Kamis, 09 Februari 2012

Revolusi Diri

Revolusi diri, sebuah istilah yang berpadanan kata dengan memperbaiki diri, perubahan diri, dan peningkatkan kapasitas diri, berpadanan kata dengan kontemplasi diri, yang erat kaitannya dengan sikap-sikap korektif, refleksi diri, introspeksi diri. Revolusi diri, merupakan bagian dari aktifitas integral manusia menuju kapasitas “lengkap” dimata Tuhannya, dimata dirinya, dan oranglain. Revolusi diri, begitulah istilah yang ingin penulis sampaikan, dan semoga istilah ini tidak dalam kesan melebih-lebihkan sesuatu hal, atau membuat “berat” sesuatu hal, yang pada dasarnya adalah mudah, dapat dilakukan oleh siapapun, dapat difahami oleh orang dengan beragam kapasitas keilmuan dan pemahaman sekalipun.

Revolusi diri, sebuah sikap memperbaiki pemahaman diri, sikap membuka tabir diri, tabir manusia, bahwa diri kita memiliki potensi diri yang  bisa diaktualisasikan dalam beragam hal menjadi prestasi-prestasi, dan prestasi-prestasi ini akan ditentukan bagaimana bagaimana upaya masing-masing manusia itu sendiri untuk memperolehnya, dan seterusnya. Revolusi diri, tidak berbatas pada menempatkan sikap-sikap pada lajur yang sebenarnya, bukan pula terbatas pada aspek-aspek yang mesti dirubah, atau ada tidaknya hal-hal penggubah (motivasi berubah), bukan sekedar itu, tetapi lebih luas, lebih luas lagi. Ia tidak sekedar merubah pola pikir dan sudut pandang pemahaman kita terhadap sesuatu, bukan hanya sekedar meluruskan tutur kata, sikap, perilaku kita menjadi lebih baik, tetapi lebih dari itu, termasuk dari agenda kita mengenai revolusi diri-pun antara lain: memahami kesulitan-kesulitan, kegelisahan-kegelisahan, selama kita berevolusi diri, sehingga kita mampu mengantisipasi “agenda” ini dalam batasan-batasan yang wajar, dalam kondisi diri yang nyaman, dalam solusi permasalahan yang tepat. Lalu yang terakhir, adalah bagaimana kita mengkondisikan diri agar senantiasa dalam suasana gigih dalam rangka perubahan diri, sikap, tutur kata, perbuatan, prestasi-prestasi, menjadi lebih baik, menjadi yang terbaik.

Revolusi diri, menurut penulis, merupakan bagian dari proyek besar yang erat kaitannya dengan proses tafakur manusia dalam memahami, meresapi, menghayati dirinya sendiri, menggali semua potensi, menyeimbangkannya, dan menelurkannya menjadi hal-hal besar dalam sejarah, yang mana harus dan memang harus dimulai dari diri sendiri, tidak melupakan diri kita sendiri. Sebagaimana firman Allah swt: “Apakah kamu menyuruh orang lain agar berbuat baik, sedangkan kamu sendiri melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab. Apakah kamu tidak berfikir?.” (QS. Al Baqoroh: 44). Revolusi diri yang kaitannya dengan memperbaiki diri dapat dimulai dari hal-hal sederhana seperti: meninggalkan kekurangan atau perbuatan salah, menyesalinya dan bertekad untuk memperbaiki dan “sikap kembali”, sedangkan Revolusi diri yang kaitannya dengan mengembangkan diri dalam kondisi terbaik, dimulai dengan hal-hal seperti: membaca “buku hidup” kita (maksud tujuan kita ada di lingkungan kita), menciptakan ruangan kreatif yang penuh inspirasi bagi diri untuk berkembang, mengasah ulang kemampuan dan tingkat keilmuan kita agar upaya di masa depan dapat berakhir menjadi kegemilangan-kegemilangan, dan sebagainya.

Bisa jadi, permasalahan besar yang senantiasa terjadi terhadap diri kita, diakibatkan oleh kualitas diri kita yang masih rendah, karena ketidakmampuan diri kita mengembangkan segenap potensi menjadi prestasi, atau bahkan bisa jadi karena ketidakmampuan diri kita untuk banyak “membaca”, membaca diri, membaca alam sekitar, membaca orang-orang diluar sana yang sudah terlebih dahulu melejitkan dirinya sebagai pribadi unggul, pribadi pemilik nilai-nilai prestasi, di dunia, dan di akhirat.  Inilah bagian dari proses besar kita, pencarian petunjuk, pencarian kefahaman diri, sehingga kita terhindar dari hal-hal merugikan untuk kita, dan orang di sekitar kita. “Hai orang-orang yang berimana, jagalah dirimu; tidaklah orang/(sesuatu) yang sesat itu akan member mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapatkan petunjuk” (QS. Al-Maidah:105). Mari kita memulai segala halnya dengan pengendalian diri, berawal dari revolusi diri sendiri, sebelum nanti kita berpindah kepada revolusi yang lebih luas lagi. “..Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..” (QS. Ar-Ra’d:11). Proses revolusi diri ini, antara lain pembinaan dan perbaikan, berawal dari kita membina iman (aqidah) kita, menjadikannya sebagai jati diri batiniyah kemusliman kita, memperluas pandangan kita terhadap wujud keberadaan kita, lengkap dengan filsafat hidup yang benar, dan terakhir adalah sudah tidaknya kita merencanakan masa depan melalui proyek peradaban yang sempurna, dan sebagainya.

Revolusi diri yang benar (menurut penulis), harus dilakukan secara seimbang, dan tetap mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat perbuatan, perilaku manusia itu sendiri, bahkan kalau perlu, dilakukan evaluasi-evaluasi, dan merotasi segala potensi kita menjadi hal-hal berguna dan bermanfaat tidak sekedar di masa sekarang, akan tetapi dapat dirasakan manfaatnya di masa depan, tidak hanya di dunia di Akhirat pula. Bukankah ini sebuah “sikap terpandai”sepanjang sejarah hidup kita? “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT”. (HR. Turmudzi). Dan yang terpenting dari proses revolusi diri kita adalah, bagaimana proses-proses itu, meski kecil, mampu senantiasa dalam peningkatan, dalam keberlangsungan yang continue.“(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang kontinu, walaupun sedikit.” (Al-hadits).

Dari ulasan diatas, kita bisa mengetahui bahwa revolusi diri terbaik adalah lahirnya tindakan-tindakan konkrit, termasuk pula bagi penulis yang masih belajar mengenai hal ini, karena jiwa-jiwa muda itulah, yang menjadikan dorongan agar senantiasa mampu menggoreskan penanya. Konkrit, dan semoga tidak “menjebaki” diri kita pada kondisi-kondisi rumit, dan sebagainya.  Islah, begitulah kata terindah yang mampu disampaikan islam melalui bahasanya. Lagi-lagi penulis meminta maaf, jika tulisan ini, tidak sesuai dengan lisannya, bila tulisan ini tidak sejujur perbuatannya, karena penulis pun masih belajar memahami hidup dan kehidupannya, berusaha memahami potensi diri dan aktualisasinya, dan berupaya memenangkan segala halnya menjadi prestasi-prestasi nyata di dunia yang sebenarnya, tidak sekedar pada tulisan saja. Marilah kita memulai memperbaiki diri kita melalui hal-hal mudah dan praktis ini: Mukasyafah (memeriksa diri dan berterus terang terhadap diri kita sendiri), Muahadah (berjanji kepada Allah swt, diri kita dan “alam sekitar” bahwa kita mampu memperbaiki keaiban kita dan menjadi pribadi terbaik menurut Allah swt dab Rasul-Nya), lalu kita bermuroqobah (merasai diri kita diawasi dan diperhatikan oleh Sang pencipta kita, semua sikap, ucap, perbuatan, dan tindakan kita), dan selanjutnya adalah kita bermujahadah, berupaya sekuat tenaga untuk proaktif dalam tindakan-tindakan nyata, konkrit. Dan yang terakhir, adalah bermuhasabah, menakar diri, sudah sejauh mana kita berbuat sesuai petunjukNya, dan nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai prestasi dunia-akhirat kita). Wallahu ‘alam, semoga kita mampu mengamalkan semua ini, dalam kehidupan kita sehari-hari. InsyaAllah..

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Get this widget

Posting Komentar

Silahkan Dikomentari....