Kamis, 02 Februari 2012

Pencarian Ide Menulis

Berawal dari pencarian ide untuk menulis, setelah sebelumnya didahului dengan keinginan dan "cita-cita" menuangkan buah pena pada sebuah tulisan, dan dari ketiaadaan ide menulis yang tak kunjung datang, maka, diberanikanlah untuk sekedar menyusun puzzle-puzzle huruf menjadi kalimat-kalimat mini, dan memang berharap kalimat-kalimat mini itu akan merangkai menjadi sebuah tulisan syarat dengan manfaat dan makna. Dan memang ternyata, kadang-kadang, ide menulis itu bisa muncul ketika kita sedang menulis sekalipun, dan inilah yang sedang dicoba oleh penulis saat ini.

Masih dalam pencarian ide, dan masih mengandalkan unsur spontanitas dan letupan-letupan pemikiran yang hilir mudik, dan tentunya SEMANGAT yang masih berkobar-kobar, maka diberanikanlah untuk sekedar menulis, dengan tetap penulis berpendapat "meskipun sedikit, semoga bermanfaat". Dan ternyata, ide menulispun datang dengan sendirinya saat kalimat ini ditulis, idenya adalah, mari menuliskan tentang menulis. Penulis ingin menulis dengan menulis. Istilahnya adalah "menulis happy", menulis dengan kerindangan hati, dengan jiwa-jiwa bahagia. Lalu bagaimana dengan sumber ide menulis yang tadi kita bahas diawal? mudah saja, mari kita lihat penjelasan Prof. Wayne Thompson dalam bukunya Fundamentals of communication, didalamnya disebutkan ide menulis itu dapat dilacak dari hal-hal seperti: pengalaman pribadi/pengalaman profesi, hobi, peristiwa2 yang terjadi secara faktual, dan yang terpenting adalah sumber insfirasi tulisan terbesar penulis, yakni Al-Qur'an "bacaan sempurna" kita, sebagai sumber ilmu dan inspirasi. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah, bahwa ide menulis itu tumbuh dari rahim membaca.

Setiap orang memiliki budaya pemikiran yang berbeda, persepsi yang berbeda, setiap orang tentu memiliki cara dan sudut pandang berbeda dalam menelurkan ide/gagasannya dalam sebuah tulisan. termasuk bagaimana mereka mengemas ide-ide segar itu dalam tulisan-tulisan yang sederhana, menyahaja. Sehingga mereka menulis, mendahului Insight of Writing mereka. Mari, kita memulai "penangkapan ide-ide menulis" dengan kepekaan diri, merefleksikan hikmah dari setiap kejadian manusia, Penulis ingin membahasakan hal ini sebagai sebuah istilah "tafakur" (Al-An'am: 50), karena tafakur inilah asas dari meminta, kunci cahaya, palang pintu ilmu, dan sedikit "agak" menjauh dari tulisan ini, hanya sekedar ingin mengutip perkataan Sahabat, Al-Junaid R.a (Ihya ulumuddin), “Majelis yang paling mulia dan paling tinggi adalah duduk dengan memikirkan medan tauhid, hembusan angin makrifat, minum dengan gelas cinta dari lautan kasih dan pandangan dengan prasangka baik kepada Allah SWT.” Kemudian ia berkata, “Aduhai betapa agungnya majelis dan betapa lezatnya minuman. Bahagialah bagi orang yang dianugerahinya.” Ya itu dia, tafakur adalah bagian dari peremajaan ide dan penangkapan gagasan-gagasan besar kita, Insya Allah..

Masih dalam pencarian ide, mentransformasikan gagasan dalam tulisan-tulisan singkat, tidaklah mudah, tapi  memang tidak sulit, "Intinya menulis tidak sulit kok". Mengapa? Karena sebagian atau seluruh kehidupan kita bisa menjadi naskah referenship untuk dijadikan sekedar menjadi tulisan. Lagi-lagi kembali pada diri sendiri sebagai insan pengolah kreatifitas (pemilik daya nalar+akal), dan pemahaman mereka sendiri terhadap ilmu, dan pengetahuan. Karena menulis (menurut penulis) tidak sekedar ide-ide reaktif, bukan pula gagasan-gagasan korosif, atau sekedar siulan-siulan pemikiran yang temporal spontanitas belaka. Ia lebih dari sekedar subtansi yang memiliki nilai-nilai, karakter, ciri khas, daya gedor, semangat, dan idealitas.

Jadi, masalah dalam memulai tulisan, umumnya menjadi kendala pada kebanyakan permasalahan. Ada pengantar tulisan yang terlihat spektakuler, namun spekulatif, ada tulisan sederhana namun menjurus, ada tulisan yang imajinatif namun liar, ada tulisan-tulisan mengenai paradigma-pemikiran-pendapat namun sulit dicerna untuk sekedar dijadikan kata-kata, dan sebagainya, ada hal-hal lain yang menjadi penomena umum yang sering kita lihat, kita rasakan. Karena memang ide-ide itu pada awalnya ibarat benang kusut, dan keharusan yang ada pada kita adalah menyusun puzzle puzzle itu sebagai sebuah tantangan, menjadi sebuah tulisan yang tertata rapi, syarat makna, syarat kekhasan, syarat karakter dan keilmuan, dan pendalaman. Inspiratif! hasilnya akan Inspiratif. Dan karena memang ide-ide itu sifatnya insidental, dan ketika ia datang, cara penyambutan terbaik adalah dengan mengemasnya menjadi sebuah tulisan yang bijak dalam semua aspek dan sudut pandang. Lihatlah Al-Qur'an, ia lebih dari sekedar tulisan, ia adalah firman Allah, lengkap dengan makna tersuratnya, makna tersiratnya, bahkan kesan yang ditimbulkannya. Sejarah! Menyejarah! Al-Qur'an lebih dari sekedar tulisan, sebagaimana yang dikatakan seorang orientalis, H.A.R. Gibb: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya. (Wawasan Al-Qur'an: Quraisy Shihab)

Tahukah kita? bahwa kemampuan menuliskan ide-ide dalam menulis, berbeda persentasenya dengan kemampuan membaca. Membaca adalah kita membunyikan "aksara ide", sedangkan menulis adalah upaya melahirkan "ide aksara", ide yang tertulis. Bahkan bila sampai pada tahapan memaknai ide-ide itu, kemudian mengaplikasikannya kedalam perangkat nilai-nilai, tindakan, perilaku, pemahaman sosial, dan seterusnya, ini adalah lebih dari sekedar penting, sangat penting. Lihatlah perbedaannya: seseorang yang hanya mampu membaca tasmiyah (bismillah), berbeda dengan seseorang yang mampu membaca, menulis, lalu kemudian menghidupakn pemahamannya, dan seterusnya. Inilah yang penulis anggap sebagai "segmentasi tulisan". Kemampuan melahirkan ide-ide dalam rahim pemikiran kita penting, bahkan sangat penting, agar senantiasa terjadi kontinuitas (keberlanjutan) ilmu, pemahaman, dan pengalaman kita sehingga akan berguna kelak, dikemudian hari, untuk diri sendiri, dan mungkin untuk orang lain. Lagi-lagi penulis ingin mengistilahkan hal ini (untuk sekedar agar penulis lebih menjadi faham) dengan istilah "Tadwinul Fikr", dan "Kitabah Fikr". Tadwinul Fikr menurut penulis adalah membukukan gagasan/pemikiran menjadi kesatuan, sedangkan Kitabah Fikr adalah sekedar penulisan ide/gagasan. Tadwin lebih dari sekedar menulis atau menuangkan ide pada secarik kertas, namun lebih kepada upaya-upaya "menghimpun". tentang upaya menghimpun ini, penulis mengajak para pembaca untuk mendalami QS. Al-Hijr: 9.

Tentang menulis ide ataupun gagasan, kemudian menuangkannya menjadi sebuah catatan/buku, penulis sedikit banyak kembali merangkai ingatannya bagaimana Al-Qur'an dibukukan, dihimpun menjadi mushaf seperti yang sekarang kita lihat, kita baca, kita hapal, dan kita aplikasikan dalam ibadah-doa, dan lafal-lafal lainnya. Penulis mengingat tentang bagaimana para orientalis mencoba menghancurkan dinding keyakinan umat islam mengenai keorisinilan Al-Qur'an, mereka mengatakan tulisan alqur'an palsu, tidak sesuai dengan alqur'an pada masa Rasul dahulu, dan seterusnya, dan sebagainya. Maka, sebuah kutipan jawaban, sekaligus bantahan yang tidak terbantahkan bagi mereka: Tulisan ataupun gaya tulisan (Khat) Quran bisa berbeda, namun bacaanya (Qiraahnya) tidak berubah. Dari sejak Nabi menerima wahyu berupa ayat-ayat Qur’an kemudian diajarkan kepada sahabat dengan tata cara membacanya. Sahabat menghafalnya dengan cara membacanya persis seperti Nabi membacanya, kemudian sahabat mengajarkan kepada Tabi’in seperti yang mereka dengar dan mereka hafal dari Nabi, para tabi’in menghafalnya dan kemudian mengajarkan lagi kepada generasi berikutnya sampai akhirnya kepada kita. Corak tulisan Qur’an boleh berbeda di setiap masa, di setiap daerah namun bacaannya tetap satu, tetap sama, dan inilah bukti yang tidak bisa dibantah sampai kapanpun. Mengapa mencantumkan kutipan ini? penulis berharap agar kita, memulai sikap bijak, untuk bisa membangun korelasi keyakinan, korelasi kemantapan, koherensi kematangan pemikiran, ilmu, pengalaman, dan kebijakan, dalam upaya kita menuangkan ide-ide itu dalam sebuah tulisan.

Wallahu'alam, penulis sebagai seorang yang baru memulai menulis lagi, setelah sekian lamanya tidak menggagaskan "tulisan dalam sebuah tulisan"nya, yang mengalami kesulitan untuk mengembangkan idenya, dan gagasannya, adalah manusia yang tidak tahu menahu tentang hal ini, hanya sedikit mencoba untuk belajar bersama, untuk memulai kebaikan bersama, mencari dan mendapatkan manfaat bersama. Penulis sudah berupaya "mengevakuasi tulisannya" agar sekiranya mudah dibaca, difahami, lalu mudah diamalkan kepada oranglain di luar sana, dan sudah bertindak dalam "pikiran khalayak" pembaca, dengan jejaring pendalaman hakikat yang sama pula. Sedikit ingin berkata sebelum mengakhiri tulisan, setelah sedikit agak lama merenungi hal-hal diluar sana, bahwa penuangan ide melalui menulis, hendaklah disertai kemampuan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi melalui modal intelektual kita, dan referensi nalar wahyu sebagaimana keyakinan, pemahaman kita masing-masing. bukan sekedar angan-angan pemikiran belaka (al-khayal al-fikri) berdasarkan doktrin pemikiran yang sempit, bukan sekedar rasm (tulisan tangan) yang miskin gelora hikmah, bukan pula dalam rangka membangun nuansa yang delicate (rumit), dan sebagainya. Bukan sekedar membubuhkan tulisan beraneka ragam (scripta defectiva), bukan sekedar perkataan Filosuf kontemporer Prancis "Repressive, violent, and authoritarian", dan sebagainya. Diakhir kata, penulis ingin mengatakan: tulisan adalah jiwa ketulusan.

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Get this widget

Posting Komentar

Silahkan Dikomentari....