hal ini disebut dengan 17 Meta kebutuhan yakni antara lain: kebenaran, kebaikan, keindahan, kesatuan, dikotomi-transedensi, berkehidupan, kesempurnaan, keniscayaan, penyelesaian, keadilan, keteraturan,kesederhanaan, kekayaan, tanpa susah payah, bermain, dan mencukupi diri sendiri, dimana bila tidak terpenuhi, akan terjadi Meta Patologi pada manusia yakni: apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, dan kehilangan selera dan sebagainya.

Mari memperbaharuhi dan memformat ulang diri kita sebagai seorang muslim yang selaras Al-Qur’an, sebagaimana para sahabat Rasulullah saw, saat menerima inspirasi dan aspirasi Al-Qur’an, dimulai dari revolusi diri baik revolusi akal (intellectual exercise), revolusi mental, dan merevolusi amal dan perilaku kita dalam kaitannya dengan proses pengaktualisasian diri kita menuju manusia unggul di mata Allah swt, dan baik dimata manusia. Tulisan ini bukanlah talqin (pendiktean) penulis terhadap pembaca, akan tetapi sekedar mengajak pembaca dan penulis terutama untuk sama-sama belajar memaknai hidup, kaitannya dengan aktualisasi hidup terbaik, sesuai dengan nilai-nilai humanistic kemanusiaan, sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam tentunya. Maka, yang ingin didapatkan dari tulisan ini (khususnya untuk penulis) adalah mendapatkan pengetahuan dan pemikiran yang mendalam, yang bisa kita istilahkan dengan istilah “Hikmah”. Menurut Ar-raghib Al-Ashfahani dalam bukunya (Mufradat Alfadh Al-Qur’an) Hikmah diartikan “bertindak sesuai dengan kebenaran berdasarkan pengetahuan dan pemikiran (yang mendalam), baik hikmah ilahiyyah (hanya mutlak dimiliki  Allah, dimengerti Allah swt) maupun hikmah insaniyyah (hikmah yang ada pada diri manusia), terutama hikmah almaujudat (pengetahuan yang luas tentang segala hal yang wujud secara mendalam kemudian bertindak dan berbuat dengan pemikiran yang mendalam, yakni dengan pengetahuan akal dan qalbu sehingga menghasilkan kebajikan) terutama mengenai manusia, kaitannya dengan aktualisasi diri.

Jumat, 03 Februari 2012

Potensi Diri

Manusia memiliki potensi pada dirinya sendiri, potensi untuk mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik. Manusia telah dibekali potensi diri oleh Tuhannya, baik berupa potensi jasadiyah (fisik) dan potensi psikis (mental), dan cara terbaik untuk mensyukuri potensi ini adalah dengan cara menggali potensi kita, mengenali, lalu kemudian mengembangkan potensi itu secara optimum menjadi prestasi-prestasi. Langkah pertama untuk mengenali potensi diri adalah mengenali diri kita sendiri, memetakan kelebihan dan kelemahan diri, dan komitmen untuk mampu mengungkit potensi diri menjadi kebaikan dan kebermanfaatan. “Barangsiapa yang mengenal dirinya, niscaya dia akan mengenal Tuhannya.” (Al Hadits). Firman Allah SWT, “Dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS Al Isra’: 70). Potensi diri pada manusia bisa diperoleh sebagai “ahwal” (karunia), maupun diperoleh secara “maqomat” (usaha), artinya, potensi diri baru akan mampu berdaya guna, berkembang, dan bermanfaat, jika telah dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkannya, memanfaatkannya. (Lihat buku KimyauSaadah, Al-Ghazaly).

Potensi diri merupakan hal mikromos, ia adalah dunia kecil pada kehidupan manusia, yang bisa mengembang, atau menyusut, berbanding lurus dengan upaya manusia itu sendiri. Lalu? Upaya apa yang bisa dilakukan? Tiada lain adalah, kita mesti memiliki kekuatan (power), baik kekuatan keyakinan (the power of belief), kekuatan semangat (the power of enthusiasm), kekuatan focus (the power of focus), kekuatan kedamaian pikiran (the power of peace in mind), dan yang terakhir adalah kekuatan kebijaksanaan (the power of wisdom). Dengan kekuatan-kekuatan ini, diharapkan seseorang mampu melejitkan potensi dirinya, melebihi kapasitasnya menjadi prestasi-prestasi. Berawalah dari keyakinan dan pola berpikir (mindset) kita bahwa kita bisa memaksimalkan semua potensi diri pada diri kita sendiri. Dr. Ibrahim Elfiky dalam bukunya “Terapi Berpikir Positif” menjelaskan mengenai hal tersebut diatas:” mindset atau pola pikir adalah sekumpulan pikiran yang terjadi berkali-kali di berbagai tempat dan waktu, serta diperkuat dengan kenyakinan dan proyeksi sehingga menjadi kenyataan yang dapat dipastikan disetiap tempat dan waktu yang sama. Jadi, segala sesuatu dalam hidup ini terbentuk dari mindset. Mindset terbentuk dari pikiran tertentu yang terjadi berkali-kali dan hasilnya digunakan untuk kehidupan.” “Change your thinking, change your life” (Brian Tracy).

Dari sedikit kilasan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa yang kita perlukan erat kaitannya dengan optimalisasi potensi diri adalah ada tidaknya motivasi untuk melejitkan semua itu menjadi kebaikan, kebermanfaatan. Istilahnya begini: ” If we do what we love, then everything will follow”. Dan karena kita memahami bahwa hidup adalah “kompetisi besar”, maka “meluarbiasakan” potensi diri akan menjadi jawaban, modal, sekaligus tantangan bagi kita semua. Caranya adalah kita cermati substansi, nilai-nilai terbaik kita, bertanya pada diri kita sudahkah kita mengoptimalkan potensi kita, dan mencoba menjadikan semua hal yang menjadi “apa seharusnya dilakukan dan ditingkatkan” menjadi sebuah kesenangan. Sebagaimana penjelasan filosuf Islam Iran, Ali Syari’ati, ada tiga karakteristik sifat unik pada manusia yang menjadi pembeda dari makhluk yang lain, antara lain: kesadaran diri (Self-Awarenes, self conciousness) yakni  sifat/kemampuan manusia dalam memilih dan menolongnya mencipta sesuatu yang baru, Kemauan bebas (free to choise) mengingat manusia memiliki kebebasan memilih bagi dirinya sendiri, dan yang terakhir adalah daya cipta (creativitness) dimana manusia mampu mengolah alam menjadi sesuatu barang/apapun yang sedianya  belum ada di alam. Menurut penjelasan tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa hal yang kita perlukan saat ini adalah aktualisasi diri.

Aktualisasi diri kaitannya dengan mengelola potensi diri adalah proses realisasi diri, proses perwujudan yang dilakukan di dunia nyata, berbeda dengan penjelasan sebelumnya mengenai potensi diri dimana titik tekan/pijakannya (nuqhtatul Intilaq), lebih maju dari sekedar makrifat diri. Tentu aktualisasi diri ini dilakukan secara terpadu, dengan langkah-langkah terpetakan secara professional, efektif dan efisien, sehingga terbangun korelasi, relasi, dan koneksi dari semua “bahan fitrah” potensi manusia menjadi prestasi-prestasi, di dunia dan di akhirat tentunya. Erat kaitanya dengan aktualisasi potensi diri, tidaklah salah bila kita memulai segalanya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Who am I?”, “What kind of person I am?”, “What kind of activity I like to do?”, “What kind of work I do not like?”, dan sebagainya. Ada istilah yang mengatakan: “orang sukses itu bukan diukur berdasarkan apa yang diraih, namun dinilai dari kemampuannya menggali potensi diri”. Maka penulis ingin menyimpulkan, bahwa salah satu hal yang tidak boleh dilupakan dari sebuah proses pengaktualisasian potensi diri adalah kematangan karakter, yang bisa dilakukan/dioptimalkan melalui metode dan pedagogi pembelajaran sebagai “Manusia Utuh”, sebagai “Individu Berkarakter”, dan seterusnya. “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21).

Berbicara mengenai potensi diri, kita masih membicarakan stelsel pembicaraan yang ruanglingkupnya masih sangat kecil, namun dari sinilah “sentuhan-sentuhan” besar biasanya mampu digambarkan, apakah masa depan seseorang, masa depan masyarakat, bahkan kehidupan bernegara, akan ditentukan bagaimana seseorang mampu mematangkan karakter diri sebagai proses pengaktualisasian potensi dirinya. Mengenai aktualisasi diri ini, penulis mengajak pembaca untuk mau mendalami teori-teori dan penjelasan yang disampaikan oleh Kurt Goldstein, Abraham Maslow (teori hierarki kebutuhan), dan Carl Rogers. Sedikit mengutip pendapat Maslow mengenai hal ini: “manusia akan memenuhi kebutuhan yang saling mendesak dan berdasarkan pengalaman orang itu pada suatu hierarki. Yang pertama adalah kebutuhan fisiologis, lalu kebutuhan terhadap rasa aman dan nyaman. Dan jika kedua-duanya terpenuhi, maka proses ini berjalan terus sampai terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri. Manajemen dapat member insentif untuk memotivasi hubungan kerja sama, wibawa pribadi, tanggung jawab terhadap prestasi. Mengenai orientasi prestasi terhadap pengaktualisasian potensi diri, penulis mengambil pendapat McClelland yang menyebutkan beberapa karakter yang bisa dikembangkan, antara lain: pertama mengambil resiko yang layak sebagai fungsi keterampilan, bukan kesempatan, menyukai tantangan, tanggung jawab pribadi atas hasil yang dicapai. Kedua cenderung menetapkan tujuan-tujuan prestasi yang layak dan resiko yang sudah diperhitungkan, yakni adanya korelasi positif antara penetapan tujuan dan tingkat prestasi. Ketiga mempunyai kebutuhan umpan balik tentang pekerjaan yang telah dicapai, dan terakhir adalah mempunyai keterampilan dalam rencana jangka panjang dan kemampuan-kemampuan organisasional.

Memahami potensi diri, lalu kemudian aktualisasinya untuk prestasi-prestasi, lalu kerangka akhirnya adalah memahami manusia, dan tabiatnya terhadap tuhannya, tidak lepas dari proses tafakur, proses berpikir, proses merenung. Bilakah penulis mengatakan: jasad kita ini sebenarnya benda mati yang tidak dapat bergerak dan hidup, selain tanpa ada yang menghidupkan? Maka (menurut penulis), bilakah hidup itu melihat APA-adanya saja, maka hidup ini hanyalah kematian saja barangkali. Maka, penulis ingin menekankan disini bahwa hidup ini JADI-apa? Karena memang disinilah letak rahasia besar dari alam semesta, ada pada manusia, diri kita sendiri (the center of knowledge). Maka dalam islam, proses kehidupan-kematian itu terjadi bahkan berulang-ulang, pada awalnya adalah mati(kematian), lalu dihidupkan (janin-manusia), lalu dimatikan, lalu dihidupkan, dan seterusnya, sehingga di akhir proses itu manusia dihidupkan untuk dikekalkan (hidup tanpa kematian), mengapa? Sekali lagi ingin ditekankan disini, bahwa bukanlah APA-adanya kitalah yang kelak akan dihisab nanti di hari akhir, namun JADI-apanya kitalah yang akan kelak diperiksa, telah berbuat apa, untuk apa, dari apa, dan seterusnya. “(Yaitu) pada hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha perkasa.” Jadi teringatlah sabda Rasulullah saw yang mulia, laisa minal insaani syai'un laa yublaa illa adzman wahidan, wa huwa 'ajbud zanbi. Wa minhu yurkabu alkhalqu yaumal qiyamah.

Di akhir kalimat, penulis ingin memohon maaf karena keterbatasan ilmu dan pemahamannya dalam hal-hal hudhuri (hal-hal yang tidak tampak, hal-hal yang  belum penulis lakukan sepenuhnya) ini, penulis termasuk yang tidak banyak tahu mengenai hakikat manusia secara sempurna, termasuk hakikat kebendaan (jism), forma sepsis (shurah nau’iyyah), hubungan motivasi diri terhadap ruh, dan seterusnya, dan sebagainya. Ini tiada lain hanyalah dikarenakan dangkalnya ilmu pengetahuan manusia mengenai referensi ilmunya (Al-Qur’an), mengingat pula bahwa kitab referensi ini baru bisa dikaji ketika segala perangkat-perangkat ilmunya dipenuhi, dihayati, dan diamalkan dalam persepsinya, pola berpikirnya, sudut pandangnya, dan proses mengilmukan ilmunya, dan seterusnya. “Dan kalian tidak diberikan ilmu pengetahuan melainkan sedikit sekali.” (QS Al-Isra: 85), termasuk penulis ingin meminta maaf atas hal-hal qath’I yang salah dalam penyampaiannya. Namun sedikit untuk diingat, bahwa mengenali potensi diri, mendalami, memetakan, lalu kemudian memproseskannya dalam sebuah pengaktualisasian potensi diri, merupakan hal-hal yang mampu terjadi, sekurangnya setelah kita melalui proses berpikir yang dalam, perenungan-perenungan, pemahaman yang utuh, dan referensi yang akurat. Mengapa? Karena memang inilah bagian dari proses berpikir besar, “memetakan potensi diri”.  Kembali kepada pertanyaan di awal, pertanyaan seorang Immanuel Kant, “Siapakah aku?”, “Apa yang seharusnya aku ketahui?” “Apa yang seharusnya aku kerjakan?”, apa harapan saya?”.

hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sunggu menujut Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya…. (QS. Al-Insyiqaq: 6)

Kamis, 02 Februari 2012

Pencarian Ide Menulis

Berawal dari pencarian ide untuk menulis, setelah sebelumnya didahului dengan keinginan dan "cita-cita" menuangkan buah pena pada sebuah tulisan, dan dari ketiaadaan ide menulis yang tak kunjung datang, maka, diberanikanlah untuk sekedar menyusun puzzle-puzzle huruf menjadi kalimat-kalimat mini, dan memang berharap kalimat-kalimat mini itu akan merangkai menjadi sebuah tulisan syarat dengan manfaat dan makna. Dan memang ternyata, kadang-kadang, ide menulis itu bisa muncul ketika kita sedang menulis sekalipun, dan inilah yang sedang dicoba oleh penulis saat ini.

Masih dalam pencarian ide, dan masih mengandalkan unsur spontanitas dan letupan-letupan pemikiran yang hilir mudik, dan tentunya SEMANGAT yang masih berkobar-kobar, maka diberanikanlah untuk sekedar menulis, dengan tetap penulis berpendapat "meskipun sedikit, semoga bermanfaat". Dan ternyata, ide menulispun datang dengan sendirinya saat kalimat ini ditulis, idenya adalah, mari menuliskan tentang menulis. Penulis ingin menulis dengan menulis. Istilahnya adalah "menulis happy", menulis dengan kerindangan hati, dengan jiwa-jiwa bahagia. Lalu bagaimana dengan sumber ide menulis yang tadi kita bahas diawal? mudah saja, mari kita lihat penjelasan Prof. Wayne Thompson dalam bukunya Fundamentals of communication, didalamnya disebutkan ide menulis itu dapat dilacak dari hal-hal seperti: pengalaman pribadi/pengalaman profesi, hobi, peristiwa2 yang terjadi secara faktual, dan yang terpenting adalah sumber insfirasi tulisan terbesar penulis, yakni Al-Qur'an "bacaan sempurna" kita, sebagai sumber ilmu dan inspirasi. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah, bahwa ide menulis itu tumbuh dari rahim membaca.

Setiap orang memiliki budaya pemikiran yang berbeda, persepsi yang berbeda, setiap orang tentu memiliki cara dan sudut pandang berbeda dalam menelurkan ide/gagasannya dalam sebuah tulisan. termasuk bagaimana mereka mengemas ide-ide segar itu dalam tulisan-tulisan yang sederhana, menyahaja. Sehingga mereka menulis, mendahului Insight of Writing mereka. Mari, kita memulai "penangkapan ide-ide menulis" dengan kepekaan diri, merefleksikan hikmah dari setiap kejadian manusia, Penulis ingin membahasakan hal ini sebagai sebuah istilah "tafakur" (Al-An'am: 50), karena tafakur inilah asas dari meminta, kunci cahaya, palang pintu ilmu, dan sedikit "agak" menjauh dari tulisan ini, hanya sekedar ingin mengutip perkataan Sahabat, Al-Junaid R.a (Ihya ulumuddin), “Majelis yang paling mulia dan paling tinggi adalah duduk dengan memikirkan medan tauhid, hembusan angin makrifat, minum dengan gelas cinta dari lautan kasih dan pandangan dengan prasangka baik kepada Allah SWT.” Kemudian ia berkata, “Aduhai betapa agungnya majelis dan betapa lezatnya minuman. Bahagialah bagi orang yang dianugerahinya.” Ya itu dia, tafakur adalah bagian dari peremajaan ide dan penangkapan gagasan-gagasan besar kita, Insya Allah..

Masih dalam pencarian ide, mentransformasikan gagasan dalam tulisan-tulisan singkat, tidaklah mudah, tapi  memang tidak sulit, "Intinya menulis tidak sulit kok". Mengapa? Karena sebagian atau seluruh kehidupan kita bisa menjadi naskah referenship untuk dijadikan sekedar menjadi tulisan. Lagi-lagi kembali pada diri sendiri sebagai insan pengolah kreatifitas (pemilik daya nalar+akal), dan pemahaman mereka sendiri terhadap ilmu, dan pengetahuan. Karena menulis (menurut penulis) tidak sekedar ide-ide reaktif, bukan pula gagasan-gagasan korosif, atau sekedar siulan-siulan pemikiran yang temporal spontanitas belaka. Ia lebih dari sekedar subtansi yang memiliki nilai-nilai, karakter, ciri khas, daya gedor, semangat, dan idealitas.

Jadi, masalah dalam memulai tulisan, umumnya menjadi kendala pada kebanyakan permasalahan. Ada pengantar tulisan yang terlihat spektakuler, namun spekulatif, ada tulisan sederhana namun menjurus, ada tulisan yang imajinatif namun liar, ada tulisan-tulisan mengenai paradigma-pemikiran-pendapat namun sulit dicerna untuk sekedar dijadikan kata-kata, dan sebagainya, ada hal-hal lain yang menjadi penomena umum yang sering kita lihat, kita rasakan. Karena memang ide-ide itu pada awalnya ibarat benang kusut, dan keharusan yang ada pada kita adalah menyusun puzzle puzzle itu sebagai sebuah tantangan, menjadi sebuah tulisan yang tertata rapi, syarat makna, syarat kekhasan, syarat karakter dan keilmuan, dan pendalaman. Inspiratif! hasilnya akan Inspiratif. Dan karena memang ide-ide itu sifatnya insidental, dan ketika ia datang, cara penyambutan terbaik adalah dengan mengemasnya menjadi sebuah tulisan yang bijak dalam semua aspek dan sudut pandang. Lihatlah Al-Qur'an, ia lebih dari sekedar tulisan, ia adalah firman Allah, lengkap dengan makna tersuratnya, makna tersiratnya, bahkan kesan yang ditimbulkannya. Sejarah! Menyejarah! Al-Qur'an lebih dari sekedar tulisan, sebagaimana yang dikatakan seorang orientalis, H.A.R. Gibb: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya. (Wawasan Al-Qur'an: Quraisy Shihab)

Tahukah kita? bahwa kemampuan menuliskan ide-ide dalam menulis, berbeda persentasenya dengan kemampuan membaca. Membaca adalah kita membunyikan "aksara ide", sedangkan menulis adalah upaya melahirkan "ide aksara", ide yang tertulis. Bahkan bila sampai pada tahapan memaknai ide-ide itu, kemudian mengaplikasikannya kedalam perangkat nilai-nilai, tindakan, perilaku, pemahaman sosial, dan seterusnya, ini adalah lebih dari sekedar penting, sangat penting. Lihatlah perbedaannya: seseorang yang hanya mampu membaca tasmiyah (bismillah), berbeda dengan seseorang yang mampu membaca, menulis, lalu kemudian menghidupakn pemahamannya, dan seterusnya. Inilah yang penulis anggap sebagai "segmentasi tulisan". Kemampuan melahirkan ide-ide dalam rahim pemikiran kita penting, bahkan sangat penting, agar senantiasa terjadi kontinuitas (keberlanjutan) ilmu, pemahaman, dan pengalaman kita sehingga akan berguna kelak, dikemudian hari, untuk diri sendiri, dan mungkin untuk orang lain. Lagi-lagi penulis ingin mengistilahkan hal ini (untuk sekedar agar penulis lebih menjadi faham) dengan istilah "Tadwinul Fikr", dan "Kitabah Fikr". Tadwinul Fikr menurut penulis adalah membukukan gagasan/pemikiran menjadi kesatuan, sedangkan Kitabah Fikr adalah sekedar penulisan ide/gagasan. Tadwin lebih dari sekedar menulis atau menuangkan ide pada secarik kertas, namun lebih kepada upaya-upaya "menghimpun". tentang upaya menghimpun ini, penulis mengajak para pembaca untuk mendalami QS. Al-Hijr: 9.

Tentang menulis ide ataupun gagasan, kemudian menuangkannya menjadi sebuah catatan/buku, penulis sedikit banyak kembali merangkai ingatannya bagaimana Al-Qur'an dibukukan, dihimpun menjadi mushaf seperti yang sekarang kita lihat, kita baca, kita hapal, dan kita aplikasikan dalam ibadah-doa, dan lafal-lafal lainnya. Penulis mengingat tentang bagaimana para orientalis mencoba menghancurkan dinding keyakinan umat islam mengenai keorisinilan Al-Qur'an, mereka mengatakan tulisan alqur'an palsu, tidak sesuai dengan alqur'an pada masa Rasul dahulu, dan seterusnya, dan sebagainya. Maka, sebuah kutipan jawaban, sekaligus bantahan yang tidak terbantahkan bagi mereka: Tulisan ataupun gaya tulisan (Khat) Quran bisa berbeda, namun bacaanya (Qiraahnya) tidak berubah. Dari sejak Nabi menerima wahyu berupa ayat-ayat Qur’an kemudian diajarkan kepada sahabat dengan tata cara membacanya. Sahabat menghafalnya dengan cara membacanya persis seperti Nabi membacanya, kemudian sahabat mengajarkan kepada Tabi’in seperti yang mereka dengar dan mereka hafal dari Nabi, para tabi’in menghafalnya dan kemudian mengajarkan lagi kepada generasi berikutnya sampai akhirnya kepada kita. Corak tulisan Qur’an boleh berbeda di setiap masa, di setiap daerah namun bacaannya tetap satu, tetap sama, dan inilah bukti yang tidak bisa dibantah sampai kapanpun. Mengapa mencantumkan kutipan ini? penulis berharap agar kita, memulai sikap bijak, untuk bisa membangun korelasi keyakinan, korelasi kemantapan, koherensi kematangan pemikiran, ilmu, pengalaman, dan kebijakan, dalam upaya kita menuangkan ide-ide itu dalam sebuah tulisan.

Wallahu'alam, penulis sebagai seorang yang baru memulai menulis lagi, setelah sekian lamanya tidak menggagaskan "tulisan dalam sebuah tulisan"nya, yang mengalami kesulitan untuk mengembangkan idenya, dan gagasannya, adalah manusia yang tidak tahu menahu tentang hal ini, hanya sedikit mencoba untuk belajar bersama, untuk memulai kebaikan bersama, mencari dan mendapatkan manfaat bersama. Penulis sudah berupaya "mengevakuasi tulisannya" agar sekiranya mudah dibaca, difahami, lalu mudah diamalkan kepada oranglain di luar sana, dan sudah bertindak dalam "pikiran khalayak" pembaca, dengan jejaring pendalaman hakikat yang sama pula. Sedikit ingin berkata sebelum mengakhiri tulisan, setelah sedikit agak lama merenungi hal-hal diluar sana, bahwa penuangan ide melalui menulis, hendaklah disertai kemampuan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi melalui modal intelektual kita, dan referensi nalar wahyu sebagaimana keyakinan, pemahaman kita masing-masing. bukan sekedar angan-angan pemikiran belaka (al-khayal al-fikri) berdasarkan doktrin pemikiran yang sempit, bukan sekedar rasm (tulisan tangan) yang miskin gelora hikmah, bukan pula dalam rangka membangun nuansa yang delicate (rumit), dan sebagainya. Bukan sekedar membubuhkan tulisan beraneka ragam (scripta defectiva), bukan sekedar perkataan Filosuf kontemporer Prancis "Repressive, violent, and authoritarian", dan sebagainya. Diakhir kata, penulis ingin mengatakan: tulisan adalah jiwa ketulusan.