Sabtu, 04 Februari 2012

Aktualisasi Diri

Setelah kita memahami potensi diri pada diri kita, maka langkah selanjutnya adalah mengembangkan potensi-potensi tersebut menjadi prestasi-prestasi melalui sebuah proses aktualisasi yang matang. Ini adalah kebutuhan paling fundamental dan dan termasuk kebutuhan paling tinggi bagi manusia (Abraham Maslow). Mengingat manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang bervariasi, dengan beraneka ragam potensi diri dan eksplorasi potensi yang berbeda-beda, berikut sifat alami (fitrah) manusia yang unik, dan sebagainya, maka keperluan untuk mengaktualiasikan diri menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda, atau dilupakan. Setiap hal, baik mengenai takdir, ataupun berbagai kejadian pada diri manusia, tidak lepas dari adanya sebab-akibat, nilai akhir manusia, biasanya akan ditentukan bagaimana manusia itu mengelola sebab-untuk akibat yang baik bagi dirinya, lingkungannya, dan orang-orang di sekitarnya (kolektif-komunalitas). Maka, menempatkan diri pada kondisi dan perbuatan terbaik dengan kualitas terbaik dalam segala hal adalah suatu keharusan.

Aktualisasi diri dimulai dengan kemampuan kita memandang hidup dan kehidupan, dan islam memiliki pandangan tersendiri mengenai hal ini baik dalam hal idealnya, maupun konseptualnya. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin:4), lihatlah tafsir Maraghi mengenai hal ini: “…Lebih dari itu Kami istimewakan manusia dengan akalnya, agar bisa berfikir dan menimba berbagai ilmu pengetahuan serta bisa mewujudkan segala inspirasinya.” Aktualisasi dalam perspektif Al-Qur’an tersebut lebih dititik beratkan pada proses kemampuan manusia dalam berpikir, disamping itu, aktualiasi diri erat kaitannya dengan kesadaran diri (awareness, as-syu’ru) dan tanggung jawab (lihat QS Al-Mudattsir: 38), serta sifat-sifat fitrah lainnya pada manusia, misalnya memiliki kecemasan terhadap kondisi hidup (al khauf), dan sebagainya. Lengkap! Al-Qur’an, dalam hal ini, disamping mampu menjadi guidance, juga mampu bertindak sebagai counseling yang sempurna dimana ujung akhirnya adalah agar manusia mampu mengenal kembali eksistensi dirinya sebagi makhluk Allah SWT yang selaras dengan ketentuan dan petunjuk-Nya. “Sesungguhnya telah Kami mudahkan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS Al-Qamar: 40).

Setelah kita mencermati ulasan diatas, dengan mengupayakan mendapatkan pemahaman secara hermeneutic (penafsiran Al-Qur’an) mengenai manusia dalam kaitannya dengan aktualisasi fitrahnya menjadi priibadi takwa secara konseptual dan sistematis, maka, kita akan mendapatkan gambaran lengkap bagaimana manusia itu seharusnya mengaktualisasikan dirinya, dengan segala perangkat dan penjelasan-penjelasannya, dan lalu kemudian mereka diarahkan untuk menjadi pribadi seimbang (tawazun) yang memahami fungsi kehidupan mereka, sebagaimana Islam mengajarkan. (Lihat Al-Qashash: 77). Penulis menyimpulkan bahwa aktualisasi diri memang harus dimulai dengan memahami diri sendiri terlebih dahulu yakni perangkat fitrah kita, hal-hal unik, potensi diri kita, dan aturan-aturan baku berupa nilai-nilai manusia itu sendiri, manusia ditantqang untuk memahami dirinya sendiri (belajar), lalu kemudian diminta untuk bersinergi dan berintegrasi dengan situasi yang dituju, lalu kemudian diminta untuk “melakukan”. “kita tidak hanya harus memutuskan apa hasil yang kita berkomitmen untuk, tetapi juga jenis orang yang kita berkomitmen untuk menjadi” (Anthony Robbins).

Aktualisasi diri, maka setiap orang memiliki karakteristik masing-masing yang barangkali berbeda satu sama lain, seseorang yang memiliki spiritual power (al-quwah ar-ruuhiyah), maka kekuatan ruhaninya lebih dominan dalam kehidupannya, dibandingkan orang lain yang tidak memilikinya, karena korelasi (munasabah) antara kekuatan ruhiyah sebagai modal fitrah ini teramat kuat, dan seterusnya, bahwa manusia memang memilki kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagaimana pengetahuan mereka, atau pemahaman mereka terhadap sesuatu (saling men-stimulus). Sementara itu, “penyakit mental” yang sering kita lihat akhir-akhir ini, katakanlah kolusi, korupsi, tindak kejahatan manusia, kecurangan, dan sebagainya, kurang lebih diakibatkan karena adanya distorsi antara iner-interpersonal yang menghambat sebuah proses aktulisasi hidup yang matang, yang seharusnya. Maka, obat dari penyakit mental tersebut, menurut hemat penulis, adalah dakwah dengan orientasi humanistic (insaniyyat al insan), yakni: menghargai manusia sebagai manusia, memandang semua orang memiliki peluang yang sama untuk menyadari eksistensinya sebagai makhluk Tuhan, merangkul tidak memukul, dan yang terakhir adalah dengan membimbing mereka dengan kelembutan, cinta, dan uswah hasanah. Untuk lebih jelasnya mengenai dakwah orientasi humanistic bisa dilihat pada buku-buku karangan Muhammad Baqir Shadr,

Islam memandang semua motif individu sebagai proses dari aktualisasi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan bernilai positif dan produktif (positive regard, menurut pendapat Carl Rogers), manakala seperangkat unsur kemanusiaannya utuh dan saling melengkapi, dan dibangun berdasarkan interaksi nilai-nilai. Interaksi ini biasanya akan melahirkan perilaku atau tingkah laku, dimana kecenderungan alaminya adalah adanya keseimbangan secara permanen, baik terpenuhinya kebutuhan dasar manusia secara wajar, terjadinya eksistensi dan kesinambungan dalam menjalankan kehidupannya, dan keseimbangan vital lainnya (homeo-statis) sesuai dengan ukurannya, sesuai dengan kapasitasnya, sesuai dengan kemampuannya. “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya” (QS. A;-Qamar: 49). Maka, mengambil istilah dari Maslow, kebutuhan akan hal ini disebut dengan 17 Meta kebutuhan yakni antara lain: kebenaran, kebaikan, keindahan, kesatuan, dikotomi-transedensi, berkehidupan, kesempurnaan, keniscayaan, penyelesaian, keadilan, keteraturan,kesederhanaan, kekayaan, tanpa susah payah, bermain, dan mencukupi diri sendiri, dimana bila tidak terpenuhi, akan terjadi Meta Patologi pada manusia yakni: apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, dan kehilangan selera dan sebagainya.

Mari memperbaharuhi dan memformat ulang diri kita sebagai seorang muslim yang selaras Al-Qur’an, sebagaimana para sahabat Rasulullah saw, saat menerima inspirasi dan aspirasi Al-Qur’an, dimulai dari revolusi diri baik revolusi akal (intellectual exercise), revolusi mental, dan merevolusi amal dan perilaku kita dalam kaitannya dengan proses pengaktualisasian diri kita menuju manusia unggul di mata Allah swt, dan baik dimata manusia. Tulisan ini bukanlah talqin (pendiktean) penulis terhadap pembaca, akan tetapi sekedar mengajak pembaca dan penulis terutama untuk sama-sama belajar memaknai hidup, kaitannya dengan aktualisasi hidup terbaik, sesuai dengan nilai-nilai humanistic kemanusiaan, sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam tentunya. Maka, yang ingin didapatkan dari tulisan ini (khususnya untuk penulis) adalah mendapatkan pengetahuan dan pemikiran yang mendalam, yang bisa kita istilahkan dengan istilah “Hikmah”. Menurut Ar-raghib Al-Ashfahani dalam bukunya (Mufradat Alfadh Al-Qur’an) Hikmah diartikan “bertindak sesuai dengan kebenaran berdasarkan pengetahuan dan pemikiran (yang mendalam), baik hikmah ilahiyyah (hanya mutlak dimiliki  Allah, dimengerti Allah swt) maupun hikmah insaniyyah (hikmah yang ada pada diri manusia), terutama hikmah almaujudat (pengetahuan yang luas tentang segala hal yang wujud secara mendalam kemudian bertindak dan berbuat dengan pemikiran yang mendalam, yakni dengan pengetahuan akal dan qalbu sehingga menghasilkan kebajikan) terutama mengenai manusia, kaitannya dengan aktualisasi diri.

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Get this widget

Posting Komentar

Silahkan Dikomentari....