Jumat, 03 Februari 2012

Potensi Diri

Manusia memiliki potensi pada dirinya sendiri, potensi untuk mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik. Manusia telah dibekali potensi diri oleh Tuhannya, baik berupa potensi jasadiyah (fisik) dan potensi psikis (mental), dan cara terbaik untuk mensyukuri potensi ini adalah dengan cara menggali potensi kita, mengenali, lalu kemudian mengembangkan potensi itu secara optimum menjadi prestasi-prestasi. Langkah pertama untuk mengenali potensi diri adalah mengenali diri kita sendiri, memetakan kelebihan dan kelemahan diri, dan komitmen untuk mampu mengungkit potensi diri menjadi kebaikan dan kebermanfaatan. “Barangsiapa yang mengenal dirinya, niscaya dia akan mengenal Tuhannya.” (Al Hadits). Firman Allah SWT, “Dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS Al Isra’: 70). Potensi diri pada manusia bisa diperoleh sebagai “ahwal” (karunia), maupun diperoleh secara “maqomat” (usaha), artinya, potensi diri baru akan mampu berdaya guna, berkembang, dan bermanfaat, jika telah dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkannya, memanfaatkannya. (Lihat buku KimyauSaadah, Al-Ghazaly).

Potensi diri merupakan hal mikromos, ia adalah dunia kecil pada kehidupan manusia, yang bisa mengembang, atau menyusut, berbanding lurus dengan upaya manusia itu sendiri. Lalu? Upaya apa yang bisa dilakukan? Tiada lain adalah, kita mesti memiliki kekuatan (power), baik kekuatan keyakinan (the power of belief), kekuatan semangat (the power of enthusiasm), kekuatan focus (the power of focus), kekuatan kedamaian pikiran (the power of peace in mind), dan yang terakhir adalah kekuatan kebijaksanaan (the power of wisdom). Dengan kekuatan-kekuatan ini, diharapkan seseorang mampu melejitkan potensi dirinya, melebihi kapasitasnya menjadi prestasi-prestasi. Berawalah dari keyakinan dan pola berpikir (mindset) kita bahwa kita bisa memaksimalkan semua potensi diri pada diri kita sendiri. Dr. Ibrahim Elfiky dalam bukunya “Terapi Berpikir Positif” menjelaskan mengenai hal tersebut diatas:” mindset atau pola pikir adalah sekumpulan pikiran yang terjadi berkali-kali di berbagai tempat dan waktu, serta diperkuat dengan kenyakinan dan proyeksi sehingga menjadi kenyataan yang dapat dipastikan disetiap tempat dan waktu yang sama. Jadi, segala sesuatu dalam hidup ini terbentuk dari mindset. Mindset terbentuk dari pikiran tertentu yang terjadi berkali-kali dan hasilnya digunakan untuk kehidupan.” “Change your thinking, change your life” (Brian Tracy).

Dari sedikit kilasan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa yang kita perlukan erat kaitannya dengan optimalisasi potensi diri adalah ada tidaknya motivasi untuk melejitkan semua itu menjadi kebaikan, kebermanfaatan. Istilahnya begini: ” If we do what we love, then everything will follow”. Dan karena kita memahami bahwa hidup adalah “kompetisi besar”, maka “meluarbiasakan” potensi diri akan menjadi jawaban, modal, sekaligus tantangan bagi kita semua. Caranya adalah kita cermati substansi, nilai-nilai terbaik kita, bertanya pada diri kita sudahkah kita mengoptimalkan potensi kita, dan mencoba menjadikan semua hal yang menjadi “apa seharusnya dilakukan dan ditingkatkan” menjadi sebuah kesenangan. Sebagaimana penjelasan filosuf Islam Iran, Ali Syari’ati, ada tiga karakteristik sifat unik pada manusia yang menjadi pembeda dari makhluk yang lain, antara lain: kesadaran diri (Self-Awarenes, self conciousness) yakni  sifat/kemampuan manusia dalam memilih dan menolongnya mencipta sesuatu yang baru, Kemauan bebas (free to choise) mengingat manusia memiliki kebebasan memilih bagi dirinya sendiri, dan yang terakhir adalah daya cipta (creativitness) dimana manusia mampu mengolah alam menjadi sesuatu barang/apapun yang sedianya  belum ada di alam. Menurut penjelasan tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa hal yang kita perlukan saat ini adalah aktualisasi diri.

Aktualisasi diri kaitannya dengan mengelola potensi diri adalah proses realisasi diri, proses perwujudan yang dilakukan di dunia nyata, berbeda dengan penjelasan sebelumnya mengenai potensi diri dimana titik tekan/pijakannya (nuqhtatul Intilaq), lebih maju dari sekedar makrifat diri. Tentu aktualisasi diri ini dilakukan secara terpadu, dengan langkah-langkah terpetakan secara professional, efektif dan efisien, sehingga terbangun korelasi, relasi, dan koneksi dari semua “bahan fitrah” potensi manusia menjadi prestasi-prestasi, di dunia dan di akhirat tentunya. Erat kaitanya dengan aktualisasi potensi diri, tidaklah salah bila kita memulai segalanya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Who am I?”, “What kind of person I am?”, “What kind of activity I like to do?”, “What kind of work I do not like?”, dan sebagainya. Ada istilah yang mengatakan: “orang sukses itu bukan diukur berdasarkan apa yang diraih, namun dinilai dari kemampuannya menggali potensi diri”. Maka penulis ingin menyimpulkan, bahwa salah satu hal yang tidak boleh dilupakan dari sebuah proses pengaktualisasian potensi diri adalah kematangan karakter, yang bisa dilakukan/dioptimalkan melalui metode dan pedagogi pembelajaran sebagai “Manusia Utuh”, sebagai “Individu Berkarakter”, dan seterusnya. “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21).

Berbicara mengenai potensi diri, kita masih membicarakan stelsel pembicaraan yang ruanglingkupnya masih sangat kecil, namun dari sinilah “sentuhan-sentuhan” besar biasanya mampu digambarkan, apakah masa depan seseorang, masa depan masyarakat, bahkan kehidupan bernegara, akan ditentukan bagaimana seseorang mampu mematangkan karakter diri sebagai proses pengaktualisasian potensi dirinya. Mengenai aktualisasi diri ini, penulis mengajak pembaca untuk mau mendalami teori-teori dan penjelasan yang disampaikan oleh Kurt Goldstein, Abraham Maslow (teori hierarki kebutuhan), dan Carl Rogers. Sedikit mengutip pendapat Maslow mengenai hal ini: “manusia akan memenuhi kebutuhan yang saling mendesak dan berdasarkan pengalaman orang itu pada suatu hierarki. Yang pertama adalah kebutuhan fisiologis, lalu kebutuhan terhadap rasa aman dan nyaman. Dan jika kedua-duanya terpenuhi, maka proses ini berjalan terus sampai terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri. Manajemen dapat member insentif untuk memotivasi hubungan kerja sama, wibawa pribadi, tanggung jawab terhadap prestasi. Mengenai orientasi prestasi terhadap pengaktualisasian potensi diri, penulis mengambil pendapat McClelland yang menyebutkan beberapa karakter yang bisa dikembangkan, antara lain: pertama mengambil resiko yang layak sebagai fungsi keterampilan, bukan kesempatan, menyukai tantangan, tanggung jawab pribadi atas hasil yang dicapai. Kedua cenderung menetapkan tujuan-tujuan prestasi yang layak dan resiko yang sudah diperhitungkan, yakni adanya korelasi positif antara penetapan tujuan dan tingkat prestasi. Ketiga mempunyai kebutuhan umpan balik tentang pekerjaan yang telah dicapai, dan terakhir adalah mempunyai keterampilan dalam rencana jangka panjang dan kemampuan-kemampuan organisasional.

Memahami potensi diri, lalu kemudian aktualisasinya untuk prestasi-prestasi, lalu kerangka akhirnya adalah memahami manusia, dan tabiatnya terhadap tuhannya, tidak lepas dari proses tafakur, proses berpikir, proses merenung. Bilakah penulis mengatakan: jasad kita ini sebenarnya benda mati yang tidak dapat bergerak dan hidup, selain tanpa ada yang menghidupkan? Maka (menurut penulis), bilakah hidup itu melihat APA-adanya saja, maka hidup ini hanyalah kematian saja barangkali. Maka, penulis ingin menekankan disini bahwa hidup ini JADI-apa? Karena memang disinilah letak rahasia besar dari alam semesta, ada pada manusia, diri kita sendiri (the center of knowledge). Maka dalam islam, proses kehidupan-kematian itu terjadi bahkan berulang-ulang, pada awalnya adalah mati(kematian), lalu dihidupkan (janin-manusia), lalu dimatikan, lalu dihidupkan, dan seterusnya, sehingga di akhir proses itu manusia dihidupkan untuk dikekalkan (hidup tanpa kematian), mengapa? Sekali lagi ingin ditekankan disini, bahwa bukanlah APA-adanya kitalah yang kelak akan dihisab nanti di hari akhir, namun JADI-apanya kitalah yang akan kelak diperiksa, telah berbuat apa, untuk apa, dari apa, dan seterusnya. “(Yaitu) pada hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha perkasa.” Jadi teringatlah sabda Rasulullah saw yang mulia, laisa minal insaani syai'un laa yublaa illa adzman wahidan, wa huwa 'ajbud zanbi. Wa minhu yurkabu alkhalqu yaumal qiyamah.

Di akhir kalimat, penulis ingin memohon maaf karena keterbatasan ilmu dan pemahamannya dalam hal-hal hudhuri (hal-hal yang tidak tampak, hal-hal yang  belum penulis lakukan sepenuhnya) ini, penulis termasuk yang tidak banyak tahu mengenai hakikat manusia secara sempurna, termasuk hakikat kebendaan (jism), forma sepsis (shurah nau’iyyah), hubungan motivasi diri terhadap ruh, dan seterusnya, dan sebagainya. Ini tiada lain hanyalah dikarenakan dangkalnya ilmu pengetahuan manusia mengenai referensi ilmunya (Al-Qur’an), mengingat pula bahwa kitab referensi ini baru bisa dikaji ketika segala perangkat-perangkat ilmunya dipenuhi, dihayati, dan diamalkan dalam persepsinya, pola berpikirnya, sudut pandangnya, dan proses mengilmukan ilmunya, dan seterusnya. “Dan kalian tidak diberikan ilmu pengetahuan melainkan sedikit sekali.” (QS Al-Isra: 85), termasuk penulis ingin meminta maaf atas hal-hal qath’I yang salah dalam penyampaiannya. Namun sedikit untuk diingat, bahwa mengenali potensi diri, mendalami, memetakan, lalu kemudian memproseskannya dalam sebuah pengaktualisasian potensi diri, merupakan hal-hal yang mampu terjadi, sekurangnya setelah kita melalui proses berpikir yang dalam, perenungan-perenungan, pemahaman yang utuh, dan referensi yang akurat. Mengapa? Karena memang inilah bagian dari proses berpikir besar, “memetakan potensi diri”.  Kembali kepada pertanyaan di awal, pertanyaan seorang Immanuel Kant, “Siapakah aku?”, “Apa yang seharusnya aku ketahui?” “Apa yang seharusnya aku kerjakan?”, apa harapan saya?”.

hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sunggu menujut Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya…. (QS. Al-Insyiqaq: 6)

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Get this widget

Posting Komentar

Silahkan Dikomentari....